Pada kesempatan kali ini kita akan membahas sebuah permasalahan yang tentunya itu merupakan di antara tujuan dan cita-cita kita bersama. Seorang muslim akan menjadikan surga sebagai cita-citanya, Sehingga setiap kali mereka beribadah kepada Allah maka harapan mereka adalah agar nanti dimudahkan masuk ke dalam surga. Dan di antara salah satu cara mudah kita masuk ke dalam surga adalah dengan aset-aset yang kita tinggalkan di dunia.
Maka di dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu hurairoh Radhiyallahu Anhu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan juga oleh Imam Ibnu Majah ada salah seorang yang dimasukkan oleh Allah subhanahu wa taala ke dalam surga, (karena tujuan kita pertama kali beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah agar kita selamat dari api neraka sedangkan masuk ke dalam surga itu adalah bonus dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala), sehingga Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menyebutkan:
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
"Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah." (HR Muslim)
Artinya kita masuk surga bukan karena amalan. Amalan kita terlalu sedikit dan nikmat yang Allah berikan terlalu banyak. Pernah ada salah satu kisah yang disebutkan tentang israiliyat atau orang-orang terdahulu, Nabi menyebutkan ada orang terdahulu, mereka beribadah kepada Allah dan mereka beribadah lebih kuat dari kita. Umurnya lebih panjang, ibadahnya lebih banyak, kekuatannya berlebih. Sedangkan kita itu umurnya singkat ibadahnya santai, lain dari umat sebelumnya.
Orang-orang terdahulu beribadah 200 atau 300 tahun adalah hal yang biasa, kalau kita duduk di masjid 1 jam sudah mulai mengantuk. Itu perbedaannya. Sehingga dia beribadah beribadah 100 tahun, 200 tahun kemudian dia meninggal dipanggil oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Maha Pemurah menyebutkan, “Masuklah kamu ke dalam surga karena rahmat dan kasih sayang-Ku”.
Dikala orang ini mendengarkan kalimat Allah masuklah kamu ke dalam surga karena karunia kasih sayang keutamaanku, maka dia mengatakan, “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amalan yang aku lakukan.” Karena dia merasa beribadah 200 tahun dan itu bukan waktu yang singkat.
Kemudian Allah kembali mengatakan, “Masuklah kamu ke dalam surga karena karunia dan kasih sayang-Ku.”
Maka orang ini kembali mengulang, “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amalan yang aku lakukan”.
Kemudian dikala orang ini ngotot ingin masuk surga karena amalan yang dia lakukan maka di saat itulah Allah mulai hitung-hitungan. Kalau Allah sudah mulai hitung-hitungan itu adalah awal daripada bencana dan malapetaka, makanya disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ...
Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa... (HR. Bukhari, no. 103 dan Muslim, no. 2876)
Apa maknanya?
Barang siapa yang dihisab maka diazab. Itu hitung-hitungan namanya. Kalau sudah mulai dihitung-hitung oleh Allah subhanahu wa taala itu adalah awal daripada bencana. Siapun yang dihisab oleh Allah maka itu adalah tanda dia akan diazab. Makanya kita selalu meminta kepada Allah masuk ke dalam surga karena rahmat Allah, kasih sayang Allah, kemuliaan Allah. Bukan karena amalan. Amalan hanya sekedar penyebab dan amalan pun kita tidak akan bisa melakukannya kecuali karena Allah subhanahu wa taala. Tidak mungkin kita bisa melakukan suatu amalan melainkan karena adanya taufik dari Allah subhanahu wa taala.
Begitu juga dengan surga, sehingga dikala sudah mulai hitung-hitungan maka Allah pun menghitung semua nikmat yang diberikan kepadanya. Kemudian dilihat salah satu nikmat diukur dengan ibadah 200 tahun ternyata tidak ada apa-apanya. Kalau sudah mulai hitung-hitungan maka tidak akan ada diantara kita yang selamat! Di saat itulah dia pun dimasukkan oleh Allah subhanahu wa taala ke dalam api neraka.
Kenapa? Karena dia mengatakan masukkan aku ke dalam surga karena amalan. Ssehingga dari sini Nabi menyebutkan tidak ada di antara kalian yang masuk surga karena amalnya, tapi karena Taufik dari Allah subhanahu wa taala dan karena karunia dari Allah subhanahu wa taala.
Maka oleh karena itulah perbanyaklah meminta masuk ke dalam surga Allah subhanahu wa taala, “Ya Allah masukkan kami ke dalam surga karena karunia-Mu, karena kasih sayang-Mu, karena taufik-Mu, karena kemurahan-Mu”.
Di antara Salah satu cara mudah kita masuk ke dalam surga Allah subhanahu wa taala adalah dengan aset. Yang mana aset terindah adalah keturunan yang ditinggalkan ataupun yang dititipkan oleh Allah.
Banyak di antara manusia yang diberikan keturunan, ada pula di antara mereka yang tidak diberikan keturunan, ada pula di antara mereka yang diberikan keturunan tapi tidak sesuai dengan yang diinginkan. Maka itu semua kembali kepada penciptaan Allah, sehingga Allah subhanahu wa taala menyebutkan,
لِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ اِنَاثًا وَّيَهَبُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ الذُّكُوْرَ ۙ اَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَّاِنَاثًا ۚوَيَجْعَلُ مَنْ يَّشَاۤءُ عَقِيْمًا ۗاِنَّهٗ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ
Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan (keturunan) laki-laki dan perempuan, serta menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. (QS. Asy Syura : 49-50)
Anak itu merupakan di antara karunia dari Allah subhanahu wa taala dan itu merupakan di antara jalan pintas kita masuk ke dalam surga Allah subhanahu wa taala. Anak-anak itu terutama mereka yang taat kepada Allah ketika Allah perintahkan mereka masuk kedalam surga, namun mereka tidak mau, bukan karena tidak ingin masuk ke dalam surga, akan tetapi mereka ingin membawa ayah ibunya. Dan Allah mengijinkannya. Dan itu merupakan di antara cita-cita tertinggi sebagai orang tua.
Oleh sebab itu anak anak-anak itu adalah aset terindah. Akan tetapi tidak semua anak kita yang bisa memasukkan kita ke dalam surga, karena banyak juga anak yang menyebabkan orang tuanya masuk neraka kalau seandainya tidak dibina di atas iman dan takwa.
Bagaimana anak-anak yang kita lahirkan, anak-anak yang kita besarkan, anak-anak yang kita didik, merekalah yang merangkul yang membawa kita masuk ke dalam surga Allah. Dalam hadits yang masyhur yang yang selalu kita dengar,
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ...
Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga...
Dalam riwayat yang lain kecuali tujuh. Dalam riwayat yang lain kecuali 10…
Kalau seorang meninggal terputus semuanya dan salah satu yang tidak terputus adalah anak yang sholeh yang mendoakan dirinya.
Pertanyaannya: Apakah di dalam hadits ini mesti anak tersebut adalah anak kita?
Nabi tidak pernah menyebutkan anak kalian. Nabi hanya menyebutkan anak yang sholeh.
Anak siapa itu?
Anak siapa saja selama kita memiliki andil dalam kesholehannya. Kalau kita punya andil maka dia adalah anak kita. Dan ini merupakan kabar gembira bagi mereka yang belum diberikan karunia anak atau bagi mereka yang sudah punya anak tapi mereka belum mendapatkan kesholehan anaknya. Jangan khawatir, masih banyak anak-anak yang lain.
Semua kita menginginkan anak kita adalah anak yang shaleh semuanya dan Allah hanya menginginkan dan menuntut kita sebagai orang tua untuk menjadikan anak kita adalah anak yang sholeh. Tidak lebih. Allah tidak pernah memerintahkan, “Wahai Fulan jadikan Anakmu adalah anak yang seorang Ustadz, seorang ulama, seorang mubaligh".
Apapun profesinya dan pekerjaannya yang penting dia adalah anak yang sholeh. Itu yang harus ditanamkan. Dan itu merupakan di antara warisan yang paling indah. Tidak ada warisan yang paling indah melebih daripada kalimat ini.
Ada salah satu kisah
Pada hari pengangkatan Al Manshur sebagai khalifah, Muqatil bin Sulaiman datang dan menghadapnya di istana. Al Manshur berkata kepada Muqatil, “Berilah aku nasehat, wahai Muqatil”.
Muqatil memberikan pilihan, “Nasehat dari apa yang aku dengar atau yang aku lihat?” Al Manshur menjawab, “Dari yang engkau lihat.” Muqatil berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz memiliki sebelas anak.”
”Ketika wafat, beliau meninggalkan uang delapan belas dinar. Untuk membayar kain kafan lima dinar dan untuk tanah liang kuburnya empat dinar. Sisanya sembilan dinar diwariskan kepada ahli warisnya. Hisyam bin Abdul Malik, memiliki sebelas anak.”
”Ketika beliau wafat, warisan yang diperoleh oleh masing-masing anaknya satu juta dinar. Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, pada suatu hari aku melihat salah seorang anak Umar bin Abdul Aziz bersedekah seratus ekor kuda untuk keperluan jihad fi sabilillah.”
”Dan pada hari yang sama, aku melihat salah seorang anak Hisyam bin Abdul Malik sedang meminta-minta di pasar. ”
Orang-orang bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz menjelang wafatnya, ” Apa yang engkau tinggalkan untuk anak-anakmu?”
Beliau menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka takwa kepada Allah. Jika mereka menjadi orang-orang yang shaleh maka Allah yang akan mengurus mereka, jika tidak menjadi orang-orang yang shaleh maka aku tidak akan menolong mereka untuk bermaksiat kepada Allah. ”
Begitulah keadaan kaum muslimin kita tidak bisa menjamin anak kita. Dikala kita masih hidup kita bisa mengontrolnya, melihatnya, dan mengajarinya. Tapi setelah kita wafat siapa yang bertanggung jawab?
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih. (QS Yunus : 62)
Makna dari ayat ini di antara sifat wali Allah, mereka tidak akan pernah takut menghadapi masa depan, yang mereka pikirkan bagaimana menciptakan generasi yang sholeh yang bertakwa. Karena kalau takwa sudah ada Allah yang menjaminnya.
Makanya dalam sebuah Hadits disebutkan, “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/ tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama) nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/ selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai dihadapannya).”
Begitu juga dengan Umar dikala ditanya apa yang kau tinggalkan untuk anakmu padahal dia adalah khalifah, dia mengatakan, “Aku tinggalkan kepada mereka takwa. Kalau seandainya anak-anakku adalah orang yang sholeh maka rezekinya Allah yang menjamin”.
Kemudian apa kata Umar bin Abdul Aziz? “Kalau seandainya anak-anakku bukan anak-anak yang sholeh maka aku tidak membantu mereka untuk berbuat maksiat dengan Allah.”
Anak-anak kita rata-rata mereka melakukan dosa dan maksiat karena kita dan karena nikmat yang kita berikan kepadanya, kita berikan fasilitas dengan fasilitas itu mereka berbuat maksiat seolah-olah kita telah menolongnya berbuat maksiat dan itu bukan hal yang ringan.
Tidak diberikan salah, diberikan juga salah serba salah. Oleh karenanya kita ambil nasihat dari Umar bin Abdul Aziz kalau mereka sholeh maka Allah yang menjamin rezekinya kalau mereka tidak sholeh maka aku tidak membantunya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai nanti kita di akhirat dihujat oleh anak-anak atau kita menghujat anak-anak di akhirat.
Kembali kepada hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam: Anak Adam itu meninggal semuanya putus kecuali salah satu diantaranya adalah anak yang shaleh yang mendoakan dirinya.
Tadi telah disinggung anak yang sholeh bisa jadi anak kita dan bisa jadi anak orang lain. Anak di sini artinya adalah anak yang umum.
Maka bisa dilihat dari sebuah kisah, kisah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit yang lahir pada tahun 80 hijriah dan meninggal pada tahun 150 hijriah. Imam Abu Hanifah adalah Imam yang lain dari yang lain. Imam Malik terkenal menjadi seorang ulama mazhab karena tulisannya karena Al Muwatta. Imam Syafi'i terkenal karena dia bergelut di bidang fikih keluarlah kitabnya yang bernama Ar-Risalah, Al-Umm, dan juga kitab-kitab yang lainnya. Begitu juga dengan Imam Ahmad yang terkenal dengan haditsnya musnad Imam Ahmad. Nah Imam Abu Hanifah terkenal ilmu kias fikih, dari mana kita tahu kalau ilmunya itu ilmu kias fikih? Banyak fatwa yang beliau sampaikan dari mana kita dapatkan fatwa tersebut? Dari Al-Fiqh al-Akbar. Imam Abu Hanifah terkenal dengan anak angkatnya.
Imam Abu Hanifah tidak sama dengan yang lain yang terkenal dengan kitabnya. Imam Abu Hanifah karangannya kecil-kecil. Tapi yang beliau tinggalkan adalah anak angkatnya. Anak angkat itulah yang menulis perkataannya, anak angkat itulah yang mendoakan dirinya, anak angkat itulah yang mewariskan semua ilmunya, dan anak angkat itulah yang menyebarkan mazhabnya. Bukan anak kandungnya, tapi anak angkatnya.
Kita sebutkan ceritanya agar kita tahu bahwa kesempatan bagi kita untuk menciptakan anak yang sholeh banyak jalannya. Bisa dari anak sendiri ataupun anak orang lain yang kita asuh atau didik. Banyak kesempatannya.
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang pedagang dan dia adalah salah seorang yang berlebih (kaya). Perdagangan ini diwariskan dari orang tuanya namun dia tidak pernah dilalaikan dari belajar agama karena Imam Abu Hanifah itu cerdasnya luar biasa. Kemudian dikala di pasar dia menemukan ada seorang ayah dan anak. Dilihat oleh Imam Abu Hanifah anak ini adalah anak yang luar biasa cerdasnya. Kemudian Imam Abu Hanifah datang kepada ayahnya, “wahai fulan anakmu ini masyaallah pintar. Kenapa engkau tidak menyuruh dia belajar agama, duduk di masjid duduk di para ulama?” Jawaban ayahnya, “Wahai Abu Hanifah kalau seandainya aku suruh anakku belajar agama, siapa yang menolong diriku berjualan di pasar?” Karena betapa banyak anak-anak kaum muslimin mereka tidak bisa sekolah bukan karena tidak mau sekolah tapi karena membantu orang tuanya karena ekonominya tidak memungkinkan.
Keesokan harinya Imam Abu Hanifah ini penasaran anak ini terlalu disia-siakan potensinya tapi karena keadaan membuat dia tidak memungkinkan untuk belajar karena harus menghabiskan waktunya di pasar membantu orang tuanya. Dan di situ tidak ada yang salah. Maka di saat itulah Abu Hanifah kembali bertanya, “Wahai fulan kenapa engkau tidak membiarkan anakmu belajar duduk di halaqah menghafal al-quran, menghafal hadits-hadits nabi, karena saya lihat dia punya potensi yang sangat luar biasa?.” Maka jawaban ayahnya sama, “Kalau anakku belajar siapa yang menolong diriku di pasar?” Kemudian Abu Hanifah dia bertanya kepada orang tua tersebut, “Wahai fulan kalau seandainya anakmu ini menolongmu satu hari berapa yang bisa dihasilkan oleh anakmu dalam satu hari?” Maka orang tua ini mengatakan, “Anakku dikala bekerja bisa menghasilkan 2 dirham.” Apa kata Imam Abu Hanifah, “Wahai fulan, bagaimana pendapatmu kalau seandainya anakmu ini aku ambil dan aku ajarkan dia duduk di halaqah belajar agama kemudian setiap hari aku berikan kepadamu 2 dirham?” Dan aka tawaran ini pun disetujui oleh orang tuanya.
Hal ini tidak merugikan orang tuanya dan juga tidak merugikan anaknya. Anaknya belajar agama, orang tuanya tetap bisa bekerja, dan Abu Hanifah memberikan 2 dirham setiap harinya. Tidak ada yang rugi. Maka anak ini mulai belajar, duduk berhalaqah, menjadi murid terdekat Imam Abu Hanifah. Itulah yang kita kenal dengan anak angkat Imam Abu Hanifah karena setiap hari Imam Abu Hanifah membayar dua dirham untuk ayahnya agar anak ini bisa belajar agama. Apa yang terjadi ketika Imam Abu Hanifah wafat? Maka anak yang tadi dibayar 2 dirham setiap harinya itulah yang menggantikan posisi Imam Abu Hanifah dan dia pun pada akhirnya menjadi qadi hakim dunia Islam pada zamannya dan dialah yang menyebarkan mazhab Imam Abu Hanifah itulah yang kita kenal dengan namanya Imam Abu Yusuf Al Qadi. Dia tidak akan pernah menjadi Abu Yusuf Al Qadi kecuali ada andil Abu Hanifah di dalamnya. Abu Hanifah yang bayar dia padahal tidak ada hubungan nasab. Itulah di antara salah satu Mengapa mazhab Imam Abu Hanifah tersebar di dunia, gara-gara Abu Yusuf Al Qadi.
Jadi mungkin anak kita belum berhasil, mungkin anak kita belum bisa menghafal Quran, tetapi bukan berarti anak orang lain mereka tidak bisa menghafal Quran. Kita cari anak yatim, orang miskin, anak-anak kaum muslimin yang terlantar. Kita katakan, “Wahai fulan aku sekolahkan dirimu karena Allah dan semoga dengan ini kamu menjadi anak yang berhasil hafal Quran menjadi orang yang bisa mengajak kepada kebaikan.” Kita tidak tahu keberkahannya dan dengan itu pula Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang, sesungguhnya ayahmu adalah salah satu yang tidak pernah aku lupakan dalam setiap doa. Kenapa demikian? Karena Ayah daripada orang ini adalah orang yang pernah memiliki andil dalam kehidupan Imam Ahmad. Imam Ahmad mendoakan dirinya. Padahal yang didoakan kita tidak tahu.
Maka itu merupakan di antara salah satu nasihat kepada kita bersama yaitu masih banyak anak-anak kaum muslimin yang membutuhkan pendidikan agama dan kita tidak tahu dari anak mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala ampunakan dosa, lapangkan perkuburan kita, dan doa mereka dikabulkan oleh Allah untuk kita. Kita tidak tahu. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan bagaimana anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang sholeh yang mendoakan diri kita dan kita ada andil di dalamnya.
Di dalam hadits yang lain yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan juga oleh Imam Ibnu Majah:
Ada salah seorang yang dikala dia masuk ke dalam surga dia diberikan kemuliaan oleh Allah subhanahu wa taala maka dia pun bertanya, “Ya Allah kenapa engkau berikan kepadaku kemuliaan seperti ini?” Apa jawaban Allah? “Di antara salah satu penyebab seorang orang tua dimuliakan oleh Allah subhanahu wa taala adalah karena Istighfar anak-anak nya.”
Yang terpenting itu bagaimana kita tidak meninggal kecuali kita meninggalkan anak-anak yang sholeh. Maka dari situlah kita mengenal ada kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Bagaimana supaya nanti mereka menjadi anak-anak yang sholeh.
Di zaman Umar bin Khattab ada yang mengadu, “Wahai Umar anakku anak yang durhaka!” Maka Umar memanggil anaknya. Dikala anaknya sampai, umar bertanya, “Wahai fulan kenapa kamu menjadi anak yang durhaka?” Anak tersebut berkata kepada Umar, “Wahai Umar sebelum engkau bertanya kepada diriku maka aku juga bertanya kepadamu. Apa kewajiban orang tua untuk anaknya?” Maka Umar menjelaskan kewajiban orang tua untuk anaknya ajarkan dia agama, berikan kepadanya nama yang indah, carikan untuknya ibu yang sholehah. Disebutkan tiga oleh Umar Bin Khattab. Kemudian anak ini mengatakan, “Wahai Umar ketahuilah diantara tiga yang kamu sebutkan, tidak satu pun yang dilakukan oleh Ayahku.” Umar yang tadinya ingin marah kepada anak ini, ketika mendengarkan anak ini mengatakan tidak satupun orang tuaku melakukan yang demikian, maka Umar berbalik kepada orang tuanya dan mengatakan, “Kamulah yang durhaka sebelum anakmu yang yang durhaka.”
Kedurhakaan anak bukan tiba bukan datang secara tiba-tiba, tapi ada penyebabnya. Dan di antara salah satu penyebab yang yang paling berbahaya adalah karena orang tuanya durhaka.
Siapa orang tua yang durhaka? Mereka yang tidak tahu apa kewajiban untuk anak-anaknya. Diantaranya yaitu, memberikan nama yang terbaik, mencarikan orang tua atau ibu yang terbaik, mengajarkan kepada mereka agama.
Karena antara anak dengan orang tua kalau seandainya mereka hidup dalam keadaan bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala, saling melakukan kebaikan, saling mengajarkan agama, maka kebaikan tersebut tidak akan putus hanya di dunia tapi akan berlanjut di akhirat sana.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
”Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya dan mengamalkannya kelak di hari kiamat dikenakan mahkota dari cahaya yang sinar kemilaunya seperti cahaya matahari. Dan bagi kedua orang tuanya masing-masing dikenakan untuknya dua pakaian kebesaran yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Maka Kedua orang tuanya bertanya: ’Mengapa kami diberi pakian kemuliaan seperti ini?’ Dijawab: ’Karena anak kalian berdua belajar Al Qur’an.’ (Mustadrak Al Hakim 1/568. Dihasankan Al Albani dlm As Shahihah no.2914).
Siapapun yang membaca Al-Quran. Ingat di sini tidak disebutkan menghafal, agar kita tahu menghafal itu bonus. Tapi yang terpenting itu adalah mereka yang membacanya dan mengamalkannya.
Bagaimana bentuk mahkota tersebut? Cahayanya lebih terang dan lebih indah dari sinar matahari di dunia.
Tanamkan dalam jiwa kaum muslimin agar anak kita itu bisa membaca. Menghafal itu bonus. Tapi membaca dan mengamalkan. Artinya kalau ada anak kita yang hafal Quran Alhamdulillah. Kalau ada anak kita yang tidak hafal tapi mereka selalu membacanya Alhamdulillah.
Ada salah satu kisah yang diriwayatkan dari Syekh Abdur Razzak. Dia pernah bercerita, setelah pengajian ada orang tua yang datang kepadanya dan bertanya, “Wahai Syekh aku sholat malam tapi aku tidak hafal al-qur'an kecuali tiga yang kita kenal dengan tri qul (Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas) Kemudian aku salat dengan tiga ayat ini 1 jam 2 jam. Itu yang diulang-diulang. Apakah sholat saya sah karena saya hanya mengulang tiga ayat ini?” Maka di saat itulah Syekh terdiam sejenak dan mengatakan, “Wahai fulan engkaulah ahlul Al-Qur'an sesungguhnya karena betapa banyak orang yang hafal Quran tapi mereka tidak bisa bangun di malam hari mereka hanya sekedar hafal mereka hanya sekedar membaca tapi tidak menjadikan Al Quran itu menyibukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah karena ahlul Quran itu adalah mereka yang mengamalkan Al-Quran.”
Makanya di dalam hadits ini disebutkan barang siapa yang membaca Al-Qur'an dan berusaha untuk mengamalkannya. Artinya kita tidak dituntut untuk menjadikan anak kita Hafiz. Kalau mereka Hafiz itu karunia dari Allah karena ada di antara anak kita yang mudah menghafal ada yang sulit menghafal walaupun tujuan kita bersama menjadikan mereka hafal. Hafal Quran itu bonus karena dengan menghafal mereka akan selalu membacanya kemudian mereka akan pindah ke tahap berikutnya nya karena ada tahapan. Tahapan membaca, menghafal, mengamalkan. Itu tahapannya. Bukan berarti tidak boleh menghafal Quran. Kaum muslimin harus berlomba-lomba menghafal, tapi itu adalah di antara salah satu tahapannya. Tujuannya adalah untuk diamalkan.
Jangan sampai anak kita hafal Al Fatihah dan surat - surat pendek dari lisan orang lain. Karena kalau seandainya mereka hafal Quran dari lisan orang lain maka kita rugi serugi-ruginya. Karena Alfatihah adalah ayat yang akan selalu dibaca. Kalau anak-anak kita hafal al-fatihah melalui lisan kita maka setiap kali dia baca Al Fatihah, pahala akan sampai kepada kita selama-lamanya dan dia pun nanti akan punya anak anak ini akan diajarkan lagi oleh dirinya Al Fatihah dan itu gara-gara kita dan anaknya atau cucu kita punya anak lagi, punya anak lagi, sampai hari kiamat selama itu pulalah Alfatihah akan memberikan pahala kepada kita walau kita tidak ada di dunia.
Karena tidak semua orang tua yang sanggup untuk mentalkinkan anak-anaknya al-qur'an tapi Al Fatihah jangan sampai mereka hafal kecuali melalui lisan orang tuanya.
Itulah yang kita kenal dengan mahkota surga. Mahkota Surga itu adalah mahkota yang diberikan bukan gara-gara orang tuanya tapi karena anaknya. Maka berusahalah dan diantara salah satu yang harus kita lakukan adalah berdoa kepada Allah. Maka ada berapa doa yang dianjurkan bagi kita untuk tidak pernah melupakannya.
Yang pertama, sebelum kita punya anak doanya adalah
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang sholeh. (QS Saffat : 100)
Yang Kedua
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۚ اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ
Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa. (QS Ali Imran : 39)
Ketiga,
...وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
...jadikanlah dia, wahai Tuhanku, seorang yang diridhoi. (QS Maryam : 6)
Yang keempat, setelah kita punya anak maka di antara salah satu doa yang tidak boleh dilupakan oleh orang tua
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Ya Tuhanku, semoga Engkau berkenan memberikan kesaadaran kepadaku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan ibu bapakku. Agar menjadi penyemangatku dalam berbuat amal saleh yang Engkau ridhai. Ya Allah, Semoga engkau berkenan memberikan kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim). (QS. Al-Ahqaf: 15)
Doa-doa Inilah yang harus kita hafal untuk kita sebagai orang tua karena itu berkaitan dengan anak-anak kita. Doa yang pertama, kedua, dan yang ketiga sebelum kita punya anak. Ketika kita menginginkan anak maka doakan kalimat ini. Dan ketika lahir, maka perbanyaklah doa yang ke empat. Karena tidak ada yang bisa memperbaiki anak kita kecuali Allah. Kita hanya bisa mengajarkan kepada mereka, sedangkan kesholehannya itu hak dari Allah subhanahu wa taala, maka minta kepada Allah dan diantara permintaan yang sangat indah adalah iinnī tubtu ilaika wa innī minal-muslimīn, kemudian baru dikuatkan dengan doa-doa yang lain, seperti diantaranya robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yun waj'alna lil muttaqina imama, tapi ini merupakan di antara doa yang paling indah.
Semoga Allah memberikan kepada kita anak keturunan yang sholeh-sholehah yang bisa memakaikan mahkota surga kepada kita.
Tanya jawab:
Pertanyaan:
Apakah kesuksesan di dunia bisa menyelamatkan kita di akhirat?
Jawaban:
Allah subhanahu wa ta’aala menyebutkan kaidah orang sukses itu adalah orang yang selamat dari api neraka dan masuk ke dalam surga. Itulah orang sukses sesungguhnya. Yang mana sesungguhnya kesuksesan tidak pernah diukur dengan harta. Kalau harta yang membuat kita sukses maka yang paling sukses adalah Qarun karena dia adalah orang yang paling kaya, tapi dia adalah orang yang paling binasa. Makanya sukses itu sulit kita untuk mengukurnya orang, yang sukses itu adalah orang yang beribadah kepada Allah, orang yang sukses itu adalah orang yang tahu jati dirinya, orang yang sukses itu adalah mereka yang berubudiah kepada Allah. Itulah kesuksesan yang sesungguhnya. Materi dan yang lainnya tidak pernah dijadikan sebagai tolak ukur sebuah kesuksesan.
Pertanyaan:
Bagaimana cara menjadikan anak kita menjadi anak yang sholeh?
Jawaban:
Kewajiban orang tua adalah bagaimana kalian mengajarkan anak-anak kalian dengan adab-adab dalam agama sedangkan memperbaiki itu dikembalikan kepada Allah. Maka Allah menceritakan di dalam Al-Qur'an Anaknya Nabi Nuh. Apa kurangnya Nabi Nuh? Tapi anaknya tetap tidak mau ikut kepadanya, bukan hanya tidak sekedar mau ikut dia, tidak ikut bersama agamanya. Kalau anak kita sejahat apapun anak kita tapi dia tetap berada di dalam agama islam. Bersyukur kita kepada Allah subhanahu wa taala. Itu poin yang pertama.
Yang kedua, kadang-kadang ada seorang orang tua yang di siang harinya dia benar-benar berusaha mendidik anaknya di malam hari dia berdoa untuk anaknya, namun anaknya juga belum berubah berubah. Ingat bisa jadi nanti setelah kita meninggal anaknya diberikan perubahan oleh Allah subhanahu wa taala. Kita tidak tahu makanya yang dituntut bagi manusia adalah berusaha, hasilnya diserahkan kepada Allah. “Ya Allah aku sudah berusaha hasilnya aku serahkan kepada-Mu”. Kalau seandainya di dunia kita belum melihat hasilnya bisa jadi nanti setelah kita wafat anak-anak kita menjadi anak yang sholeh. Seorang muslim harus selalu menyerahkan anaknya kepada Allah. Maka lakukan kewajiban kita sebagai orang tua lalu doakan.
Pertanyaan:
Bagaimana bentuk terbaik dalam menyantuni anak yatim?
Jawaban:
Anak yatim itu adalah barang siapa yang meninggal ayahnya dan dia belum baligh. Itu standar yatim. Bukan berarti kita tidak menyantuninya kalau sudah baligh. Coba lihat tadi Imam Abu Hanifah Siapa yang dia bantu adalah anak miskin. Ayahnya masih hidup. Artinya menyantuni anak yatim, karena yatim itu ada kekhususan. Nabi mengatakan, “Saya dan yang menyantuni anak yatim seperti dua jari.” Menyantuni itu bukan memberi. Ingat baik-baik. Tapi bertanggung jawab terhadap anak yatim. Misalnya: Saya yang bertanggung jawab terhadap pendidikannya , itu baru kafil (menyantuni). Tapi memberikan kepada mereka seratus ribu sekali belum disebut kafil. Kafil itu seperti sponsor, selamanya. Makanya kalau kita ingin jadi kafil, berarti mensponsori anak yatim hinggal selesai pendidikannya. Kalau memberi seratus ribu bahkan beberapa juta dalam satu kali, itu namanya memberi bantuan, bukan menyantuni. Dan kafil yang sesungguhnya adalah untuk keluarga, bukan untuk orang lain. Bisa jadi saudara kita sudah meninggal anaknya kita kafilnya.
Ada salah satu cerita, ada salah satu orang di Makkah, dia orang yang biasa-biasa saja, bahkan dia termasuk orang yang tidak dipandang, kemudian tiba-tiba ada orang yang berasal dari Maroko, dia bermimpi cari Fulan bin Fulan, mimpi yang kedua cari Fulan bin Fulan, mimpi yang ketiga cari Fulan bin Fulan. Maka dia penasaran dia melakukan perjalanan jauh dari Maroko sampai ke Makkah dan dia melaksanakan ibadah umrah. Setelah selesai melaksanakan ibadah umrah dia pun mencari-cari orang yang tadi ada di dalam mimpinya dicari di sekitar Makkah. Karena sudah lelah mencari pada akhirnya ditemukan ada sebuah kabilah yang jauh kampungnya, kemudian dia pun bertanya kepada orang kampung tersebut. Apakah ada Fulan bin Fulan? Orang yang ditanya ini merasa heran kenapa kamu mencari Fulan bin Fulan karena yang dicari itu orang yang tidak dianggap di kampung. Orang biasa. Kemudian apa yang terjadi? Dia pun datang menemuinya dan mengatakan, “Apakah kamu Fulan bin Fulan?” Iya saya Fulan bin Fulan. Maka dari situlah dia mengatakan, demi Allah, dia mengatakan demi Allah, karena kalau tidak dikatakan demi Allah dia tidak mau menyebutkannya. Kemudian dia mengatakan demi Allah sebutkan kepadaku, “Apa yang kamu lakukan?” Maka dia mengatakan aku punya tetangga, tetangga dekat ayahnya atau tetangga tersebut dia berkawan kemudian saudara saya ini, maka dia meninggalkan anak-anak yatim dan dia meninggalkan istri dan saya pun bersumpah dengan nama Allah wahai kalian, jangan kalian khawatir, harta yang aku punya aku bagi dua, separuh untuk keluargaku, separuh untuk kalian, dan itu tidak ada yang tahu. Dan berkata lagi lah orang yang bermimpi tadi, “Demi Allah saya bermimpi tiga kali berturut-turut, Nabi mengatakan cari Fulan bin Fulan. Kabarkan kepadanya kamu penduduk surga.” Dikala Mendengarkan berita ini maka orang yang tadi dianggap biasa-biasa saja tapi dia punya amalan yang sangat indah menangis. Pada akhirnya mereka pergi ke Masjid Haram dan melaksanakan salat ashar. Kemudian di rokaat keempat dikala sujud terakhir, dia sujud untuk selama-lamanya dipanggil oleh Allah subhanahu wa taala. Coba lihat bagaimana Allah memuliakan mereka-mereka yang menjadi kafil. Bukan berarti memberi itu tidak ada kemuliaannya, tetap ada. Tapi yang terbaik itu adalah menjadi kafil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar