Brand adalah salah satu dari sedikit terminologi di marketing yang paling banyak dibicarakan. Menariknya dengan berbagai perkembangan di dunia marketing, apakah ilmu brand juga berkembang? Dan bagaimana pula dampaknya terhadap brand-brand kecil yang harus masuk ikut bersaing menantang brand-brand besar?
Marketing adalah salah satu ilmu yang terus berevolusi. Profesi lain yang juga banyak berevolusi itu misalnya dokter. Dokter biasanya langganan apa jurnal dan yang terus dibaca biasanya perkembangan kedokteran. Mirip sama marketing. Contohnya dulu kita tidak membayangkan bahwa TV akan punya pesaing karena TV begitu dominan. Begitu juga dengan koran, sampai Kompas dulu satu-satunya media yang bisa terapin PBB (pay before broadcast), jadi pengiklan harus bayar dulu sebelum iklannya tayang. Media lain mana ada yang bisa seperti itu. Dalam hal diskon pun sama, ketika berbagai macam media pasang harga iklan tinggi tapi diskonnya dibanting luar biasa, Kompas itu tetap dengan diskon yang amat sangat kecil. Jadi membuktikan bahwa memang sebegitu powerfulnya media-media zaman dulu. Tapi sekarang sudah berubah total.
Begitu juga dengan marketing investment, kalau dulu kita hanya punya budget kecil, maka kita butuh mukjizat untuk bisa stand-out karena tidak punya biaya untuk memborong iklan di media. Karena uang itu, suka tidak suka, bisa membeli exposure. Jadi mau sebagus apapun produknya, bisa kedodoran di amplifikasinya kalau budgetnya tidak besar.
Sekarang kita lihat banyak sekali brand dengan modal dengkul ‘bisa punya traction’ yang lumayan dibicarakan dan direferensikan berkat media sosial dan kekuatan content marketing, belum lagi kehadiran digital marketing yang memberi peluang untuk brand yang hanya punya budget puluhan ribu untuk bisa beriklan. Kalau dulu orang harus jutaan. Sekarang digital marketing bisa. Dulu dalam menjalankan marketing tidak hanya butuh otak, tapi juga butuh nyali, karena tidak banyak yang bisa di-atribute kalau minim.
Pengalaman memasang iklan seperti memasang lottere. Dulu perlu budget yang besar, tapi sekarang tidak. Banyak channel yang bisa di attribute dan bahkan dengan budget yang relatif lebih terjangkau. Jadi kalaupun tidak berhasil, risikonya juga kecil. Apalagi ini bisa diatribute dan ditrack di mana gagalnya. Karena channelnya banyak dan bisa dengan budget yang jauh lebih kecil.
Channel marketing mengalami banyak perubahan dalam 10-20 tahun terakhir. Perubahannya jauh lebih banyak dari bidang lain. Pertanyaannya, bagaimana dengan brand, apakah ada yang berubah ataukah sama saja? Mungkin ilmu brand secara esensi masih sama. Brand adalah semua tentang trust. Brand adalah tentang apa yang orang katakan ketika anda tidak ada di ruangan. Brand juga adalah tentang pengungkit yang bikin kita bisa menjual dengan harga lebih dan masih tetap laku. Tapi tetap ada hal yang berubah. Diantaranya adalah:
Yang pertama, brand itu bisa dibangun dalam waktu yang relatif lebih singkat dari sebelumnya. Dulu sulit sekali untuk brand baru bisa memiliki traction yang luar biasa cepat, kecuali memiliki budget yang besar. Karena time is money maka yang memiliki budget besar bisa membeli exposure. Beli reach, impression, and frequency, dengan cara memborong media. Seperti contohnya meikarta beberapa tahun lalu. Tapi ketika bisa membeli waktu, apakah masuk secara ROI (return on onvestment).
Dulu sulit sekali untuk brand bisa memiliki traction yang luar biasa cepat dan butuh waktu untuk bisa berkompetisi dengan brand-brand besar yang sudah lebih dulu ada di market. Bahkan untuk punya pangsa pasar yang kecil saja lumayan sulit. Tapi sekarang tidak sedikit brand yang bisa punya traction yang baik dalam waktu yang relatif lebih singkat dan menggunakan budget yang relatif lebih sedikit.
Contohnya kategori sepatu ada brand Kanky, sepatu buatan lokal yang relatif lebih cepat berkembang dibanding pemain-pemain baru di masa lalu. Memang Kanky masih belum belum bisa sejajar melawan pemain global seperti Nike, Adidas, Reebok, dan sebagainya. Tapi sebagai pendatang baru traction-nya lumayan bagus dan mereka melakukannya bukan dengan budget yang jor-joran seperti brand sultan zaman dahulu. Pemasaran yang mereka lakukan jauh lebih murah dibandingkan dengan brand-brand lokal yang dulu pernah bersaing dengan brand multinasional. Jadi Kanky punya ‘raport’ yang tidak kalah. Dan ini didapat dalam waktu singkat dengan budget yang lebih minim.
Contoh kedua kalau kita lihat di kategori gadget aksesoris. Gadget ini tidak harus gadget yang kita pakai, tapi termasuk IOT (internet of things), smart home, dan lain sebagainya. Ada satu brand namanya Bardi, brand yang menawarkan rangkaian produk small appliances. Brand ini juga punya penetrasi yang luar biasa dalam membangun traction. Mirip seperti Xiaomi. Kalau di luar negeri, Xiaomi juga menjual CCTV, Smartlock, hingga dispenser makanan hewan yang bisa dikendalikan jarak jauh melalui aplikasi di Smartphone. Jadi kategori ini jelas bukan kategori yang sudah ramai, tapi entry barrier-nya tinggi, karena orang ada dilema, kalau harganya tinggi, orang tidak berani beli.Apalagi kalau brandnya masih baru, karena terlalu beresiko. Tapi begitu harganya murah, orang tidak percaya kualitasnya. Masa iya sih bisa begini tapi harganya segitu. Jadi serba salah. Tapi Bardi berhasil punya traction yang lumayan cukup bagus dalam waktu yang singkat.
Di kategori skincare dan kosmetik, ini banyak sekali brandnya, ini kategori yang bukan lagi red ocean, tapi bahkan sudah jadi black ocean, pemainnya banyaknya bukan main dan semakin ramai lagi ketika banyak pabrik menawarkan jasa maklon, jadi kita bisa punya brand skincare sendiri. Yang artinya, walaupun pemainnya banyak, akan sulit cari pembedanya, karena maklon itu kan isinya mirip dan sama saja, tinggal diberi label. Tapi apa yang terjadi dengan brand-brand besar, seperti Martha Tilaar, Martina Berto, Body Shop, dan brand-brand besar lainnya yang sudah kenyang bertarung dan menghadapi pesaing selama berpuluh-puluh tahun? Brand-brand besar dan legendaris ini pun sekarang dibuat geleng-geleng kepala menghadapi persaingan yang luar biasa. Dan kalau dilihat liat brand baru yang ada di pasar, ada somethinc, whitelab, scarlett, dan puluhan brand lain. Mereka bertahan dan punya traction yang lumayan sampai bisa ada beauty expo yang ramainya bisa mengalahkan pameran mobil.
Kenapa brand-brand baru ini bisa masuk menantang brand besar dalam waktu lebih lebih cepat? Apa yang disediakan oleh market yang membuat mereka bisa melakukannya. Jawabannya diantaranya adalah produktif. Harus diakui banyak brand-brand baru yang mengerti konsumen dengan lebih baik. Mereka membuat produk yang Fit dengan selera pasar. Desainnya keren dan relevan banget sama selera pasar. Tidak jadul dan tidak murahan. Harganya juga masuk dengan kantong marketnya. Mereka sebagai brand baru umumnya memiliki target kelompok bawah, Gen Z, yang penghasilannya masih terbatas dan banyak maunya. Generasi ini biayanya terbatas, tapi mereka juga tidak mau punya produk yang jelek-jelek banget, makanya mereka terbuka banget sama brand-brand baru ini, karena budgetnya masih belum bisa untuk membeli brand-brand yang sudah establish, jadi brand-brand baru ini jadi opsi yang menarik.
Yang ditawarkan pun relevan dengan kebutuhan mereka. Kanky modelnya keren, nyaman, harga masuk, dan tidak malu-maluin untuk dipakai. Begitu juga dengan Bardi, melayani kaum rebahan yang amat sangat santai, yang bisa digunakan dengan cuma klaklik di smartphone. Sehingga lebih praktis. Mulai dari CCTV yang tidak perlu instalasi yang ribet seperti zaman dulu hingga saklar yang bisa dioperasikan dengan HP dari jarak jauh. Skincare juga sama, terutama bagaimana brand-brand lokal pendatang baru memberikan opsi dengan harga yang lebih terjangkau dengan kualitas yang juga good enough.
Yang kedua adalah channel pemasaran murah yang masif dan efektif. Ini mungkin jadi pembeda yang signifikan. Jadi ketika brand-brand besar sibuk dengan strategi yang komprehensif dengan belanja media yang jor-joran, kualitas produksi yang juga well-polished. Merek-merek pendatang baru ini tidak punya banyak pilihan. Budgetnya terbatas sehingga mereka dipaksa untuk memanfaatkan yang ada dan yang terjangkau untuk mereka. Salah satunya adalah sosial media. Jadi harus harus diakui kalau brand-brand pendatang baru lebih ngulik soal sosial media dibandingkan brand besar. Sebagian karena memang tidak punya pilihan dan tidak punya banyak uang juga. Menariknya secara kebetulan ada behavior yang berbeda di sosial media, terutama di tiktok, audiensnya tiktok ini lebih suka konten-konten yang tidak sempurna secara eksekusi tapi otentik. Artinya tidak perlu diproduksi mahal
dan well-polshed. Justru ketidaksempurnaannya secara bawah sadar ini ditangkap otak sebagai tanda bahwa ini bukan brand content, sehingga mereka pun mau menyimak. Sementara materi-materi brand-brand besar yang well-polished malah jadi dilewatkan karena secara langsung dikenali sebagai iklan, dan konsumen tidak mau lihat iklan. Secara kebetulan juga, sosial media juga punya kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan social influence dibanding paid media apapun, karena orang menganggapnya organik dan karena batasan durasinya juga relatif lebih lega ketimbang iklan yang patokan durasinya ada. Sehingga ketika tidak punya batasan durasi, narasi storytelling-nya juga lebih bebas dan lebih leluasa. Dan apa yang dirasakan bukan seperti iklan, akhirnya orang mau menyimak dan bahkan mau memviralkan sesuatu yang paid media tidak bisa lakukan.
Dengan sosial media konsumen tidak lagi hanya jadi konsumen, tapi mereka juga jadi produsen. Dan brand-brand pendatang baru banyak yang tahu bagaimana memanfaatkan ini. Bagaimana membuat audience mau post di sosial media sehingga menciptakan social influence.
Di sisi konsumen juga ada perubahan, terutama yang muda punya karakter yang memberi celah untuk brand pendatang baru untuk bisa punya traction. Pertama, mereka belum punya uang banyak dan daya beli masih kecil. Jadi brand-brand pendatang baru yang jual lebih murah jadi pertimbangan karena harganya masuk. Kedua, mereka juga tidak suka konten-konten propaganda satu arah seperti zaman dulu. Brand-brand besar ini terlambat belajar hal ini dan masih satu arah. Padahal Gen Z ini adalah konsumen yang kritis, mereka tidak suka dibohongin. Toh mereka punya akses ke informasi, yaitu sosial media. Termasuk cek ke pengguna-pengguna lain, review, dan lain sebagainya. Ketiga, brand pendatang baru dengan resource terbatas berusaha memaksimalkan apapun yang dimiliki yang bisa bikin brandnya ada di mana-mana secara efisien. Cocok dengan karakter konsumen muda yang mau explore. Ketika mereka explore di internet yang pertama dilakukan adalah cari dulu di Google, cari dulu di tiktok, Instagram, YouTube, dan sebagainya. Brand-brand yang masih baru sangat paham, sehingga mereka menyediakan berbagai macam informasi di berbagai macam channel tersebut. Informasinya lengkap, jadi social proof-nya tersedia. Sehingga mereka tidak minder pakai brand pendatang baru, karena banyak orang yang pakai.
Jadi apa yang kita bisa pelajari? Market akan selalu berubah. Teknologi merubah cara orang menyikapi sesuatu. Termasuk bagaimana orang mencari informasi produk dan memilih informasi apa yang mereka mau lihat, maka dari itu mindset dan kemampuan paling penting adalah tentang gimana kita mau selalu mengerti market. Menghafal teori marketing tidak pernah cukup. Perlu mengerti market, mengerti manusia, mengerti kapan mereka mulai berubah, kenapa mereka berubah, sehingga tahu bagaimana harus menyikapinya.
Prinsip brand adalah brand dibentuk dibenak konsumen. Jadi ketika behavior konsumen berubah, maka cara brand bisa dibangun dibenak konsumen pun perlu disesuaikan. Tapi prinsip bahwa Brand terbentuk di benak konsumen masih sama, sehingga kebutuhan untuk mengerti konsumen dan bagaimana konsumen berpikir mengambil keputusan serta mencerna informasi itu akan malah jadi terkonfirmasi.
*Disampaikan oleh Ignatius Untung dalam Youtube Marketeers TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar