Minggu, 24 Juli 2011

Tawanan Benteng Lapis Tujuh

Absence of understanding does not warrant absence of existence’ – Ibnu Sina

Dimasa sekolah dulu saya sempat diajari bahwa dalam dunia islam terdapat beberapa tokoh yang begitu berjasa bagi dunia Ilmu Pengetahuan. Salah satunya adalah Ibnu Sina, yang digambarkan sebagai bapak kedokteran yang juga hebat dalam berfilosofi. Saya ketika itu begitu tertarik untuk mengetahui tokoh yang satu ini. Belasan atau mungkin bahkan dua puluh tahun kemudian, dihadapan saya terpampang novel Biografi Ibnu Sina yang berjudul Tawanan Benteng Lapis Tujuh karangan Husayn Fattahi di salah satu rak buku di jaringan salah satu toko buku terbesar di Indonesia. Dan tanpa berpikir lama, saya pun segera membawa novel biografi tersebut untuk dapat segera saya baca dan saya nikmati.

Kisah dalam novel ini diawali dengan masa kecil Ibnu Sina atau dalam novel ini sering disebut sebagai Abu Ali yang merupakan nama kecil dari Ibnu Sina. Abu Ali adalah putra dari pasangan Abdullah dan Sattarah yang lahir pada tahun 980 di Afsyanah daerah dekat Bukhara. Abu Ali adalah satu dari sedikit dari anak yang terlahir cerdas dan jenius. Kecerdasannya sudah terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Di usianya yang masih sepuluh tahun, Abu Ali telah paham Al-Quran. Ia tidak hanya hafal seluruh surah, tetapi juga sangat fasih membaca Al-Quran. Bahkan telah memahami dasar-dasar agama dan hukum-hukumnya. Menyadari hal tersebut, Abdullah kemudian memperkenalkan anaknya kepada berbagai cendikia ternama untuk belajar ilmu pengetahuan. Dimulai dari Syekh Nahawi untuk belajar ilmu agama, kemudian Syekh Massah yang ahli matematika, dilanjutkan berguru dengan Syekh Abu Abdillah an-Natili, seorang Ahli Ilmu asal negeri Tibristan, seorang ahli logika, filsafat, dan hikmah. Abu Ali dengan sangat cepat menyerap ilmu yang diajarkan oleh masing-masing guru tersebut, hingga akhirnya masing-masing cendikia tersebut menyatakan tidak ada lagi ilmu mereka yang dapat diajarkan kepada Abu Ali.

Menguasai berbagai macam ilmu ternyata tidak membuat dahaga abu ali terpuaskan. Ia kemudian memutuskan untuk mempelajari ilmu kedokteran secara otodidak, untuk kemudian mengaplikasikan ilmu kedokteran tersebut. Dimulai dengan ibunya sebagai pasien pertamanya, dimana ia berhasil menyembuhkan penyakit misterius ibunya. Kemudian hal ini berlanjut ketika Abu Ali diminta mengobati tetangganya yang sakit. Dan seperti kehebatan Abu Ali tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut ke seluruh penjuru negeri. Efek Word Of Mouth ini dengan cepat terdengar sampai ke Istana. Ia kemudian diminta untuk mengobati keponakan Raja Nuh II yang sakit misterius. Berbagai dokter ahli sudah didatangkan akan tetapi penyakit misterius raja tidak dapat juga disembuhkan. Akan tetapi Ibnu Sina dengan bekal ilmu pengetahuannya akhirnya berhasil menyembuhkan penyakit keponakan Raja tersebut.

Keberhasilan Abu Ali tersebut membuatnya masuk kelingkaran kekuasaan untuk menjadi Dokter pribadi Raja. Suatu hal yang kelak harus dibayar mahal olehnya karena iri dengki pejabat istana karena kehebatan dan perhatian raja kepadanya. Musuh dalam selimut benar-benar bertebaran didalam Istana hingga akhirnya membuat Abu Ali menjadi seorang buron karena fitnah keji yang dialamatkan kepadanya. Selanjutnya kita dibawa menelusuri rute perjalanan Abu Ali, rute yang memiliki pola yang mirip. Diundang ke Istana karena ilmu pengetahuan dan kemampuannya sebagai dokter untuk kemudian dikejar penguasa karena tipu daya dan iri dengki hingga akhirnya dijebloskan ke penjara. Mulai dari Istana Mahmud Ghaznawi, istana Ibnu Al Ma’mun, istana Syams Ad Daulah, hingga Ala Ad Daulah. Dimasa kekuasaan Ad Daulah lah Ibnu Sina dijebloskan ke dalam penjara berlapis tujuh. Sebuah perjalanan hidup yang penuh ironi.

Hidup dalam kejaran dan tahanan ternyata tidak membuat Abu Ali berhenti berkarya. Bahkan karyanya yang paling utama justru dilahirkan pada saat ia mendekam di dalam penjara, magnum opus yang berjudul Al-Qânûn fî at-Thibb atau yang biasa disebut dengan Al Qanun yang didunia barat dikenal dengan Canon Of Medicine.

Buku ini secara keseluruhan sangatlah enak dan menarik untuk dibaca. Melalui buku ini kita diajak untuk memahami dan bertualang ke kehidupan Bapak Kedokteran Modern yang dibarat dikenal dengan Avicenna ini. Avicenna yang jenius akan tetapi justru kejeniusannya itu memenjarakannya dan menjadikannya buron karena iri dengki orang lain. Buku ini juga berhasil tidak men’dewa’kan Abu Ali yang tergambar salah satunya dari kegagalan Abu Ali dalam menyembuhkan penyakit ayahandanya tercinta. Sebuah buku yang layak untuk anda koleksi, tentang seorang ilmuwan yang diakui menjadi pahlawan nasional di Iran, Afghanistan, dan berbagai negara timur tengah setelah kematiannya, tentang salah satu tokoh kedokteran yang begitu berjasa bagi dunia.

Kamis, 21 Juli 2011

Berteman Dengan Kematian

Aku Mau hidup Seribu Tahun Lagi – Chairil Anwar

Lupus.. semenjak pertama kali mendengar tentang penyakit ini saya langsung tertarik untuk mengetahuinya. Karena sama seperti AIDS, penyakit ini masih belum ditemukan obatnya hingga saat ini. Yang membedakan diantaranya adalah, jika penyebab penyakit AIDS bisa diketahui, maka untuk Lupus penyebab pastinya masih belum diketahui. Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti Serigala, hal ini disebabkan penderita penyakit ini pada umumnya memiliki ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi yang serupa dengan pipi serigala. Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit seribu wajah karena memiliki gejala bermacam-macam dan berubah-ubah dan tidak mudah didiagnosa. Berangkat dari ketertarikan itu, maka ketika saya melihat buku Berteman Dengan Kematian, maka langsung saya tukar uang saya dengan buku yang berkisah tentang seorang gadis yang menderita lupus tersebut.

Buku ini adalah memoar dari penulisnya, Sinta Ridwan, gadis kelahiran Cirebon Januari 1985, yang dituturkan seperti menulis di catatan harian yang jauh dari kesan dramatisir dengan bahasa khas anak muda yang tajam, polos, tidak cengeng, dan tanpa basa basi yang ternyata justru membuat buku ini menjadi semakin menarik. Melalui novel memoar ini Sinta tidak hanya bercerita tentang penyakit lupusnya akan tetapi juga mengenai mozaik hidupnya semenjak ia kecil hingga sekarang. Tentang getirnya masa kanak-kanak, penderitaan psikologis akibat keluarga yang berantakan, perasaannya ketika ditinggal 2 orang terdekatnya disaat yang hampir bersamaan, alasannya memilih Bandung sebagai lokasi tempat kuliah, perjuangan hidupnya di kota kembang, awal mula divonis menjadi odapus, penyangkalannya akan lupus yang membuatnya tidak dapat menerima kenyataan dan menjadi perokok, hingga berdamai dengan lupus.

Melalui buku ini Sinta juga mengedukasi kita tentang apa dan bagaimanakah penyakit Lupus melalui catatan-catatannya yang dilengkapi dengan berbagai istilah ilmiah tanpa kesan menggurui dan bahasa yang tidak bertele-tele. Penjelasan ini cukup baik menurut saya, karena sampai saat ini Lupus masihlah asing di masyarakat. Dalam buku ini hal tersebut dapat tergambar dari ucapan salah satu sahabat Sinta yang membuat gurauan tentang penyakit Sinta. Gurauan ini mungkin disebabkan karena Lupus lebih populer sebagai film anak muda dan novel tahun 90-an dibandingkan penyakit.

Bagaimana Sinta berdamai dengan Lupus juga cukup inspiratif. Terkena Lupus saat masih menjadi mahasiswi yang penuh cita dan angan, membuat Sinta sempat tidak dapat menerima kenyataan kalau ia adalah seorang odapus dengan berhenti mengkonsumsi obat dan menjadi perokok, hingga akhirnya bisa menerima keadaan dan mulai bersahabat dengan penyakit yang belum ada obatnya tersebut. Sinta akhirnya bangkit dari keterpurukan, berhasil menyelesaikan kuliah strata 1, untuk kemudian melanjutkan ke Pascasarjana Jurusan Fiologi Unpad agar dapat mengkaji dan melestarikan naskah kuno warisan nusantara. Sinta juga mencoba memaknai waktu hidupnya dengan berbagi kepada sesama mengenai informasi terkait dengan lupus serta menulis puisi dan novel. Perubahan tersebut terjadi karena Sinta meyakini hanya ada satu obat yang dapat menyembuhkan Lupus dan itu harus ada dalam diri seorang odapus, yaitu semangat hidup dan kebahagiaan.