Senin, 30 Agustus 2010

Merantau

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia III, Merantau memiliki arti berlayar atau mencari penghidupan di tanah rantau atau pergi ke negeri lain. Sedangkan Wikipedia bersabda kalau merantau adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman.

Dalam budaya Minangkabau, pergi merantau hampir merupakan suatu kewajiban bagi pria kategori usia dewasa muda (20-30 tahun) untuk memperbaiki kondisi finansialnya dan untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, karena jika tidak dijalankan, si pria bisa dijadikan bahan cemoohan oleh masyarakat sekelilingnya.

Merantau, itulah yang sudah saya lakukan sejak tahun 2005 dalam hal pekerjaan. Dimulai dari hijrah yang saya lakukan ke kota apel hingga tahun 2008, dilanjutkan ke kota pahlawan, kembali ke tanah kelahiran pada akhir 2008, untuk kemudian menyeberang ke barat popinsi jambi di tahun berikutnya, dan berpindah lagi ke bagian timur sumatera utara pada bulan ini.

Ya… Saya harus kembali merantau ke daerah baru di bulan ini, akan tetapi merantau yang saya lakukan pada kali ini benar-benar menuju ke tanah rantau dalam arti yang sesungguhnya. Setelah Sembilan bulan mencari nafkah di Muara Bungo, akhirnya saya di mutasi ke Rantau Prapat. Sebuah kota kecamatan di Labuhan Batu, Sumatera Utara yang terkenal dengan hasil perkebunan Sawit dan Karet yang konon memiliki Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terbanyak di Indonesia, dan berjarak sekitar 6-7 jam dari Medan dan atau Pekan Baru.

Proses hijrah yang saya lakukan saat ini dapat dikatakan berlangsung dengan sangat cepat, dalam kondisi darurat, dan cukup berat. Darurat karena saya hanya diberi waktu 2 hari untuk mengurus kepindahan saya. Darurat karena di kota yang baru ini saya akan memulainya tanpa 5 anggota tim yang harus berpisah karena satu dan lain hal. Berat karena dengan kondisi diatas pasti membutuhkan kerja keras untuk dapat mengembalikan ke kondisi yang normal. Berat karena saya akan semakin terpisahkan jarak dan waktu oleh belahan jiwa dan keluarga tercinta.

Akan tetapi sedarurat dan seberat apapun kondisi yang sedang terjadi, pertunjukan haruslah tetap berlangsung, tidak dapat berjalan ditempat dan roda bisnis harus tetap berputar. Dan bukankah Al-Qur’an juga bersabda bahwa sesudah dan disaat kesulitan ada kemudahan? Albert Einstein pun juga meyakini kalau in the middle of every difficult lies opportunity.