Apa yang ada di benak anda tentang novel dwilogi? Jika yang terlintas dipikiran anda adalah tentang novel berseri yang diterbitkan secara berkesinamungan dengan jarak waktu tertentu, maka sepertinya anda perlu menengok dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata. Karena novel ini benar-benar akan merombak pemikiran anda tentang novel dwilogi. Novel ini tidak diterbitkan secara terpisah. Novel ini justru diterbitkan dalam satu edisi saling terbalik, dimana cover depan adalah edisi pertama yang berjudul Padang Bulan dan cover belakang adalah kisah lanjutannya yang berjudul Cinta Di Dalam Gelas.
Kisah dalam novel ini sendiri dibuka dengan kisah getir Syalimah dan Enong, Syalimah yang selama hidupnya jarang menerima kado ataupun kejutan dari suaminya, Zamzami,karena kemiskinan mereka, tiba-tiba mendapatkan hadiah dari suaminya. Sepeda Sim King yang selama ini di idam-idamkan. Begitupun dengan Enong, gadis yang begitu mencintai bahasa Inggris ini baru saja mendapatkan kamus bahasa inggris dari ayahnya, Zamzami. Namun ternyata malang tak dapat ditolak, disaat berada di gerbang kebahagiaan itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan kabar meninggalnya suami dan ayah tercinta mereka, Zamzami meninggal dunia karena tertimbun longsor.
Sepeninggal Zamzami, kisah getir perjuangan hidup Enong pun dimulai. Untuk membantu menafkahi keluarga Enong akhirnya berhenti menikmati pendidikan dasar dan mulai merantau. Enong merantau dengan harapan meraih pekerjaan untuk mnafkahi keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya. Akan tetapi, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, mencari pekerjaan di tanah rantau untuk anak kecil seusia Enong ternyata tidaklah mudah. Berkali-kali mendapat penolakan, Enong akhirnya kembali ke kampong halamannya tanpa mendapatkan pekerjaan.
Di kampung halaman, Enong mencoba sebuah pekerjaan yang saat itu tidak pernah terpikirkan di masyarakat yaitu pendulang timah. Bukan hanya karena ia terlalu kecil, akan tetapi pendulang timah adalah profesi laki-laki dan selama ini tidak ada satu pun wanita yang melakukan pekerjaan tersebut. Enong menjadi pionir disana,bukan karena pekerjaan ini begitu bergengsi akan tetapi karena keterpaksaanlah ia melakukan. Menjadi pendulang timah tidak membutuhkan ijazah dan persyaratan muluk-muluk selain fisik yang kuat.
Sementara itu di kehidupan lain, Ikal yang cinta mati kepada Aling sedang merana karena penolakan ayahnya. Akan tetapi cinta ikal sudah terlalu kuat untuk dihalangi, meskipun oleh ayahnya sekalipun. Berbagai cara ia lakukan untuk mencuri perhatian Aling akan tetapi ternyata cintanya kepada Aling tidak mendapatkan sambutan seperti yang ia harapkan. Akibatnya, ikal yang merasa gundah gulana memutuskan mencari pekerjaan ke Jakarta. Ketika ia akan berangkat ke Jakarta, tepat sebelum sauh diangkat, tiba-tiba ia berubah pikiran dan segera turun dari kapal. Ia harus membuktikan kalau ia mampu mengalahkan Zinar, yang menurut desas-desus merupakan pria yang berhasil mencuri perhatian Aling, melalui pertandingan olahraga.
Banyak kisah dan pelajaran menarik yang dituangkan secara cerdas dengan diiringi humor ala melayu oleh Andrea dalam novel dwilogi ini. Mulai dari tekad dan semangat belajar Enong yang luar biasa, mulai dari bagaimana tekad Enong dalam mempelajari bahasa Inggris dengan ikut kursus di Tanjong Pandan meskipun saat itu usianya sudah tidak muda lagi dan bagaimana semangatnya dalam mempelajari permainan catur meskipun sebelumnya belum pernah menyentuh satu pun bidak catur demi dapat mengalahkan Matarom, mantan suaminya. Semangat yang tertuang dalam kata, ‘Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar’. Mimpi dan tekad yang kelak menjadi stimulan positif bagi Enong. Melalui sosok Enong, Andrea juga mengenalkan tentang tata masyarakat Melayu, dimana anak sulung harus menjadi tulang punggung yang harus bertanggung jawab memikul beban hidup keluarga.
Budaya minum kopi masyarakat Belitong juga digambarkan secara jenaka oleh Andrea Hirata. Bagaimana melalui segelas kopi kepribadian seseorang dapat tergambarkan. Dan bagaimana masyarakat melayu dari berbagai golongan dapat duduk berjam-jam di warung kopi untuk membicarakan apa pun, mulai dari pembicaraan ringan hingga masalah pemerintahan. Bahkan begitu mendarah dagingnya warung kopi, hingga pertandingan catur yang paling bergengsi pun harus diadakan di warung kopi.
Pandangan masyarakat melayu tentang wanita pada saat itu juga digambarkan dengan menarik oleh Andrea, bagaimana terkejutnya rakyat Belitong ketika Enong memutuskan menjadi penambang timah dan bagaimana pro dan kontra yang terjadi ketika Enong memutuskan untuk mengikuti pertandingan catur. Hingga membuat penduduk gempar dan terbelah menjadi dua kubu. Karena selama ini catur adalah hak kaum pria.
Secara keseluruhan dwilogi ini sangatlah menarik. Melalui dwilogi ini Andrea Hirata seperti mengajak kita menertawakan ironi dan diri sendiri tanpa kesan menggurui dan tanpa membuat kita tersinggung. Begitu halus dan jenaka cara bertutur Andrea, sehingga tanpa kita sadari ketika kita membaca novel ini kita sedang menertawakan diri sendiri dan masyarakat kita. Andrea juga memberikan pesan yang implisit melalui kisah perjuangan Enong, bahwa dalam diri setiap manusia terdapat kekuatan yang bahkan tidak disadari seseorang yang akan muncul ketika kita berusaha.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar