Tampilkan postingan dengan label Malang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Malang. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Mei 2011

Festival Malang Kembali - Malang Tempo Doeloe

Beberapa waktu yang lalu sahabat saya mengatakan kalau tanggal 19 – 22 Mei ini Festival Malang Kembali (FMK) atau yang juga dikenal sebagai Malang Tempo Doeloe akan digelar kembali. Sebuah festival yang diadakan sejak tahun 2006 di jalan Ijen yang diprakarsai Yayasan Inggil dan sepertinya sudah menjadi agenda tahunan pemerintah kota Malang.

Selama beberapa hari kita dapat melihat dan menyelami budaya tempo dulu dari kota malang, mulai dari bangunan,sejarah, kebudayaan, kesenian, kehidupan, kerajinan, hingga kuliner. Untuk anda yang menyukai fotografi, banyak sekali objek yang dapat membuat dahaga fotografi anda terpuaskan. Festival yang sepertinya sayang untuk dilewatkan akan tetapi sayangnya saya memang tidak dapat menghadiri festival tersebut.

Masih segar dalam memori ketika festival tersebut pertama kali dihelat ditahun 2006. Betapa antusiasnya warga malang dalam menyambut acara yang akan digelar pertama kalinya itu. Kantor kami pun tidak kalah heboh. Hilir mudik ide mengalir dari kami dalam mempersiapkan acara tersebut. Mulai dari kostum hingga kendaraan yang akan digunakan untuk menuju ke Jalan Ijen. Ketika waktunya tiba, begitu pulang kerja kami pun segera berganti kostum dan berangkat dengan semangat membara menuju jalan ijen dengan menggunakan sepeda onthel. Sesampainya dilokasi kami segera menikmati suasana tempo doeloe tersebut di daerah yang dulunya bernama Ijen Boulevard itu.



Tahun berikutnya saya pun berkesempatan untuk menghadiri festival ini. Bahkan ketika itu saya sampai dua kali menghadiri festival ini. Yang pertama dengan rekan kantor saya yang seperti biasa berpakaian ala tempo doeloe..


Dan yang kedua dengan sahabat Jakarta Student Community, kumpulan pelajar Jakarta di kota Malang, dengan baju ala mahasiswa. Dan seperti tahun sebelumnya, kami pun mengambil beberapa gambar untuk diabadikan.



Jika kebetulan pada tanggal tersebut anda berada di malang dan sekitarnya, maka luangkanlah waktu anda untuk datang ke FMK, nikmatilah suasana kota Malang Tempo Doeloe dan yakinlah kalau anda tidak akan merasa rugi setelahnya.

Senin, 19 November 2007

Guru Inspiratif Bagi Mereka

Membaca tentang artikel di Kompas ini membuat saya ingat akan suatu kegiatan yang biasa saya dan teman-teman Jakarta Student Community (JSC) lakukan setiap 2-6 minggu sekali. Suatu kegiatan yang kami beri nama Sunday Class yang bertujuan membagi sedikit pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki kepada anak-anak penghuni panti asuhan Siti Khadijah di daerah Pakis, Malang. Yang membuat saya teringat akan Sunday Class terutama pada kata-kata yang saya kutip ini:

Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargeng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.

Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.

Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.

Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank.


Memang tidak seekstrim itu sih kondisi yang kami hadapi, murid Erin Gruwell jauuuuuh lebih liar dari 'murid' kami (Itu juga kalau anak-anak Sunday Class tersebut bisa dibilang murid). Akan tetapi sepertinya ada satu kesamaan dalam memandang masa depan antara ‘murid’ Sunday Class kami dengan murid Erin Gruwell sebelum berubah.... Mungkin... Mereka tampaknya sama-sama tidak begitu berani bermimpi untuk masa depan. Ya... mungkin berangan-angan untuk kehidupan masa depan yang lebih baik adalah sesuatu yang mahal bagi mereka. Jika mimpi murid Erin Gruwell mungkin hanya menjadi foot soldiers dalam geng narkoba (saya pernah membaca uraian menarik tentang foot soldiers di Freakonomics), maka mimpi anak Sunday Class -terutama yang sudah berada dibangku setingkat SMU- adalah mereka dapat bertahan hidup selulus SMU... Tidak lebih... Itupun masih disertai kekhawatiran, apakah mereka dapat mewujudkan mimpi mereka tersebut??... Banyak dari mereka baru berani bermimpi seperti itu karena mereka harus keluar dari panti dan hidup secara mandiri tanpa bantuan panti selepas SMU. Setidaknya itulah yang saya dapatkan dari sharing yang pernah kami lakukan kepada beberapa anak panti yang sudah berada dibangku SMU beberapa bulan yang lalu... Itu juga kalau persepsi saya nggak salah...

Saya berpersepsi seperti itu setelah salah seorang yang akan lulus SMU yang bernama Saiku tiba-tiba bertanya kepada saya dan sahabat yang mantan ketua JSC ini. Pertanyaannya kira-kira begini, “Mas, cari kerja itu susah gak??”

Terus terang saya agak bingung menjawab pertanyaan tersebut, akan tetapi melihat wajah Saiku yang sepertinya benar-benar menantikan jawaban dari kami, maka saya pun terpaksa menjawab dengan jawaban yang sangat normatif,”Yah, tergantung Saiku, semuanya tergantung usaha kita. Emangnya kenapa??”

Saiku: “Enggak mas, saya kan udah mau lulus SMU tapi saya bingung mau ngapain. Saya kan harus keluar dari panti....”

Saya: ”Emang yang kamu tau, selama ini setelah lulus pada kemana??”

Saiku: “Yah macem-macem mas, ada yang jadi tukang fotokopi, ada yang kerja di toko bangunan, tapi ada juga yang lama dapet kerjanya”

Saya: “........”

Saiku: “Mas, ada informasi soal lowongan kerja gak?”

Lagi-lagi bingung ngejawabnya, akhirnya saya jawab: “Sekarang sih belum....”

Saiku (Dengan wajah penuh harap): “Kalo ada tolong kabari saya yah mas, biar saya nggak nganggur selepas dari panti.”

Takut memberikan janji kosong, saya hanya menjawab,”InsyaAllah Saiku, nanti saya kabari kalau ada.”

Selanjutnya saya dan sahabat mantan ketua JSC tadi berusaha memberikan motivasi kepada mereka terutama Saiku. Karena dia satu-satunya anak panti yang akan lulus SMU pada saat itu. Entah motivasi yang kami berikan mampu memberikan inspirasi bagi mereka atau tidak.. Tapi kami meyakini kalau kami telah berusaha memberikan saran kami yang terbaik untuk mereka.. Dari sharing tersebut saya semakin meyakini dengan apa yang dikatakan Amartya Sen dan Muhammad Yunus, bahwa kemiskinan terjadi salah satunya karena minimnya kesempatan...

Pengalaman berharga itu membuat kami meyakini kalau kami harus mampu membantu mereka untuk melihat setiap kesempatan yang ada. Meskipun harus disadari kalau kami bukanlah orang yang benar-benar mengerti dalam hal ini dan mungkin kami sendiri termasuk orang yang tidak pandai melihat kesempatan. Tapi kami harus tetap berusaha memberikan inspirasi kepada mereka bahwa kesempatan itu ada kalau kita jeli melihatnya. Yah semoga kami bisa menjadi guru inspiratif bagi mereka. Guru inspiratif yang bisa membangkitkan semangat mereka dan membuat mereka lebih berani menatap masa depan. Tidak mudah memang, tapi memang kami harus bisa.... Dan itulah yang menjadi PR bagi kami.... Bisa... Tidak... Bisa... Tidak... Bisa... yah, Mudah-mudahan kami bisa....

* anak-anak cemerlang yang bernasib kurang beruntung juga dapat dilihat di bagian ini dan bagian ini

Kamis, 25 Oktober 2007

Aremania Yang Bersahabat

Sepakbola merupakan salah satu olahraga paling populer di muka bumi ini, olahraga yang mampu membuat perhatian sebagian besar penduduk bumi berpaling kepadanya. Sepakbola memang memiliki daya tarik tersendiri, sehingga dapat membuat perbedaan mulai dari perbedaan agama, budaya, ekonomi, dan status larut kedalamnya. Hal ini bahkan membuat sepakbola menjadi suatu keyakinan, kebanggaan bahkan ideologi tersendiri bagi suatu kaum. Kebanggaan akan sepakbola bagi suatu kaum ini bahkan berkembang menjadi sikap fanatik suatu kaum terhadap sepakbola di daerahnya dan negaranya. Sikap fanatik ini dapat dilihat dari tingkah laku para suporter sepakbola itu sendiri. Lihatlah bagaimana luar biasa fanatiknya pendukung Liverpool FC dan Everton akan klubnya, hal ini bahkan membuat kota liverpool seakan-akan terdiri dari 2 budaya yang berbeda dan saling berkompetisi. Ya... kota Liverpool seakan-akan terkotak-kotak menjadi The Reds dan Evertonia. Meskipun 'subkultur' ini sangat fanatik dan saling berkompetisi, akan tetapi hal ini tidak sampai membuat mereka untuk saling berkelahi. Karena sikap fanatik kedua pendukung tersebut dapat diakomodir dengan baik oleh para pengurus klub.

Sepakbola memang magnet yang sangat hebat. Daya tarik ini pulalah yang menggiring para pemilik modal untuk ikut berpartisipasi di dalam aktifitas sihir sepakbola dewasa ini. Suatu hal yang sangat wajar, bila dilihat dari potensi keuntungan yang akan didapat dari olahraga ini. Ya... sepakbola yang awalnya digagas untuk menyalurkan hasrat manusia yang senang kompetisi dan perang memang telah berubah menjadi sebuah industri. Sebuah industri yang sangat menggiurkan. Bahkan saat ini, pada sebuah kompetisi yang sudah bertaraf profesional, campur tangan para pemilik modal kuat tidak bisa dihindarkan. Kita dapat melihat bagaimana pengaruh modal Roman Abramovic dapat merubah prestasi Chelsea 2 tahun belakangan ini dari klub yang 'biasa-biasa saja' menjadi klub yang luar biasa.

Jika di pentas dunia, sepakbola sudah menjadi ideologi dan industri. Bagaimana dengan nasib olahraga ini di Indonesia. Sepakbola Indonesia tampaknya sedang mencoba menuju ke arah profesionalisme. Meskipun belum dapat dikatakan benar-benar pofesional dan masih bersifat 'semi profesional'. Indikasi tersebut dapat kita lihat dari sudah banyak masuknya sponsor-sponsor dari korporasi besar Indonesia. Walaupun belum mampu menarik sponsor internasional, sepakbola domestik kita telah berhasil menggairahkan kembali hasrat masyarakat pada olahraga bola sepak itu. Beberapa supporter klub fanatik tumbuh di tiap-tiap klub, bahkan saking fanatiknya sering menimbulkan perkelahian antar klub.

Meskipun korporasi besar sudah mulai masuk ke Indonesia, akan tetapi hal ini tetaplah memiliki perbedaan dengan yang terjadi di negara yang industri sepakbolanya maju. Karena korporasi ini hanya masuk sebagai sponsor liga saja dan hanya sedikit sekali yang berani mengelola klub. Hal ini ini tentu berimplikasi pada pengelolaan klub tersebut. Klub di Indonesia kebanyakan masih bersifat BUMD yang mengakibatkan pengelolaan klub tersebut tergantung dari arah kebijakan pemerintah daerah setempat. Dan hal ini juga menyebabkan peluang terjadinya korupsi yang bertopeng sepakbola terbuka lebar.

Pengelolaan klub yang masih bersifat semi BUMD mengakibatkan banyak klub yang kurang bisa mengelola suporter fanatik yang mereka miliki yang disebabkan cara pengelolaan klub yang masih ‘semi profesional’ dan bernuansa politis. Sehingga aspirasi, hasrat, dan ‘kegilaan’ suporter seringkali tidak mampu tersalurkan dan tidak dapat diimbangi oleh pemilik klub maupun pengelola pertandingan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa Tambaksari pada perempat final piala indonesia lalu, dimana fanatisme dan 'kegilaan' bonek (suporter fanatik Persebaya) tidak dapat diakomodir dan dikelola oleh pengurus Persebaya yang bersifat semi BUMD.

Apakah gambaran diatas mencerminkan semua klub sepakbola di Indonesia??? Saya kira tidak... Untuk melihat contoh lain dari ‘subkultur’ sepakbola di Indonesia, maka kita dapat menengok ke kota Malang.. Kota yang sudah saya tinggali selama dua tahun. Ya sepakbola, khususnya Arema, tampaknya sudah menjadi identitas, simbol, dan karakter bagi warga Malang. Arema yang merupakan akronim dari Arek Malang konon berasal dari nama Patih Kebo Arema di kala Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama hingga seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama.

Warga Malang memang begitu bangga dengan ke-Arema-annya. Klub yang baru berdiri tahun 1987 ini pada awalnya juga masih jauh dari profesional dalam pengelolaannya. Pengelolaan klub ini pada awalnya selalu terseok-seok dalam masalah dana meskipun prestasi klub ini di tingkat nasional dapat dikatakan cukup baik. Kesulitan keuangan yang dialami Arema tampaknya dilihat oleh PT Bentoel Internasional Tbk. Sehingga pada pertengahan musim kompetisi 2003 kepemilikan Arema diambil alih oleh perusahaan tersebut.

Perubahan pengelolaan tesebut memberi dampak pada prestasi klub dan kedewasaan suporter. Arema yang sebelumnya sempat terkena degradasi ke divisi 1, berhasil menjadi juara Divisi I Liga Indonesia 2004 dan kembali berlaga di Divisi Utama pada musim kompetisi 2005 dengan materi dan dana dari pemilik baru. Hal ini semakin meningkatkan kepercayaan dan kebanggaan warga Malang akan Singo Edan, julukan bagi klub Arema. Simpul-simpul suporter yang berada di korwil-korwil semakin tertata rapih. Sehingga fanatisme pendukung dapat terakomodir dengan baik, sehingga tidaklah mengerankan jika Aremania sempat dinobatkan sebagai kelompok suporter terbaik di Asia Tenggara.

Kebanggaan dan antusiasme suporter ini dapat dilihat jika Arema bertanding, baik itu dikandang maupun bertandang. Aremania akan berusaha untuk dapat melihat secara langsung pertandingan klub kesayangannya. Bahkan mereka rela untuk antri berjam-jam demi menyaksikan klub kesayangan mereka bertanding. Para suporter yang tidak pergi kestadion pun tidak kalah antusias, mereka akan tetap seksama menyimak kesebelasan mereka bertanding melalui televisi maupun radio. Semua golongan masyarakat mulai dari pria, wanita, pelajar, mahasiwa, anak-anak, dewasa, satpam, pedagang, sampai golongan atas menyimak pertandingan kesebelasan kesayangannya. Suasana di stadion pun dapat dikatakan sangat bersahabat untuk ukuran sepakbola Indonesia. Sehingga tidak usah heran apabila para pemain juga akan berusaha menunjukkan kemampuan terbaik mereka di lapangan.

Prestasi klub pun lambat laun mengalami perbaikan. Sehingga Arema kemudian menjelma menjadi salah satu klub papan atas di Indonesia. Gelar juara pun sepertinya tinggal menunggu waktu, dan benar saja, pada tahun 2005 Arema berhasil menjadi juara di Copa Indonesia. Gelar juara ini pun berhasil mereka pertahankan pada bulan September tahun 2006 ini. Keberhasilan Arema dalam mempertahankan Copa pun mendapatkan antusiasme dari warga Malang. Hal ini mengakibatkan kota Malang yang tidak pernah macet , menjadi macet total karena lautan biru Aremania. Meskipun begitu arak-arakan dan perayaan keberhasilan ini dapat berjalan dengan tenang dan ’tidak menakutkan’ seperti yang lazim terjadi di Indonesia. Ya... klub Arema Malang dengan Aremania memang memberikan warna yang berbeda didalam persepakbolaan Indonesia.

Disaat klub lain masih mencari identitas, Arema telah berubah menjadi identitas, simbol, dan karakter bagi warga Malang yang bersahabat.