Kamis, 05 Mei 2011

9 Summers 10 Autumns

Siapa sangka anak seorang supir angkot di di kota kecil di Jawa Timur yang hidup serba pas-pasan bisa menjadi direktur di salah satu perusahaan besar dunia di New York, Amerika Serikat. Ya… Siapa yang menyangka.. Tapi ini benar-benar terjadi.. Adalah Iwan Setyawan yang membuat hal yang sepertinya utopis tersebut menjadi nyata... Melalui novel memoarnya yang berjudul 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke Big Apple, Iwan bertutur tentang perjalanan hidupnya hingga menjadi salah satu direktur salah satu perusahaan besar di New York. Iwan tidak menawarkan mimpi, Iwan justru memberi contoh bagaimana mengeksekusi menjadi nyata.

Terlahir dari keluarga yang miskin. Bapaknya adalah seorang supir angkot yang tidak bisa mengingat tanggal lahirnya sementara ibunya tidak sempat lulus sekolah dasar. Di rumah berukuran 6 x 7 meter di kaki Gunung Panderman, Batu, Iwan tumbuh dan berkembang bersama kedua orang tua dan empat saudara perempuannya. Tidak ada mainan yang bisa diingat, tidak ada sepeda, tidak ada boneka, dan tidak ada kamar. Bukulah yang menjadi pelipur lara dan hiburan pengganti semua itu. Iwan kecil saat itu hanya memiliki mimpi membangun kamar di rumah kecilnya.

Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Dalam memanajemen perut keluarga, ibunya dibekali intuisi manajemen keluarga yang kuat, ibunya mampu membelah 1 telur untuk 3 anaknya yang masih kecil dengan merata dan tahu berapa liter nasi yang harus di masak dan bisa habis tanpa tersisa saat dimakan oleh suami dan 5 anaknya.

Tekadnya yang kuat untuk mewujudkan mimpinya membuatnya menjadi sosok yang gigih. Kakak, adik, dan keterbatasan adalah inspirasi dalam hidupnya untuk lebih maju lagi. Ia benar-benar menjadikan buku, semangat, dan ketekunan sebagai pengganti mainan yang tidak dimilikinya, buku benar-benar pelipur lara baginya. Dan dari buku dan pendidikanlah ia mampu keluar dari jerat dan lingkaran setan penderitaan.

Iwan mengisahkan bagaimana perjuangannya untuk bisa menembus Fakultas MIPA IPB, kemudian menjadi lulusan terbaik, hingga akhirnya menjadi Director Internal Client di Nielsen Consumer Research di New York. Dalam ceritanya, secara tidak langsung Iwan memberikan resep bagaimana mengikuti jejaknya. Ia tidak minder ketika harus bersaing dengan lulusan luar negeri, ia selalu datang lebih pagi dan pulang lebih malam dibanding rekan-rekannya, ia selalu menyelesaikan pekerjaan lebih dari yang diminta, dan ia tidak mudah menyerah.

Iwan juga menyadarkan kita kalau tidak selamanya gemerlapnya hidup dan suksesnya dapat memuaskan semuanya. Dalam kilau sukses di New York, Iwan juga sering merasa kesepian. Ada kerinduan didalam jiwanya. Kerinduan kembali kampung halaman dan kerinduan kehangatan di keluarganya. Hingga ia akhirnya memutuskan meninggalkan hingar binger kota New York untuk pulang ke kampung halamannya.

Menurut saya buku ini adalah novel memoir. Iwan berusaha menceritakan perjalanan hidupnya melalui media seorang anak kecil dalam bentuk memoar. Kisah hidup dan perjuangan Iwan cukup tergambar dalam buku ini. Bahkan kegemaran iwan akan seni dan sastra tertuang juga, bagaimana Iwan menyukai Khairil Anwar, Paul Verlaine, Fyodor Dostoevsky, dan juga pementasan opera.

Secara keseluruhan buku ini cukup bagus. Bahasanya ringan dan tidak bertele-tele. Dan seperti telah dikatakan diatas… Buku ini tidak menawarkan mimpi, justru buku ini mengajak kita untuk bangun dari mimpi kita agar belajar dan bekerja lebih keras lagi untuk mengeksekusi mimpi-mimpi kita.

Tidak ada komentar: