Sabtu, 18 Juni 2011

Habibie Ainun

Belasan tahun yang lalu ketika masih sekolah, saya teringat betapa saya menyukai kisah Romeo & Juliet dan Layla Majnun. Roman fiksi yang mencerminkan cinta dan kasih sayang umat manusia yang dituturkan secara apik dalam suatu kisah.

Romeo & Juliet adalah karya dari William Shakespeare yang berlatar di kota Verona dan mengisahkan sepasang insan, bernama Romeo yang berasal dari keluarga Montague dan Juliet dari keluarga Capulet, yang saling jatuh cinta, namun terhalang karena kedua keluarga mereka saling bermusuhan. Kisah ini berakhir tragis setelah Romeo memutuskan untuk minum racun setelah mengira Juliet meninggal dunia. Setelah Juliet terbangun dan melihat Romeo meninggal karena racun, maka ia bunuh diri dengan menggunakan pisau. Kisah ini sendiri dianggap sebagai salah satu kisah cinta sepanjang masa yang telah di film kan, ditulis kembali, dan dipentaskan di berbagai teater.

Layla Majnun adalah karya Syaikh Hakim Nizhami, yang konon menginspirasi William Shakespeare untuk menuliskan Romeo & Juliet. Dikisahkan Majnun begtu mencintai Layla sepanjang hidupnya. Demi cintanya ia tahan tidak tidur, tahan lapar, tahan kehujanan dan kepanasan demi Layla. Namun sayang cintanya ditentang oleh keadaan orang tua. Layla yang mengetahui ada seseorang yang mencintai hatinya dengan tulus, tetap setia dan menjaga keperawanannya demi Majnun, belahan jiwanya. Majnun yang begitu tergila-gila pada Layla akhirnya menjadi gila karena cintanya yang tak pernah sampai.

Kini, belasan tahun setelah membaca dan menonton kedua kisah diatas. Saya mendapati kembali kisah kasih sayang antara sesama manusia yang tulus dalam kisah Habibie & Ainun yang dikisahkan oleh pelakunya sendiri Prof Dr Ing BJ Habibie, mantan Presiden Indonesia ke 3. Sebuah kisah yang dirajut dalam ketulusan dan kasih sayang dalam menjalani suka duka kehidupan, yang menurut saya lebih hebat dari kedua kisah diatas.

Jika kedua kisah diatas menggambarkan bagaimana seseorang 'berani mati' untuk orang yang dikasihinya, maka kisah Habibie & Ainun justru menggambarkan bagaimana kita berani hidup dan berkorban untuk orang yang kita kasihi dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawadah warrahmah.

Kisah romansa Habibie dan Ainun sendiri dimulai dari pertemuan di kediaman keluarga besari, keluarga besar Ainun, di Rangga Malela 11B, Bandung. Habibie, seorang insinyur yang baru pulang dari Jerman bertemu kembali dengan Ainun, kawan SMA-nya, seorang dokter lulusan FK UI setelah 7 tahun tak pernah jumpa. Dalam pertemuan itu Habibie tak menyangka Ainun telah menjadi dokter berparas cantik. Padahal, saat sama-sama masih duduk di bangku SMA, Habibie kerap mengolok Ainun yang gemuk dan hitam. Merasakan ada getaran dalam hatinya, spontan Habibie berkata, ‘Ainun kamu cantik, dari gula jawa menjadi gula pasir!’. Saat itu Habibie meyakini kalau Ainun adalah jodoh yang dititipkan Allah SWT untuknya seperti yang pernah diungkapkannya, ’Ada perasaan yang sangat dalam dari sebuah pancaran cahaya berdimensi 1 milliar 60 kl/jam dan kecepatan suara hanya 1000 km/jam. Hal itu memberikan informasi kepada saya inilah jodoh yang dititipkan Allah’.

Pelajaran menarik dari kisah kasih Habibie Ainun salah satunya adalah ketika pasangan muda ini memulai hidup di negeri orang dengan kondisi keuangan yang pas-pasan. Haibibie muda yang sedang berkuliah terpaksa mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang membuatnya menjadi begitu sibuk. Begitu sibuknya sampai membuat Habibie seringkali pulang larut malam. Keterbatasan dan kesibukkan suami ternyata tidak membuat Ainun mengeluh, justru sebaliknya, Ainun dengan setia menunggu suaminya pulang, memberikan semangat, motivasi, menyumbang ide, mengingatkan untuk sholat tahajud, dan ikut membantu serta mengingatkan suaminya untuk menjaga kesehatannya. Hingga kehidupan yang pas-pasan pun dapat mereka jalani dengan ikhlas dan bahagia.

Masih di Jerman, Ainun kembali memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya perhatian terhadap keluarga. Ainun yang saat berpeluang untuk melanjutkan pendidikan dan meniti karirnya sebagai Dokter, ia dengan berani memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya demi fokus untuk mengurus suami dan kedua anaknya. ‘Saya lebih dibutuhkan dibelakang layar’, kata Ainun, sebuah pengorbanan yang istimewa dari seorang istri demi dapat mencurahkan segenap perhatian untuk keluarganya.

Pelajaran berharga dari kisah mereka juga dapat dilihat sejak Ainun terkena penyakit Jantung. Habibie yang menyayangi belahan jiwanya dengan setulus hati dengan setia terus berusaha untuk menemani dan memberi dukungan kepada Istri tercintanya. Beliau seperti tidak ingin berpisah walau sedetikpun dengan belahan jiwanya. Pengorbanan yang menguras energi dan mengaduk-aduk perasaan ini dijalani oleh Habibie selama kurang lebih 10 tahun dengan ikhlas karena dalamnya cinta. Hingga akhirnya pada tanggal 22 Mei 2010, Habibie harus benar-benar berpisah dengan Ainun secara fisik. Bukan karena suatu permasalahan, akan tetapi karena Ainun dipanggil oleh Allah SWT. Habibie yang saat itu merasakan kehilangan yang mendalam karena tulang rusuk yang diciptakan oleh Allah SWT harus diambil sampai harus melewati perawatan psikologi salah satunya dengan terapi menulis yang kemudian menghasilkan buku Habibie Ainun.

Habibie seakan ingin menunjukkan betapa dalam sayangnya kepada belahan jiwanya melalui kisah dan ungkapan yang dikumandangkan beliau tentang betapa bahagia dan beruntungnya mendapatkan istri yang selalu diliputi kesabaran dan tanggung jawab. Beliau juga sering menggambarkan kalau Habibie dan Ainun adalah manunggal dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini seperti yang digambarkan oleh Yusran Darmawan dalam kompasiana:

Pada tahun 2006, saya mengikuti seminar yang diadakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di kantor BPPT Jakarta, di mana Habibie menjadi keynote speaker. Saya masih ingat betul bahwa saat itu, Habibie datang ditemani Ainun. Bahkan di saat usai berceramah, di saat semua wartawan datang merubunginya, ia masih mencari-cari di mana Ainun. Pada saat seorang wartawan bertanya tentang pendapatnya atas situasi di Timor Leste, Habibie hanya menjawab singkat. “Maafkan, saya sedang mencari di mana mantan pacar saya. Mana Ainun? Saya belum pernah pisah dengan Ainun. Mana Ainun?”

Habibie juga membagi resep lain yang membuat hubungan mereka begitu harmonis sampai akhir hayat, salah satunya adalah melalui kepedulian kecil yang diberikan melalui pertanyaan-pertanyaan menjelang tidur, seperti ‘apakah sudah mendirikan sholat’; ‘jangan lupa makan’; ‘jangan lupa minum obat’; ‘apakah saya perlu sholat tahajud; dan lainnya. Ada salah satu bentuk perhatian Ainun yang mungkin tidak akan dilupakan Habibie, yaitu ketika Ainun harus berjuang melawan maut dengan 50 selang ditubuhnya di ruang ICCU, Ainun masih menunjukan perhatiannya.’ Kamu khawatir saya belum makan?. Ainun lantas menjawab dengan kepala mengangguk’. Subhanallah, sebuah perhatian yang sangat istimewa dari seorang istri kepada suaminya, disaat sebenarnya sang istrilah yang saat itu lebih membutuhkan perhatian.

Banyak pelajaran yang bisa didapat dari kisah mantan Presiden Indonesia yang ke 3, kisah tentang ketulusan dan keagungan cinta dan bagaimana menjalankannya ditengah jalan yang berliku hingga terwujud keluarga yang sakinah mawadah warrahmah yang hanya dapat dipisahkan oleh kematian. Sebuah kisah yang sungguh sangat luar biasa.

1 komentar:

pujiono mengatakan...

Innalilahi wainnailaihi rojiun, semoga husnul khatimah, dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di surga. Amin