Kamis, 21 Juli 2011

Berteman Dengan Kematian

Aku Mau hidup Seribu Tahun Lagi – Chairil Anwar

Lupus.. semenjak pertama kali mendengar tentang penyakit ini saya langsung tertarik untuk mengetahuinya. Karena sama seperti AIDS, penyakit ini masih belum ditemukan obatnya hingga saat ini. Yang membedakan diantaranya adalah, jika penyebab penyakit AIDS bisa diketahui, maka untuk Lupus penyebab pastinya masih belum diketahui. Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti Serigala, hal ini disebabkan penderita penyakit ini pada umumnya memiliki ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi yang serupa dengan pipi serigala. Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit seribu wajah karena memiliki gejala bermacam-macam dan berubah-ubah dan tidak mudah didiagnosa. Berangkat dari ketertarikan itu, maka ketika saya melihat buku Berteman Dengan Kematian, maka langsung saya tukar uang saya dengan buku yang berkisah tentang seorang gadis yang menderita lupus tersebut.

Buku ini adalah memoar dari penulisnya, Sinta Ridwan, gadis kelahiran Cirebon Januari 1985, yang dituturkan seperti menulis di catatan harian yang jauh dari kesan dramatisir dengan bahasa khas anak muda yang tajam, polos, tidak cengeng, dan tanpa basa basi yang ternyata justru membuat buku ini menjadi semakin menarik. Melalui novel memoar ini Sinta tidak hanya bercerita tentang penyakit lupusnya akan tetapi juga mengenai mozaik hidupnya semenjak ia kecil hingga sekarang. Tentang getirnya masa kanak-kanak, penderitaan psikologis akibat keluarga yang berantakan, perasaannya ketika ditinggal 2 orang terdekatnya disaat yang hampir bersamaan, alasannya memilih Bandung sebagai lokasi tempat kuliah, perjuangan hidupnya di kota kembang, awal mula divonis menjadi odapus, penyangkalannya akan lupus yang membuatnya tidak dapat menerima kenyataan dan menjadi perokok, hingga berdamai dengan lupus.

Melalui buku ini Sinta juga mengedukasi kita tentang apa dan bagaimanakah penyakit Lupus melalui catatan-catatannya yang dilengkapi dengan berbagai istilah ilmiah tanpa kesan menggurui dan bahasa yang tidak bertele-tele. Penjelasan ini cukup baik menurut saya, karena sampai saat ini Lupus masihlah asing di masyarakat. Dalam buku ini hal tersebut dapat tergambar dari ucapan salah satu sahabat Sinta yang membuat gurauan tentang penyakit Sinta. Gurauan ini mungkin disebabkan karena Lupus lebih populer sebagai film anak muda dan novel tahun 90-an dibandingkan penyakit.

Bagaimana Sinta berdamai dengan Lupus juga cukup inspiratif. Terkena Lupus saat masih menjadi mahasiswi yang penuh cita dan angan, membuat Sinta sempat tidak dapat menerima kenyataan kalau ia adalah seorang odapus dengan berhenti mengkonsumsi obat dan menjadi perokok, hingga akhirnya bisa menerima keadaan dan mulai bersahabat dengan penyakit yang belum ada obatnya tersebut. Sinta akhirnya bangkit dari keterpurukan, berhasil menyelesaikan kuliah strata 1, untuk kemudian melanjutkan ke Pascasarjana Jurusan Fiologi Unpad agar dapat mengkaji dan melestarikan naskah kuno warisan nusantara. Sinta juga mencoba memaknai waktu hidupnya dengan berbagi kepada sesama mengenai informasi terkait dengan lupus serta menulis puisi dan novel. Perubahan tersebut terjadi karena Sinta meyakini hanya ada satu obat yang dapat menyembuhkan Lupus dan itu harus ada dalam diri seorang odapus, yaitu semangat hidup dan kebahagiaan.

1 komentar:

bambang pri mengatakan...

Teman-Teman, bisa bantu saya mendapatkan alamat kontak mBak Sinta Ridwan?! Ada yang bisa dilakukan untuk ikut merealisir mimpi-2 beliau dalam soal Museum Dijital, mungkin komunitas dijital kreatif Indonesia dapat berkontribusi. Terima kasih atas bantuan teman-teman.
wass
bsp