Minggu, 29 Mei 2011

Sejarah Para Pemimpin Islam

Sejujurnya saya membeli buku ini karena hasrat ingin tahu saya tentang sejarah peradaban Islam setelah membaca buku Dari Puncak Bagdad. Dengan judul Sejarah Para Pemimpin Islam, buku yang terdiri dari 3 seri ini menarik minat saya untuk segera merogoh kocek agar dapat membawanya pulang.

Hasrat yang membuncah membuat saya langsung melahap halaman demi halaman dari seri pertama buku ini yang memuat kisah mulai dari Abu Bakar hingga Utsman ketika tiba di rumah. Akan tetapi alangkah terkejutnya saya begitu mendapati beberapa penyampaian akan Abu Bakar As Shidiq. Bukan hanya tidak sesuai dengan apa yang pernah saya pelajari dahulu, akan tetapi begitu bertaburannya fitnah dan caci maki terhadap Abu Bakar, membuat rasa curiga saya akan adanya propaganda tertentu yang berjalan beriringan dengan kisah dalam buku ini semakin menguat. Saya mencoba melanjuti kisah buku ini, dan semakin saya membaca semakin banyak fitnah dan pelecehan terhadap sahabat Rasulullah yang tertuang dalam kata-kata dibuku ini. Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, dan beberapa sahabat Rasulullah tidak luput dari fitnah yang terdapat dalam buku ini.

Sejujurnya saya sudah menyadari kalau buku ini adalah propaganda Syiah dari berbagai fitnah diatas dan cara penyebutan Ali Bin Abi Thalib dengan sebutan Imam Ali. Apalagi ketika saya mencoba mencari tahu tentang penuls buku ini, Rasul Ja’fariyan yang ternyata merupakan salah satu ulama Syiah yang memenangi Iran’s Book Of The Year melalui buku Shi’a Atlas. Akan tetapi saya tetap mencoba untuk membaca buku ini, karena saya penasaran bagaimana Syiah bercerita tentang pemimpin Islam. Karena saya meyakini kalau buku ini tidak akan membuat saya menjadi seorang Syiah selagi saya bisa menjaga diri dan mengimbangi dengan bacaan yang lurus.

Di buku kedua dan ketiga, cerita berkisah mulai dari Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin Ali, Husain Bin Ali, gerakan dan peristiwa karbala, dan beberapa paham Syiah. Ada beberapa hal yang saya tangkap dari buku ini, bukan hanya Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Bin Khattab, dan Utsman Bin Affan yang difitnah oleh Syiah, akan tetapi Ali Bin Thalib dan keturunan-keturunannya pun tak luput dari cerita bohong yang mereka buat. Betapa Ali Bin Abi Thalib, Hasan dan Husain digambarkan seakan-akan memiliki kekuatan gaib ilahiyah. Beberapa peristiwa yang terjadi, seperti perang jamal juga tidak luput dari penambahan dan pengurangan fakta sejarah yang terjadi. Melalui buku ini, saya juga mengetahu akan hadist-hadist Syiah yang bukan hanya bersumber dari Rasulullah SAW. Akan tetapi dari Ali, Hasan, Husain, dan para imam Syiah.

Untuk anda yang ingin mengetahui fitnah dan pemikiran Syiah terhadap para khalifah dan sahabat Rasulullah, buku ini dapat menjadi salah satu yang dapat anda baca. Akan tetapi untuk anda yang ingin benar-benar belajar dan mengetahui mengenai sejarah khalifah Islam, maka kesampingkanlah buku ini dari daftar anda. Karena buku ini bukan hanya penuh caci maki, fitnah, dan pengkaburan fakta sejarah tanpa analisis sistem khalifah secara komprehensif, akan tetapi juga sangat berpotensi menyesatkan anda.

Senin, 23 Mei 2011

Dari Puncak Bagdad : Sejarah Dunia Versi Islam

Presiden Soekarno, dalam pidatonya saat peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1966 pernah mengatakan ‘Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah’ atau populer dengan istilah Jas Merah. Melalui sejarah kita bisa mengetahui dan meniru keberhasilan dan kebaikan pendahulu kita di masa lampau dan menghindari melakukan kesalahan yang dilakukan oleh para pendahulu.

Sejarah pun seringkali tidak lepas dari cara pandang, latar pendidikan, dan subyektifitas penulisnya. Perbedaan sudut pandang tersebut terkadang membuat suatu topik atau tokoh yang sama bisa menghasilkan cara pandang yang berbeda. Contohnya dalam literatur sejarah Indonesia kita mengenal sosok JP Coen sebagai seorang penjajah yang menindas rakyat Indonesia , sedangkan dalam pandangan Belanda sosok yang disebutkan tadi adalah seorang pahlawan. Dalam beberapa hal, sejarah juga dapat dipengaruhi oleh pandangan dari suatu kelompok ataupun rezim yang mendominasi. Hal ini dapat dilihat dari kontroversi sejarah Indonesia yang didominasi oleh cara pandang rezim yang berkuasa. Bagaimana kontroversinya peristiwa supersemar dan bagaimana kisah Tan Malaka serta Soe Hok Gie berusaha untuk ditutupi adalah contohnya.

Begitu pun dengan sejarah peradaban dunia yang tidak lepas dari cara pandang penulisnya. Begitu mendominasinya barat dalam peradaban dunia dewasa ini membuat banyak literatur sejarah peradaban dunia cenderung lebih mengarah ke barat. Dalam banyak hal, mulai dari zaman filsuf yunani, zaman kegelapan, renaisans, hingga industrialisasi selalu digambarkan seakan-akan hanya baratlah pusat episentrum peradaban dunia dan belahan dunia lain hanyalah pelengkap yang dikisahkan dalam bab kecil peradaban dunia, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Banyak dari kita yang tidak tahu, kalau ternyata pada saat bangsa barat sedang berada dalam era kegelapan, ternyata dibelahan dunia lain terdapat peradaban yang begitu jaya dan maju. Dan peradaban itu adalah peradaban Islam.

Untuk mengimbangi sudut pandang sejarah tersebutlah Tamim Ansary mencoba mengupas peradaban dunia dari sudut pandang yang berbeda dengan barat… sudut pandang Islam. Melalui buku Dari Puncak Bagdad : Sejarah Dunia Versi Islam, Tamim mencoba mengisi kekosongan sejarah yang selama ini jarang dikisahkan dalam literatur sejarah dewasa ini. Tamim seolah mencoba merubah cara pandang barat tentang Islam serta memberi warna dan menambah khasanah keilmuan tentang sejarah peradaban dunia. Dengan penuturan yang terkesan seperti sedang bercerita sambil minum teh, Tamim mencoba menegaskan bahwa Islam juga memiliki pengaruh dalam sejarah panjang peradaban dunia.

Menurut Tamim, titik awal dari sejarah peradaban Islam sendiri dimulai sejak hijrah nabi dari Mekah ke Madinah yang merupakan tahun nol hijriah. Hijrah menandai terbentuknya ummah dalam membentuk peradaban baru di Madinah. Titik awal dari terciptanya peradaban Islam yang maju dan berkembang.

Kisah menarik terjadi pada saat Rasulullah SAW wafat, karena Rasulullah tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang kelak menjadi pengganti beliau. Kebimbangan sempat melanda sahabat Rasul karena tidak ada mekanisme pemilihan pemimpin yang diwariskan. Dan dimulailah era Khaulafa Rasyidi yang terus berlanjut sampai zaman kejayaan peradaban Islam hingga memudarnya pamor kejayaan Islam.

Menarik ketika membahas hilangnya kejayaan intelektual Islam dari panggung dunia yang kemudian tertutup oleh khazanah intelektual barat yang tercipta melalui arus renaisans. Tokoh-tokoh intelektul muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Jabar muncul dan berkibar pada saat imperium Islam sedang memudar dan pada era setelahnya Isaac Newton, A.G Bell dan ilmuwan barat bermunculan pada saat kebangkitan barat. Hal itulah yang pada akhirnya membuat gaung Ilmuwan Muslim yang merupakan perintis pengetahuan modern tertutup oleh para tokoh intelektual barat.

Menarik juga ketika membahas runtuhnya kejayaan Islam. Karena hal ini tidak disebabkan oleh kekuatan militer, akan tetapi disebabkan oleh perdagangan, perebutan emas, dan perpecahan di tubuh umat Islam itu sendiri, yang akhirnya menggerogoti kejayaan Islam.

Tamim Ansary, penulis buku ini, sendiri lahir di Afghanistan dan bermukim di San Fransisco. Melalui buku ini Tamim seakan ingin membuka mata dunia tentang peradaban Islam yang selama ini hanya mendapat porsi kecil dalam literatur sejarah barat. Sepertinya buku ini sengaja disusun oleh Tamim untuk mengoreksi pandangan barat tentang Islam dan dihadirkan untuk konsumsi barat.

Kehadiran buku ini cukup baik dalam menambah khasanah literatur sejarah dunia. Akan tetapi buku ini juga tidak bebas dari sudut pandang tertentu, penulis yang tumbuh dan besar dalam lingkungan sekuler membuat buku ini terkesan sekuler dari gaya penulisan dan sudut pandang penulis ketika menceritakan berbagai kisah di buku ini. Penulis sepertinya berusaha untuk obyektif dalam menuliskan buku ini dengan mengambil beberapa literatur Islam, Barat, dan bahkan Syiah. Akan tetapi campur aduk literatur tersebut justru membuat saya seringkali mengernyitkan dahi dalam membaca buku ini, karena beberapa hal yang kurang sesuai dengan apa saya pelajari saat ini. Seperti ketika dalam membahas kekurangan khaulafa rasyidin yang sepertinya bercampur dalam sudut pandang aliran tertentu. Kehadiran buku ini sungguh membuat hasrat saya untuk belajar sejarah Islam tergugah, karena sisi sekuler dan campur aduk paham dalam buku ini membuat saya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi karena saya meyakini pasti ada kekeliruan dari buku ini.

Sabtu, 21 Mei 2011

Padang Bulan & Cinta Di Dalam Gelas

Apa yang ada di benak anda tentang novel dwilogi? Jika yang terlintas dipikiran anda adalah tentang novel berseri yang diterbitkan secara berkesinamungan dengan jarak waktu tertentu, maka sepertinya anda perlu menengok dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata. Karena novel ini benar-benar akan merombak pemikiran anda tentang novel dwilogi. Novel ini tidak diterbitkan secara terpisah. Novel ini justru diterbitkan dalam satu edisi saling terbalik, dimana cover depan adalah edisi pertama yang berjudul Padang Bulan dan cover belakang adalah kisah lanjutannya yang berjudul Cinta Di Dalam Gelas.

Kisah dalam novel ini sendiri dibuka dengan kisah getir Syalimah dan Enong, Syalimah yang selama hidupnya jarang menerima kado ataupun kejutan dari suaminya, Zamzami,karena kemiskinan mereka, tiba-tiba mendapatkan hadiah dari suaminya. Sepeda Sim King yang selama ini di idam-idamkan. Begitupun dengan Enong, gadis yang begitu mencintai bahasa Inggris ini baru saja mendapatkan kamus bahasa inggris dari ayahnya, Zamzami. Namun ternyata malang tak dapat ditolak, disaat berada di gerbang kebahagiaan itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan kabar meninggalnya suami dan ayah tercinta mereka, Zamzami meninggal dunia karena tertimbun longsor.

Sepeninggal Zamzami, kisah getir perjuangan hidup Enong pun dimulai. Untuk membantu menafkahi keluarga Enong akhirnya berhenti menikmati pendidikan dasar dan mulai merantau. Enong merantau dengan harapan meraih pekerjaan untuk mnafkahi keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya. Akan tetapi, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, mencari pekerjaan di tanah rantau untuk anak kecil seusia Enong ternyata tidaklah mudah. Berkali-kali mendapat penolakan, Enong akhirnya kembali ke kampong halamannya tanpa mendapatkan pekerjaan.

Di kampung halaman, Enong mencoba sebuah pekerjaan yang saat itu tidak pernah terpikirkan di masyarakat yaitu pendulang timah. Bukan hanya karena ia terlalu kecil, akan tetapi pendulang timah adalah profesi laki-laki dan selama ini tidak ada satu pun wanita yang melakukan pekerjaan tersebut. Enong menjadi pionir disana,bukan karena pekerjaan ini begitu bergengsi akan tetapi karena keterpaksaanlah ia melakukan. Menjadi pendulang timah tidak membutuhkan ijazah dan persyaratan muluk-muluk selain fisik yang kuat.

Sementara itu di kehidupan lain, Ikal yang cinta mati kepada Aling sedang merana karena penolakan ayahnya. Akan tetapi cinta ikal sudah terlalu kuat untuk dihalangi, meskipun oleh ayahnya sekalipun. Berbagai cara ia lakukan untuk mencuri perhatian Aling akan tetapi ternyata cintanya kepada Aling tidak mendapatkan sambutan seperti yang ia harapkan. Akibatnya, ikal yang merasa gundah gulana memutuskan mencari pekerjaan ke Jakarta. Ketika ia akan berangkat ke Jakarta, tepat sebelum sauh diangkat, tiba-tiba ia berubah pikiran dan segera turun dari kapal. Ia harus membuktikan kalau ia mampu mengalahkan Zinar, yang menurut desas-desus merupakan pria yang berhasil mencuri perhatian Aling, melalui pertandingan olahraga.

Banyak kisah dan pelajaran menarik yang dituangkan secara cerdas dengan diiringi humor ala melayu oleh Andrea dalam novel dwilogi ini. Mulai dari tekad dan semangat belajar Enong yang luar biasa, mulai dari bagaimana tekad Enong dalam mempelajari bahasa Inggris dengan ikut kursus di Tanjong Pandan meskipun saat itu usianya sudah tidak muda lagi dan bagaimana semangatnya dalam mempelajari permainan catur meskipun sebelumnya belum pernah menyentuh satu pun bidak catur demi dapat mengalahkan Matarom, mantan suaminya. Semangat yang tertuang dalam kata, ‘Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar’. Mimpi dan tekad yang kelak menjadi stimulan positif bagi Enong. Melalui sosok Enong, Andrea juga mengenalkan tentang tata masyarakat Melayu, dimana anak sulung harus menjadi tulang punggung yang harus bertanggung jawab memikul beban hidup keluarga.

Budaya minum kopi masyarakat Belitong juga digambarkan secara jenaka oleh Andrea Hirata. Bagaimana melalui segelas kopi kepribadian seseorang dapat tergambarkan. Dan bagaimana masyarakat melayu dari berbagai golongan dapat duduk berjam-jam di warung kopi untuk membicarakan apa pun, mulai dari pembicaraan ringan hingga masalah pemerintahan. Bahkan begitu mendarah dagingnya warung kopi, hingga pertandingan catur yang paling bergengsi pun harus diadakan di warung kopi.

Pandangan masyarakat melayu tentang wanita pada saat itu juga digambarkan dengan menarik oleh Andrea, bagaimana terkejutnya rakyat Belitong ketika Enong memutuskan menjadi penambang timah dan bagaimana pro dan kontra yang terjadi ketika Enong memutuskan untuk mengikuti pertandingan catur. Hingga membuat penduduk gempar dan terbelah menjadi dua kubu. Karena selama ini catur adalah hak kaum pria.

Secara keseluruhan dwilogi ini sangatlah menarik. Melalui dwilogi ini Andrea Hirata seperti mengajak kita menertawakan ironi dan diri sendiri tanpa kesan menggurui dan tanpa membuat kita tersinggung. Begitu halus dan jenaka cara bertutur Andrea, sehingga tanpa kita sadari ketika kita membaca novel ini kita sedang menertawakan diri sendiri dan masyarakat kita. Andrea juga memberikan pesan yang implisit melalui kisah perjuangan Enong, bahwa dalam diri setiap manusia terdapat kekuatan yang bahkan tidak disadari seseorang yang akan muncul ketika kita berusaha.

Rabu, 18 Mei 2011

Festival Malang Kembali - Malang Tempo Doeloe

Beberapa waktu yang lalu sahabat saya mengatakan kalau tanggal 19 – 22 Mei ini Festival Malang Kembali (FMK) atau yang juga dikenal sebagai Malang Tempo Doeloe akan digelar kembali. Sebuah festival yang diadakan sejak tahun 2006 di jalan Ijen yang diprakarsai Yayasan Inggil dan sepertinya sudah menjadi agenda tahunan pemerintah kota Malang.

Selama beberapa hari kita dapat melihat dan menyelami budaya tempo dulu dari kota malang, mulai dari bangunan,sejarah, kebudayaan, kesenian, kehidupan, kerajinan, hingga kuliner. Untuk anda yang menyukai fotografi, banyak sekali objek yang dapat membuat dahaga fotografi anda terpuaskan. Festival yang sepertinya sayang untuk dilewatkan akan tetapi sayangnya saya memang tidak dapat menghadiri festival tersebut.

Masih segar dalam memori ketika festival tersebut pertama kali dihelat ditahun 2006. Betapa antusiasnya warga malang dalam menyambut acara yang akan digelar pertama kalinya itu. Kantor kami pun tidak kalah heboh. Hilir mudik ide mengalir dari kami dalam mempersiapkan acara tersebut. Mulai dari kostum hingga kendaraan yang akan digunakan untuk menuju ke Jalan Ijen. Ketika waktunya tiba, begitu pulang kerja kami pun segera berganti kostum dan berangkat dengan semangat membara menuju jalan ijen dengan menggunakan sepeda onthel. Sesampainya dilokasi kami segera menikmati suasana tempo doeloe tersebut di daerah yang dulunya bernama Ijen Boulevard itu.



Tahun berikutnya saya pun berkesempatan untuk menghadiri festival ini. Bahkan ketika itu saya sampai dua kali menghadiri festival ini. Yang pertama dengan rekan kantor saya yang seperti biasa berpakaian ala tempo doeloe..


Dan yang kedua dengan sahabat Jakarta Student Community, kumpulan pelajar Jakarta di kota Malang, dengan baju ala mahasiswa. Dan seperti tahun sebelumnya, kami pun mengambil beberapa gambar untuk diabadikan.



Jika kebetulan pada tanggal tersebut anda berada di malang dan sekitarnya, maka luangkanlah waktu anda untuk datang ke FMK, nikmatilah suasana kota Malang Tempo Doeloe dan yakinlah kalau anda tidak akan merasa rugi setelahnya.

Kamis, 05 Mei 2011

9 Summers 10 Autumns

Siapa sangka anak seorang supir angkot di di kota kecil di Jawa Timur yang hidup serba pas-pasan bisa menjadi direktur di salah satu perusahaan besar dunia di New York, Amerika Serikat. Ya… Siapa yang menyangka.. Tapi ini benar-benar terjadi.. Adalah Iwan Setyawan yang membuat hal yang sepertinya utopis tersebut menjadi nyata... Melalui novel memoarnya yang berjudul 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke Big Apple, Iwan bertutur tentang perjalanan hidupnya hingga menjadi salah satu direktur salah satu perusahaan besar di New York. Iwan tidak menawarkan mimpi, Iwan justru memberi contoh bagaimana mengeksekusi menjadi nyata.

Terlahir dari keluarga yang miskin. Bapaknya adalah seorang supir angkot yang tidak bisa mengingat tanggal lahirnya sementara ibunya tidak sempat lulus sekolah dasar. Di rumah berukuran 6 x 7 meter di kaki Gunung Panderman, Batu, Iwan tumbuh dan berkembang bersama kedua orang tua dan empat saudara perempuannya. Tidak ada mainan yang bisa diingat, tidak ada sepeda, tidak ada boneka, dan tidak ada kamar. Bukulah yang menjadi pelipur lara dan hiburan pengganti semua itu. Iwan kecil saat itu hanya memiliki mimpi membangun kamar di rumah kecilnya.

Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Dalam memanajemen perut keluarga, ibunya dibekali intuisi manajemen keluarga yang kuat, ibunya mampu membelah 1 telur untuk 3 anaknya yang masih kecil dengan merata dan tahu berapa liter nasi yang harus di masak dan bisa habis tanpa tersisa saat dimakan oleh suami dan 5 anaknya.

Tekadnya yang kuat untuk mewujudkan mimpinya membuatnya menjadi sosok yang gigih. Kakak, adik, dan keterbatasan adalah inspirasi dalam hidupnya untuk lebih maju lagi. Ia benar-benar menjadikan buku, semangat, dan ketekunan sebagai pengganti mainan yang tidak dimilikinya, buku benar-benar pelipur lara baginya. Dan dari buku dan pendidikanlah ia mampu keluar dari jerat dan lingkaran setan penderitaan.

Iwan mengisahkan bagaimana perjuangannya untuk bisa menembus Fakultas MIPA IPB, kemudian menjadi lulusan terbaik, hingga akhirnya menjadi Director Internal Client di Nielsen Consumer Research di New York. Dalam ceritanya, secara tidak langsung Iwan memberikan resep bagaimana mengikuti jejaknya. Ia tidak minder ketika harus bersaing dengan lulusan luar negeri, ia selalu datang lebih pagi dan pulang lebih malam dibanding rekan-rekannya, ia selalu menyelesaikan pekerjaan lebih dari yang diminta, dan ia tidak mudah menyerah.

Iwan juga menyadarkan kita kalau tidak selamanya gemerlapnya hidup dan suksesnya dapat memuaskan semuanya. Dalam kilau sukses di New York, Iwan juga sering merasa kesepian. Ada kerinduan didalam jiwanya. Kerinduan kembali kampung halaman dan kerinduan kehangatan di keluarganya. Hingga ia akhirnya memutuskan meninggalkan hingar binger kota New York untuk pulang ke kampung halamannya.

Menurut saya buku ini adalah novel memoir. Iwan berusaha menceritakan perjalanan hidupnya melalui media seorang anak kecil dalam bentuk memoar. Kisah hidup dan perjuangan Iwan cukup tergambar dalam buku ini. Bahkan kegemaran iwan akan seni dan sastra tertuang juga, bagaimana Iwan menyukai Khairil Anwar, Paul Verlaine, Fyodor Dostoevsky, dan juga pementasan opera.

Secara keseluruhan buku ini cukup bagus. Bahasanya ringan dan tidak bertele-tele. Dan seperti telah dikatakan diatas… Buku ini tidak menawarkan mimpi, justru buku ini mengajak kita untuk bangun dari mimpi kita agar belajar dan bekerja lebih keras lagi untuk mengeksekusi mimpi-mimpi kita.

Minggu, 01 Mei 2011

Bertamu Ke Serambi Mekah : Jejak Historis Tanah Rencong

Setelah kira-kira satu setengah jam perjalanan dan menikmati keindahan Sabang, akhirnya tibalah saya kembali ke Ulee Lhuee. Dan seperti biasa, Om Yu sudah setia menanti untuk mengajak berpetualang di sekitar kota Banda Aceh. Tujuan pertama kami saat itu adalah lapangan Blang Padang. Dalam perjalanan menuju ke Blang Padang, masih dekat Ulee Lhuee, terlihat sebuah tanah lapang yang dijadikan kuburan masal bagi korban tsunami yang tidak berhasil teridentifikasi. Tidak terbayang dibenak saya, berapa banyak korban tsunami yang dimakamkan di kuburan masal tersebut. Mungkin ribuan atau bahkan puluhan ribu.

Kurang dari setengah jam tampaklah Lapangan Blang Bintang di depan mata. Tampak beberapa anak sedang berlatih sepakbola dan beberapa orang sedang lari-lari kecil di trek jogging di pinggir lapangan. Mendekati lapangan, pandangan mata saya langsung menuju ke sebuah pesawat baling-baling bertuliskan Indonesian Airways yang berdiri tegak di pinggir lapangan. Itulah pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang dibeli dari uang sumbangan Rakyat Aceh. Dari pesawat baling-baling inilah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan kebanggaan bangsa, Garuda Indonesia Airways. Seulawah sendiri memiliki arti Gunung Emas, nama ini mungkin berasal besarnya sumbangan rakyat Aceh. Sejarah merekam, di Hotel Kutaraja pada tanggal 16 Juni 1948, Presiden Sukarno yang saat itu sedang mencari dana untuk keperluan membeli pesawat Dakota berhasil membangkitkan nasionalisme dan patriotisme rakyat Aceh hingga akhirnya terkumpul sumbangan rakyat Aceh senilai 20 kg emas. Itulah sumbangsih masyarakat Aceh yang bernilai sangat besar pada awal berdirinya Republik ini.

Masih dilapangan Blang Padang, di sudut lain yang tidak begitu jauh dari Pesawat Seulawah tadi, berdirilah monument Aceh Thanks To The World. Monumen ini adalah bentuk terimakasih masyarakat Aceh kepada para relawan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga tinggi Negara, perusahaan, sipil, dan ketentaraan dalam dan luar negeri yang telah berpartisipasi dalam merekonstruksi Aceh pasca musibah Tsunami. Selain monument Aceh Thanks To The World, sebagai rasa terimakasih masyarakat Aceh, maka setiap Negara yang berpartisipasi dibuatkan prasasti dan pohon persahabatan. Dimana prasasti tersebut ditulis nama Negara, bendera Negara, dan ucapan ‘Terima Kasih dan Damai’ dalam bahasa masing-masing Negara. Total terdapat 53 prasasti di lapangan Blang Padang ini.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan kembali menuju ke Museum Aceh, dalam perjalanan saya sempat melihat Museum Tsunami Aceh tidak jauh dari lapangan Blang Padang. Museum yang didirikan untuk mengenang bencana tsunami, tempat pendidikan, dan perlindungan tsunami. Sayang ketika saya ke Aceh museum tersebut sedang direnovasi sehingga kami tidak dapat singgah.

Akhirnya setelah beberapa menit, kami pun sampai di Museum Aceh. Perhatian saya langsung tertuju ke rumah adat yang menarik, berpintu sempit dan berwarna eksotis. Rumah tersebut adalah rumah adat Aceh yang biasa disebut sebagai Rumoh Aceh. Seperti kebanyakan rumah adat di Sumatera, rumah adat ini juga berbentuk rumah panggung. Rumah ini juga terlihat sangat terawat. Ukiran kayu dengan motif khas aceh tampak menghiasi eksterior dan interior rumah ini. Dibagian bawah rumah ini terdapat beberapa koleksi lain seperti Kohler Boom atau pohon Kohler yang berdiameter 130 cm dan dalam keadaan terbelah. Dinamakan Kohler Boom karena pada tanggal 14 April 1873 panglima perang belanda pertama di Aceh, Jenderal Kohler, ditembak mati oleh pejuang Aceh. Tidak jauh dari Rumoh Aceh terdapat Lonceng CakraDonya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Sebuah bukti kalau Aceh sudah menjalin hubungan bilateral yang baik sejak dahulu kala. Bangunan lain di komplek ini adalah Museum Aceh itu sendiri yang didalamnya terdapat tulisan budaya Aceh, kerajinan, tarian, adat istiadat, ukiran, dan ragam hias khas Aceh.

Setelah dari museum Aceh, saya segera singgah ke komplek yang berlokasi tepat disebelah komplek museum Aceh. Di komplek tersebutlah Sultan Iskandar Muda dimakamkan. Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam merupakan sultan paling besar dalam kesultanan Aceh yang memerintah sejak tahun 1606 hingga 1636. Selama 30 tahun masa pemerintahannya, Aceh mencapai masa kejayaan dimana beliau berhasil menyatukan wilayah semenanjung, menjalin hubungan diplomatik dengan Negara tetangga, menjadikan Aceh sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di Asia Tenggara, dan membawa kerajaan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar kelima di dunia.

Banyak orang berkata, tidak lengkap rasanya bertamu ke Nanggroe Aceh Darussalam apabila tidak sholat di Masjid Baiturrahman. Dan karenanya kami segera menuju ke Masjid Baiturrahman yang letaknya hanya beberapa kilometer, kebetulan saat itu waktu Ashar sudah masuk. Masjid yang dulunya merupakan masjid kesultanan Aceh ini berdiri megah dan kokoh di pusat kota Banda Aceh bersebelahan dengan Pasar Aceh. Arsitekturnya yang indah menjadikan Masjid ini menjadi salah satu masjid terindah di Indonesia dan membuatnya menjadi salah satu ikon Aceh. Masjid ini memiliki perjalanan historis yang menarik dan panjang. Masjid yang awalnya berkubah tunggal ini sempat dibakar Belanda pada tahun 1873, akan tetapi karena kemarahan masyarakat Aceh, Belanda akhirnya membangun kembali Masjid ini pada tahun 1875 dan selesai pada 1883. Selanjutnya masjid diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935 dan diperluas kembali menjadi 5 kubah pada tahun 1959 dan selesai tahun 1968. Didepan masjid ini terdapat kolam teratai yang berjarak 20 meter hingga ke gerbang dalam masjid. Memasuki bagian dalam masjid, interior dan kaligrafi yang indah menghiasi sekelilingnya. Pada saat musibah tsunami yang lalu masjid ini banyak menyelamatkan jiwa masyarakat Aceh. Karena meskipun diluar masjid terdapat genangan air yang tinggi akan tetapi air tersebut tidak sampai masuk ke dalam masjid, yang menjadikan masjid ini menjadi tempat mengungsi yang aman bagi masyarakat.

Selesai Sholat Ashar, perjalanan dilanjutkan kembali menuju ke Taman Pintoe Khop Putroe Phang yang didalamnya terdapat Pintoe Khop yang dulunya adalah gerbang yang menghubungkan istana dengan Taman Ghairah. Gerbang ke taman dari keluarga kerajaan, sultan, permaisuri, pangeran dan putrid raja. Konon pembangunan taman ini merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang Ditaklukkan. Dilokasi ini juga terdapat semacam danau buatan berukuran kecil yang sering digunakan warga setempat untuk memancing.

Setelah dari Taman Putroe Phang, perjalanan dilanjutkan ke seberang kompleks seberang taman. Tepatnya ke Gunongan. Ada suatu hal yang menggelitik saya ketika di Taman Putroe Phang, ketika saya bertanya ke salah satu warga mengenai lokasi Gunongan. Dia hanya memandang heran dan kemudian bertanya ke temannya dan kemudian berkata ‘tidak tahu’. Padahal Gunongan tersebut berlokasi tepat diseberang komplek Putroe Phang. Hal ini menurut saya cukup miris, karena seperti yang saya temui di beberapa daerah di Indonesia, tidak sedikit penduduk lokal yang kurang peduli terhadap aset berharga yang dimiliki daerahnya. Mungkin kekurangpedulian inilah salah satu penyebab kurang maju, kurang terawat, dan kurang berkembangnya beberapa potensi wisata yang dimiliki Indonesia.

Cinta dan kasih sayang yang tulus memang dapat membuat manusia menciptakan banyak hal yang Indah demi belahan jiwanya. Jika di Agra, India kita mengenal bangunan megah bernama Taj mahal yang merupakan representasi cinta dan kasih sayang Shah Jahan terhadap permaisurinya yang bernama Mumtaz Mahal. Maka di Aceh kita dapat melihat simbol kasih sayang dalam bentuk yang lain… Gunongan. Menurut kisah yang berkembang, bangunan bertingkat tiga yang berbentuk segi enam dan seperti bunga yang dibangun sekitar abad 17 ini sejatinya merupakan lambang kasih sayang Sultan Iskandar Muda kepada permasurinya yang cantik, Putroe Phang. Konon dahulu Putroe Phang sering teringat kampung halamannya di Pahang dan sering merasa kesepian karena Sultan sibuk mengurusi pemerintahan. Karena memahami kegundahan permaisurinya maka sultan membuatkan Gunongan, yang berbentuk seperti Gunung Kecil. Gunung kecil itu berbentuk seperti miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang. Putroe Phang menjadi sangat senang. Waktunya sering ia habiskan di sana, bermain-main bersama dayang-dayangnya, sambil memanjatinya.

Berhadapan dengan kompleks Gunongan, terdapat kompleks pemakaman prajurit belanda yang tewas dalam perang Aceh, Kherkoff Peucut. Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Belanda yang terluas di dunia dan masih terawat dengan sangat baik. Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang konon melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon. Selain makam serdadu Belanda, di kompleks ini juga terdapat makam serdadu Jawa, Batak, Ambon, dan serdadu suku lainnya yang tergabung dalam angkatan bersenjata Hindia Belanda. Diluar serdadu-serdadu itu, areal pemakaman ini juga terdapat makam Amat Popok, Putra dari Sultan Iskandar Muda, yang berzina dan dihukum rajam.

Hari semakin sore, untuk mengejar matahari terbenam maka kami pun langsung bergegas menuju Pantai Lhoknga yang terletak di Aceh Besar. Kurang lebih 40 menit perjalanan pun kami tempuh untuk mencapai pantai ini. Ditengah perjalanan terdapat suatu tempat yang bernama Lampisang, suatu tempat dimana banyak penjual oleh-oleh, khususnya makanan khas Aceh. Pantai Lhoknga adalah pantai berpasir putih yang masih perawan yang merupakan salah satu tempat populer bagi masyarakat Aceh. Sesampainya disana saya melihat beberapa kelompok pemuda sedang asyik bermain bola di pantai, beberapa yang lain menikmati suasana pinggir pantai sambil berjalan kaki, beberapa yang lain berenang dipantai, beberapa yang yang lain berselancar tatkala ombak datang, dan beberapa yang lain tampak duduk-duduk sambil menikmati kelapa muda. Sesungguhnya pantai ini begitu alami dan indah, akan tetapi kurang dikelola dengan baik, seandainya pantai ini dikelola mungkin akan lebih banyak orang yang menjadikan pantai ini menjadi destinasi wisatanya. Matahari mulai terbenam, akan tetapi tiba-tiba sekumpulan awan melintas disekitar pantai tepat sebelum matahari tersebut benar-benar terbenam, sehingga lagi-lagi kami hanya sempat melihat lembayung mentari yang muncul dari balik awan.

Menjelang Maghrib, perut ini tampaknya mengiba untuk diberi tenaga. Maka kami pun langsung meninggalkan Lhoknga untuk mencari kuliner khas Aceh yang cocok untuk dinikmati di malam hari. Mie Acehlah akhirnya yang menjadi target kami dimalam itu. Berdasarkan informasi yang saya himpun, di Aceh terdapat warung Mie Aceh yang cukup terkenal yang bernama Mie Midi. Kamipun langsung bergerak menuju ke lokasi. Sesampainya di lokasi, penjaja mie tersebut langsung memberikan daftar menu yang terdiri beraneka rasa mie aceh, mulai dari mie biasa, mie daging, mie udang, mie jamur, mie kepiting, hingga mie kombinasi. Selain mie, warung ini juga menjajakan martabak aceh. Saya pun langsung memesan mie daging sementara Om Yu hanya memesan teh manis. Begitu mie yang dipesan datang, langsung saya menyantapnya dengan lahap. Rasanya… yummiee.. kuah kari dan bumbu rempahnya benar-benar pas dan nikmat hingga sendok terakhir.

Setelah makan mie, kami pun segera menuju ke penginapan karena Bang Zarkasih telah menanti untuk berjumpa. Sesampainya di hotel kami berbincang sejenak, akan tetapi karena Bang Zarkasih malam itu hendak ke Lhoksumawe , beliau pun menawarkan untuk mencicipi kopi Aceh yang terkenal itu. Kami pun langsung menuju ke Ulee Kareng untuk mencoba Kopi Solong Ulee Kareng yang melegenda. Sebenarnya warung kopi sangatlah menjamur di Aceh, begitu menjamurnya hingga Aceh memiliki julukan Negeri Seribu Warung Kopi. Menjamurnya warung kopi menggambarkan bagaimana mengakar dan membudayanya kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Aceh. Warung kopi adalah representasi ruang pertemuan bagi masyarakat Aceh, berbagai golongan tumpah ruah didalamnya. Di warung kopi anda bisa berbicara apa saja mulai dari bisnis, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga sekedar bicara yang ringan. Bahkan di banyak warung kopi sampai menyediakan kopi pancung, yaitu kopi setengah gelas bagi masyarakat yang merindukan kopi dengan anggaran terbatas. Kopi Solong Ulee Kareng begitu tersohor karena termasuk warung kopi generasi awal di ulee kareng. Konon Gubernur sering meluangkan waktunya di pagi hari untuk ngopi di warung ini. Kopi Solong memiliki rasa yang segar, kopinya yang terlihat encer ketika didalam gelas tapi terasa kental ketika diminum. Dan… sluurrrpp… nikmat nian rasa kopi ini… Selesai minum kopi kami segera kembali ke penginapan dengan tidak lupa membeli tiga bungkus kopi solong untuk kami bawa pulang ke rumah. Sesampainya di penginapan, saya menyempatkan menonton Liverpool FC yang malam itu sedang berjibaku dengan Birmingham. Alhamdulillah Anfield Gank malam itu berhasil menang lima gol tanpa balas. Setelah menyaksikan pasukan merah bertanding, saya pun segera tidur dengan nyenyak.

Minggu pagi sekitar pukul 9 pagi petualangan kami lanjutkan kembali dengan destinasi makam Syiah Kuala. Syiah Kuala adalah seorang ulama besar Aceh di abad 17 yang bernama asli Syech Abdurrauf bin Ali Al Fansuri As-Singkili. Pengaruh beliau dalam menyebarkan agama Islam di Sumatera dan Nusantara sangatlah besar. Beliau juga sempat dipercaya menjadi Kadhi Malikul Adil, suatu jabatan setingkat Mahkamah Agung saat ini, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam yang diperintah empat ratu, yakni Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675), Nakiatuddin Syah (1675-1678), Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Beliau meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Beliau dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Konon sehari sebelum tsunami terjadi Aceh, didekat makam syiah Kuala sedang diadakan pesta yang dilakukan aparat kemanan. Pesta itu dilengkapi juga dengan minuman keras dan organ tunggal. Pada saat pesta, munculah seorang berjubah putih yang mengingatkan agar pesta dihentikan hingga dua kali, akan tetapi peringatan tersebut tidak digubris dan justru pria berjubah tersebut ditodong senapan. Pria berjubah tersebut juga sempat mengingatkan aka nada bencana yang datang. Dan pagi harinya ternyata bencana itu benar-benar datang, gelombang tsunami menghantam dan memporak porandakan Aceh dan menewaskan ratusan ribu manusia, termasuk para aparat yang malam itu berpesta. Setelah bencana tsunami, makam Syiah Kuala kembali dipugar dan kini hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai.

Hari mendekati siang, maka kami segera mencari asupan untuk perut kami. Maka kami segera menuju ke penajaja Bubur Kanji Rumbi, bubur ayam khas Aceh yang memiliki rasa yang khas dan nikmat. Pada saat makan bubur kanji rumba, Om Yu sempat meninggalkan saya sejenak untuk proses pemilihan Kepala Dusun di lingkungan tempat tinggalnya. Berdasarkan cerita Om Yu, kandidat yang hendak maju awalnya mencalonkan diri atau dicalonkan oleh lingkungan sekitar, selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui musyawarah adat apakah kandidat tersebut layak diusung atau tidak, ada banyak kriteria dalam melihat patut tidaknya seseorang untuk maju sebagai kandidat, diantaranya adalah apakah ada akhlak tercela dari kandidat, karena seandainya ada maka pencalonan kandidat tersebut dapat dibatalkan. Setelah muncul beberapa kandidat yang lulus uji kelayakan, maka pemilihan pun siap digelar dan kandidat akan dipilih oleh masyarakat.

Setelah Om Yu kembali dari proses pemilihan, perjalanan kami lanjutkan kembali ke tempat penjualan cinderamata khas Aceh yang terletak tidak jauh dari Masjid Baiturrahman. Mulai dari Peci Aceh, Baju Koko Aceh, Batik Aceh, Meuketop (Topi Khas Aceh), Rencong, Tas Motif Aceh, Pin berbentuk Rencong atau Pintu Aceh, Sarung Aceh, Kaos, Baju Adat, Pajangan, dan banyak lainnya tersedia disini. Saya pun segera memilih beberapa cinderamata untuk saya beli dan saya bawa pulang.

Begitu asyiknya memilih-milah cinderamata membuat waktu tanpa terasa sudah semakin siang. Maka kami pun bergegas ke Bandara Sultan Iskandar Muda, karena harus kembali ke Medan siang itu. Dalam perjalanan saya kembali menjumpai kuburan masal korban, yaitu kuburan masal sirom yang terletak di sebelah kanan jalan. Kuburan ini berbentuk tanah lapang dan tampak tembok yang dibuat menyerupai ombak di bagian belakang pemakaman. Setelah 40 menit perjalanan, akhirnya tibalah saya di Bandara Sultan Iskandar Muda dan perpisahan dengan Nanggroe Aceh Darussalam pun harus dilakukan meskipun hasrat ini sebenarnya belum ingin berpisah, karena waktu tiga hari dirasa masih kurang. Sebelum berpisah saya kembali menyeruput kopi Solong sambil mengunyah Timphan Aceh yang lezat itu di bandara. Siang itu saya pun bertolak ke Medan dengan tekad kalau suatu saat akan kembali ke Bumi Serambi Mekah ini dengan waktu yang lebih panjang untuk menikmati keindahannya, mulai dari menikmati keindahan alam bawah laut hingga menikmati sensasi kopi Aceh.

Bertamu Ke Serambi Mekah : Menuju Ke Titik Nol

Senin minggu yang lalu, setelah melihat kalender kalau akhir pekan ini libur panjang, tiba-tiba saja hasrat ini ingin plesir. Dan entah kenapa Aceh lah yang saat itu terlintas di kepala dan saya pun langsung memesan tiket pesawat dari Medan ke Nanggroe Aceh Darussalam. Keesokan harinya mulailah saya mencari informasi mengenai kondisi, destinasi, dan kuliner khas Aceh dari sahabat saya yang cerdas ini dan dari Bang Zarkasih. Saya pun semakin tidak sabar menunggu akhir pekan tiba, setelah satu persatu tujuan perjalanan didapat.

Akhirnya hari yang dinanti-nanti pun tiba. Jumat siang itu saya lepas landas dari Bandara Polonia. Sepanjang perjalanan pikiran saya mulai menari-nari membayangkan apa saja yang akan dijumpai di Propinsi yang baru pertama kali saya kunjungi ini… Laut eksotis, suasana religius, masyarakat pesisir, watak yang keras, kegigihan yang luar biasa, pemandangan nan menawan adalah beberapa yang sempat hinggap di alam pikiran saya.. Setelah hampir 1 jam sampailah saya di Bandara Sultan Iskandar Muda yang indah. Telepon saya langsung berdering, ternyata Om Yu yang dipercayakan Bang Zarkasih untuk menemani saya selama saya di Banda Aceh sudah menunggu saya. Begitu berjumpa, saya pun langsung bertanya kepada Om Yu akan indahnya Bandara dan bagusnya jalan. Om Yu pun menjawab dengan indah bahwasanya hal itu adalah berkah dari tsunami bagi masyarakat Aceh. Mungkin jika tidak ada tsunami, Aceh belum memiliki Bandara sebagus ini. Sebuah jawaban yang sangat menyejukkan hati. Maka benarlah apa yang termaktub dalam kitab suci kalau sesudah kesulitan ada kemudahan.

Tidak lama kemudian kami segera bergegas agar dapat memanfaatkan waktu yang singkat dengan optimal. Tujuan pertama kami adalah Kapal Terapung yang terletak di daerah Pungee. Setelah setengah jam perjalanan tibalah saya di lokasi yang dituju. Tampak di depan mata saya kapal berukuran besar dengan berat 2600 ton, panjang 63 meter, tinggi 22 meter, dan luas 1900m2 berdiri dengan gagah diatas puing dan bekas pondasi rumah penduduk. Menurut kisah yang beredar, Kapal terapung itu adalah kapal milik PLN yang kesehariannya difungsikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan sebelumnya bersandar di dekat pelabuhan Ulee Lhuee. Namun ketika tsunami menerjang Aceh 26 Desember 2004 yang lalu, kapal itu ikut terbawa arus dan menerjang rumah penduduk hingga sekitar 3-4 kilometer. Setelah tsunami, kapal tersebut tetap terdampar karena dirasa tidak memungkinkan untuk menarik kembali ke pantai, hingga akhirnya menjadi salah satu objek wisata di Banda Aceh.

Setengah jam kemudian perjalanan pun kami lanjutkan kembali ke Pelabuhan Ulee Lhuee untuk menuju Sabang. Sepanjang perjalanan, bekas kerusakan sisa tsunami nyaris tidak terlihat lagi, rumah-rumah sudah berdiri dan jalan sudah mulus kembali . Mendekati pelabuhan, tidak jauh dari bibir pantai terlihat Masjid Baiturrahim. Konon masjid ini adalah satu-satunya bangunan yang kokoh berdiri ketika tsunami memporak-porandakan Aceh. Sepertinya Allah SWT hendak menunjukkan kuasa dan rahasia-Nya melalui Masjid Baiturrahim yang selamat ditengah puing-puing yang hancur. Sekitar 5 menit dari Masjid Baiturrahim, tibalah kami di pelabuhan Ulee Lhuee dan langsung bergegas menuju ke dermaga, karena kapal cepat yang hendak saya naiki akan segera berangkat. Sebenarnya ada 2 jenis kapal yang berangkat dari pelabuhan Ulee Lhuee menuju ke Sabang. Yang pertama adalah kapal cepat yang berangkat 2 kali sehari, pagi dan sore, yang memakan waktu sekitar 45 menit – 1 jam dengan biaya 60-75 ribu rupiah. Kapal ini hanya dapat mengangkut manusia. Yang kedua adalah kapal lambat yang berukuran lebih besar, berangkat 3 kali sehari, memakan waktu 1.5 sampai 2 jam dengan biaya 18-36 ribu rupiah. Selain manusia, kapal ini juga dapat mengangkut mobil dan motor.

Setelah sekitar 1 jam menyeberang akhirnya sampailah saya di pelabuhan Balohan, Sabang. Sesuai petunjuk Om Yu, begitu turun dari kapal saya bergegas menuju ke angkutan umum untuk menuju ke Gapang, Iboih, dan Titik Nol Kilometer. Perjalanan di Sabang pun dimulai, kami melewati Sumur Tiga untuk menuju rute yang kami tempuh. Menurut Iwan, supir angkutan yang membawa saya, Sumur Tiga adalah lokasi populer terbaru untuk menyelam dan snorkeling. Setelah setengah jam perjalanan akhirnya tibalah kami di Gapang, untuk menaruh tas saya di penginapan. Tidak lama kemudian perjalanan dilanjutkan kembali ke Iboih. Iboih dan Gapang adalah lokasi yang terkenal di Sabang karena memiliki pantai dengan pasir putih, terumbu karang dan air yang sangat jernih. Dimana dari kedua lokasi ini kita dapat menuju ke pulau Rubiah menggunakan perahu yang memiliki kaca di tengahnya untuk menikmati keindahan alam bawah laut pulau Sabang, yang konon merupakan salah satu yang terindah di Indonesia, dengan biaya 100-150 ribu rupiah.

Puas di Iboih, perjalanan pun kami lanjutkan ke Tugu Kilometer Nol yang berjarak sekitar 8 kilometer. Tugu Kilometer Nol adalah tugu yang dibangun untuk menandakan pengukuhan titik nol kilometer Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diresmikan tahun 1997 dan terletak di ujung pulau weh. Sesampainya di Tugu Kilometer Nol, saya langsung bergegas menuju ke atas tugu untuk melihat-lihat. Dalam perjalanan keatas Iwan sempat bertutur ke saya, jika tiba-tiba menjumpai sepasang babi hutan jangan takut karena babi hutan itu jinak. Babi hutan… Ya… Babi hutan kawan… Di sekitar tugu kilometer nol ini hidup sepasang babi hutan yang diberi nama Bawai dan Bebi, dimana bawai adalah pejantan dan bebi betinanya. Konon babi hutan tersebut menjadi jinak karena pengunjung asing suka memberikan makanan kepada keduanya, sehingga keduanya menjadi jinak dan kemunculannya tidak pernah mengganggu. Terus terang saya tidak terbayang apa yang akan saya lakukan jika sepasang babi hutan dengan bulu hitam seperti sapu ijuk itu tiba-tiba muncul di depan saya. Beruntung ketika saya disana babi hutan tersebut tidak muncul.

Setelah puas melihat-lihat diatas, Iwan mengajak saya menuju ke sebuah batu yang terletak di ujung pulau sabang. Sebuah batu yang menjorok dan langsung berbatasan dengan jurang yang dibawahnya pantai penuh batu-batu besar. Ia mengajak saya untuk berdiri diatas batu tersebut. Konon dari batu tersebutlah lokasi paling bagus untuk menikmati indahnya matahari terbenam, karena matahari akan tampak sangat dekat. Sayang ketika saya sampai di lokasi tersebut, masa-masa indah matahari terbenam sudah lewat, beruntung saya masih sempat melihat lembayung yang terlihat di ujung terbenamnya. Tidak lama setelah matahari menghilang berganti gelapnya malam, kami pun bergegas meninggalkan kilometer nol kembali ke Gapang. Ada yang sangat saya sayangkan di kilometer nol ini, karena saya mendapati tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang mencorat-coret di sekitar kilometer nol. Sayang sekali keindahan matahari terbenam di kilometer ini dirusak oleh hal tersebut.

Di Gapang, saya mencoba menikmati ketenangan malam di pantai yang relatif masih perawan ini. Ketika sedang makan malam, samar-samar saya mendengar wisatawan asing dari italia dan perancis sedang membicarakan makna kata dari mamamia. Saya sempat berbincang-bincang sejenak dengan salah satu dari mereka dan dengan penjaga warung tempat saya makan. Ternyata umumnya para wisatawan asing menghabiskan waktu mingguan bahkan bulanan untuk menikmati keindahan alam bawah laut sabang yang menurut Guardian Magazine Inggris, merupakan salah satu dari 10 lokasi menyelam terbaik di dunia. Setelah hari semakin larut, saya pun kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Pagi hari sekitar pukul 7 pagi, saya langsung bergegas ke bibir pantai untuk menikmati keindahan alam bawah laut sabang. Saya memilih untuk melakukan snorkeling karena keterbatasan waktu. Dengan berbekal 40 ribu rupiah untuk snorkel, kaki katak, dan pelampung, saya pun sudah dapat menuju ke tengah pantai untuk menikmati keindahan laut. Keindahan laut memang benar-benar tergambarkan dari beraneka biota laut yang terdapat disini. Mulai dari Ikan Barracuda, Ikan Belut Muray, Ikan Nemo, Bintang Laut, Aneka Terumbu Karang, hingga ikan-ikan kecil lainnya yang hilir mudik membuat alam bawah laut seperti lukisan hidup. Setelah sekitar 2 jam menikmati alam bawah laut saya pun segera kembali ke penginapan untuk mandi, karena Iwan akan segera menjemput pukul 10 untuk membawa saya mengelilingi Sabang. Keindahan alam bawah laut sabang memang tidak diragukan lagi dan menurut saya akan lebih indah lagi apabila kawasan Iboih dan Gapang lebih tertata dengan baik dan sampah serta daun dari pohon yang berguguran bisa lebih dibersihkan lagi.

Tepat pukul 10 pagi, Iwan sudah muncul di depan penginapan sesuai janjinya. Dan kami pun segera bergegas meninggalkan penginapan. Yang pertama kali akan dilakukan adalah memberi makan kera-kera hutan. Untuk itu kami membeli dua sisir pisang. Sesampainya di lokasi, mobil kami berhentikan dan kami pun keluar dari mobil dengan membawa pisang. Tidak lama kemudian sekelompok kera berlarian ke arah kami. Pisang pun segera kami bagikan. Satu dua kera mencoba menggertak kami dengan suara dan bahasa tubuhnya dan seperti yang telah diajarkan Iwan, kami pun tetap diam meskipun kera tersebut menggertak. Dan tidak lama kemudian kera tersebut pun berbaur dengan kawan-kawannya. Menurut penilaian saya, gertakan ini terjadi karena kera tersebut tidak ingin ekosistemnya diganggu dan apabila ia merasa aman maka ia akan bersikap biasa kembali. Ada yang unik dalam pembagian pisang ini, karena kera-kera tersebut hanya mengambil masing-masing satu pisang untuk kemudian menyingkir dan memberikan kesempatan kepada kera lain untuk dapat menikmati pisang pemberian kami.

Setelah memberi makan kera, kami melanjutkan perjalanan untuk mengelilingi kota sabang. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepada Iwan mengapa penduduk sabang banyak yang memelihara anjing. Ternyata tujuan mereka memelihara anjing adalah untuk berburu babi hutan. Karena selain bebi dan bawai, babi hutan disekitar sabang suka datang ke ladang penduduk dan merusak tanaman. Dan ketika datang, babi-babi tersebut bergerombol, paling sedikit 5 babi dan bahkan bisa sampai 15 babi. Untuk itulah anjing dibutuhkan. Agar kebun-kebun mereka tidak dirusak oleh kawanan babi tadi.

Dalam perjalanan ini Iwan juga bercerita, bagaimana hutan lindung benar-benar dijaga. Karena mereka tidak menginginkan hutannya rusak. Jadi aktifitas yang mengganggu hutan dilarang disini. Untuk menebang pohon dikawasan hutan lindung hanya dibolehkan untuk pohon yang telah mati, itupun setelah mendapatkan izin. Oleh karena itu apabila mereka mendengar suara mesin ditengah hutan lindung, maka mereka akan segera menghentikan dan menghukum orang tersebut. Itulah rahasia yang membuat hutan lindung di sabang benar-benar terjaga.

Pada kesempatan lain Iwan juga sempat bertutur, kalau dalam konflik yang sempat terjadi antara GAM dengan TNI, Sabang juga termasuk daerah yang bebas dari konflik dan kerusuhan karena penduduknya yang relatif kompak dan tidak menyukai kerusuhan. Dapat dikatakan sabang adalah salah satu wilayah paling aman di Nanggroe Aceh Darussalam saat Daerah Operasi Militer (DOM) dan saat konflik antara TNI dengan GAM terjadi. Bahkan setelah rekonsiliasi, Sabang pun tetap menjadi salah satu daerah yang paling aman dan damai di bumi serambi mekah.

Puas keliling kota sabang, maka kami pun berhenti sejenak di rumah makan yang menurut Iwan salah satu yang terenak di kota itu. Plik U dan Asam Keueng pun menjadi salah satu menu yang kami santap siang itu. Plik U adalah sayuran yang terbuat dari berbagai macam daun segar dengan kuah gulai yang terbuat dari kelapa yang telah dibusukkan dengan rasa yang sangat menggugah selera, sedangkan Asam Keueng adalah masakan ikan yang dimasak dengan asam keueng dan memiliki rasa asam pedas yang segar. Setelah menyantap makanan, kami pun bergegas menuju ke Balohan untuk mengejar kapal lambat menuju ke Ulee Lhuee.

Sesampainya di Balohan, saya langsung bergegas menuju ke kapal untuk menuju ke Ulee Lhue. Kesan akan masyarakat Aceh yang keras benar-benar terkikis habis selama saya berada di Sabang. Karena disini saya mendapati masyarakat Aceh yang ramah, jujur, dan murah senyum.