Setelah kira-kira satu setengah jam perjalanan dan menikmati keindahan Sabang, akhirnya tibalah saya kembali ke Ulee Lhuee. Dan seperti biasa, Om Yu sudah setia menanti untuk mengajak berpetualang di sekitar kota Banda Aceh. Tujuan pertama kami saat itu adalah lapangan Blang Padang. Dalam perjalanan menuju ke Blang Padang, masih dekat Ulee Lhuee, terlihat sebuah tanah lapang yang dijadikan kuburan masal bagi korban tsunami yang tidak berhasil teridentifikasi. Tidak terbayang dibenak saya, berapa banyak korban tsunami yang dimakamkan di kuburan masal tersebut. Mungkin ribuan atau bahkan puluhan ribu.
Kurang dari setengah jam tampaklah Lapangan Blang Bintang di depan mata. Tampak beberapa anak sedang berlatih sepakbola dan beberapa orang sedang lari-lari kecil di trek jogging di pinggir lapangan. Mendekati lapangan, pandangan mata saya langsung menuju ke sebuah pesawat baling-baling bertuliskan Indonesian Airways yang berdiri tegak di pinggir lapangan. Itulah pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang dibeli dari uang sumbangan Rakyat Aceh. Dari pesawat baling-baling inilah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan kebanggaan bangsa, Garuda Indonesia Airways. Seulawah sendiri memiliki arti Gunung Emas, nama ini mungkin berasal besarnya sumbangan rakyat Aceh. Sejarah merekam, di Hotel Kutaraja pada tanggal 16 Juni 1948, Presiden Sukarno yang saat itu sedang mencari dana untuk keperluan membeli pesawat Dakota berhasil membangkitkan nasionalisme dan patriotisme rakyat Aceh hingga akhirnya terkumpul sumbangan rakyat Aceh senilai 20 kg emas. Itulah sumbangsih masyarakat Aceh yang bernilai sangat besar pada awal berdirinya Republik ini.
Masih dilapangan Blang Padang, di sudut lain yang tidak begitu jauh dari Pesawat Seulawah tadi, berdirilah monument Aceh Thanks To The World. Monumen ini adalah bentuk terimakasih masyarakat Aceh kepada para relawan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga tinggi Negara, perusahaan, sipil, dan ketentaraan dalam dan luar negeri yang telah berpartisipasi dalam merekonstruksi Aceh pasca musibah Tsunami. Selain monument Aceh Thanks To The World, sebagai rasa terimakasih masyarakat Aceh, maka setiap Negara yang berpartisipasi dibuatkan prasasti dan pohon persahabatan. Dimana prasasti tersebut ditulis nama Negara, bendera Negara, dan ucapan ‘Terima Kasih dan Damai’ dalam bahasa masing-masing Negara. Total terdapat 53 prasasti di lapangan Blang Padang ini.
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan kembali menuju ke Museum Aceh, dalam perjalanan saya sempat melihat Museum Tsunami Aceh tidak jauh dari lapangan Blang Padang. Museum yang didirikan untuk mengenang bencana tsunami, tempat pendidikan, dan perlindungan tsunami. Sayang ketika saya ke Aceh museum tersebut sedang direnovasi sehingga kami tidak dapat singgah.
Akhirnya setelah beberapa menit, kami pun sampai di Museum Aceh. Perhatian saya langsung tertuju ke rumah adat yang menarik, berpintu sempit dan berwarna eksotis. Rumah tersebut adalah rumah adat Aceh yang biasa disebut sebagai Rumoh Aceh. Seperti kebanyakan rumah adat di Sumatera, rumah adat ini juga berbentuk rumah panggung. Rumah ini juga terlihat sangat terawat. Ukiran kayu dengan motif khas aceh tampak menghiasi eksterior dan interior rumah ini. Dibagian bawah rumah ini terdapat beberapa koleksi lain seperti Kohler Boom atau pohon Kohler yang berdiameter 130 cm dan dalam keadaan terbelah. Dinamakan Kohler Boom karena pada tanggal 14 April 1873 panglima perang belanda pertama di Aceh, Jenderal Kohler, ditembak mati oleh pejuang Aceh. Tidak jauh dari Rumoh Aceh terdapat Lonceng CakraDonya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Sebuah bukti kalau Aceh sudah menjalin hubungan bilateral yang baik sejak dahulu kala. Bangunan lain di komplek ini adalah Museum Aceh itu sendiri yang didalamnya terdapat tulisan budaya Aceh, kerajinan, tarian, adat istiadat, ukiran, dan ragam hias khas Aceh.
Setelah dari museum Aceh, saya segera singgah ke komplek yang berlokasi tepat disebelah komplek museum Aceh. Di komplek tersebutlah Sultan Iskandar Muda dimakamkan. Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam merupakan sultan paling besar dalam kesultanan Aceh yang memerintah sejak tahun 1606 hingga 1636. Selama 30 tahun masa pemerintahannya, Aceh mencapai masa kejayaan dimana beliau berhasil menyatukan wilayah semenanjung, menjalin hubungan diplomatik dengan Negara tetangga, menjadikan Aceh sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di Asia Tenggara, dan membawa kerajaan Aceh Darussalam menjadi kerajaan Islam terbesar kelima di dunia.
Banyak orang berkata, tidak lengkap rasanya bertamu ke Nanggroe Aceh Darussalam apabila tidak sholat di Masjid Baiturrahman. Dan karenanya kami segera menuju ke Masjid Baiturrahman yang letaknya hanya beberapa kilometer, kebetulan saat itu waktu Ashar sudah masuk. Masjid yang dulunya merupakan masjid kesultanan Aceh ini berdiri megah dan kokoh di pusat kota Banda Aceh bersebelahan dengan Pasar Aceh. Arsitekturnya yang indah menjadikan Masjid ini menjadi salah satu masjid terindah di Indonesia dan membuatnya menjadi salah satu ikon Aceh. Masjid ini memiliki perjalanan historis yang menarik dan panjang. Masjid yang awalnya berkubah tunggal ini sempat dibakar Belanda pada tahun 1873, akan tetapi karena kemarahan masyarakat Aceh, Belanda akhirnya membangun kembali Masjid ini pada tahun 1875 dan selesai pada 1883. Selanjutnya masjid diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935 dan diperluas kembali menjadi 5 kubah pada tahun 1959 dan selesai tahun 1968. Didepan masjid ini terdapat kolam teratai yang berjarak 20 meter hingga ke gerbang dalam masjid. Memasuki bagian dalam masjid, interior dan kaligrafi yang indah menghiasi sekelilingnya. Pada saat musibah tsunami yang lalu masjid ini banyak menyelamatkan jiwa masyarakat Aceh. Karena meskipun diluar masjid terdapat genangan air yang tinggi akan tetapi air tersebut tidak sampai masuk ke dalam masjid, yang menjadikan masjid ini menjadi tempat mengungsi yang aman bagi masyarakat.
Selesai Sholat Ashar, perjalanan dilanjutkan kembali menuju ke Taman Pintoe Khop Putroe Phang yang didalamnya terdapat Pintoe Khop yang dulunya adalah gerbang yang menghubungkan istana dengan Taman Ghairah. Gerbang ke taman dari keluarga kerajaan, sultan, permaisuri, pangeran dan putrid raja. Konon pembangunan taman ini merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang Ditaklukkan. Dilokasi ini juga terdapat semacam danau buatan berukuran kecil yang sering digunakan warga setempat untuk memancing.
Setelah dari Taman Putroe Phang, perjalanan dilanjutkan ke seberang kompleks seberang taman. Tepatnya ke Gunongan. Ada suatu hal yang menggelitik saya ketika di Taman Putroe Phang, ketika saya bertanya ke salah satu warga mengenai lokasi Gunongan. Dia hanya memandang heran dan kemudian bertanya ke temannya dan kemudian berkata ‘tidak tahu’. Padahal Gunongan tersebut berlokasi tepat diseberang komplek Putroe Phang. Hal ini menurut saya cukup miris, karena seperti yang saya temui di beberapa daerah di Indonesia, tidak sedikit penduduk lokal yang kurang peduli terhadap aset berharga yang dimiliki daerahnya. Mungkin kekurangpedulian inilah salah satu penyebab kurang maju, kurang terawat, dan kurang berkembangnya beberapa potensi wisata yang dimiliki Indonesia.
Cinta dan kasih sayang yang tulus memang dapat membuat manusia menciptakan banyak hal yang Indah demi belahan jiwanya. Jika di Agra, India kita mengenal bangunan megah bernama Taj mahal yang merupakan representasi cinta dan kasih sayang Shah Jahan terhadap permaisurinya yang bernama Mumtaz Mahal. Maka di Aceh kita dapat melihat simbol kasih sayang dalam bentuk yang lain… Gunongan. Menurut kisah yang berkembang, bangunan bertingkat tiga yang berbentuk segi enam dan seperti bunga yang dibangun sekitar abad 17 ini sejatinya merupakan lambang kasih sayang Sultan Iskandar Muda kepada permasurinya yang cantik, Putroe Phang. Konon dahulu Putroe Phang sering teringat kampung halamannya di Pahang dan sering merasa kesepian karena Sultan sibuk mengurusi pemerintahan. Karena memahami kegundahan permaisurinya maka sultan membuatkan Gunongan, yang berbentuk seperti Gunung Kecil. Gunung kecil itu berbentuk seperti miniatur perbukitan yang mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang. Putroe Phang menjadi sangat senang. Waktunya sering ia habiskan di sana, bermain-main bersama dayang-dayangnya, sambil memanjatinya.
Berhadapan dengan kompleks Gunongan, terdapat kompleks pemakaman prajurit belanda yang tewas dalam perang Aceh, Kherkoff Peucut. Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Belanda yang terluas di dunia dan masih terawat dengan sangat baik. Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang konon melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon. Selain makam serdadu Belanda, di kompleks ini juga terdapat makam serdadu Jawa, Batak, Ambon, dan serdadu suku lainnya yang tergabung dalam angkatan bersenjata Hindia Belanda. Diluar serdadu-serdadu itu, areal pemakaman ini juga terdapat makam Amat Popok, Putra dari Sultan Iskandar Muda, yang berzina dan dihukum rajam.
Hari semakin sore, untuk mengejar matahari terbenam maka kami pun langsung bergegas menuju Pantai Lhoknga yang terletak di Aceh Besar. Kurang lebih 40 menit perjalanan pun kami tempuh untuk mencapai pantai ini. Ditengah perjalanan terdapat suatu tempat yang bernama Lampisang, suatu tempat dimana banyak penjual oleh-oleh, khususnya makanan khas Aceh. Pantai Lhoknga adalah pantai berpasir putih yang masih perawan yang merupakan salah satu tempat populer bagi masyarakat Aceh. Sesampainya disana saya melihat beberapa kelompok pemuda sedang asyik bermain bola di pantai, beberapa yang lain menikmati suasana pinggir pantai sambil berjalan kaki, beberapa yang lain berenang dipantai, beberapa yang yang lain berselancar tatkala ombak datang, dan beberapa yang lain tampak duduk-duduk sambil menikmati kelapa muda. Sesungguhnya pantai ini begitu alami dan indah, akan tetapi kurang dikelola dengan baik, seandainya pantai ini dikelola mungkin akan lebih banyak orang yang menjadikan pantai ini menjadi destinasi wisatanya. Matahari mulai terbenam, akan tetapi tiba-tiba sekumpulan awan melintas disekitar pantai tepat sebelum matahari tersebut benar-benar terbenam, sehingga lagi-lagi kami hanya sempat melihat lembayung mentari yang muncul dari balik awan.
Menjelang Maghrib, perut ini tampaknya mengiba untuk diberi tenaga. Maka kami pun langsung meninggalkan Lhoknga untuk mencari kuliner khas Aceh yang cocok untuk dinikmati di malam hari. Mie Acehlah akhirnya yang menjadi target kami dimalam itu. Berdasarkan informasi yang saya himpun, di Aceh terdapat warung Mie Aceh yang cukup terkenal yang bernama Mie Midi. Kamipun langsung bergerak menuju ke lokasi. Sesampainya di lokasi, penjaja mie tersebut langsung memberikan daftar menu yang terdiri beraneka rasa mie aceh, mulai dari mie biasa, mie daging, mie udang, mie jamur, mie kepiting, hingga mie kombinasi. Selain mie, warung ini juga menjajakan martabak aceh. Saya pun langsung memesan mie daging sementara Om Yu hanya memesan teh manis. Begitu mie yang dipesan datang, langsung saya menyantapnya dengan lahap. Rasanya… yummiee.. kuah kari dan bumbu rempahnya benar-benar pas dan nikmat hingga sendok terakhir.
Setelah makan mie, kami pun segera menuju ke penginapan karena Bang Zarkasih telah menanti untuk berjumpa. Sesampainya di hotel kami berbincang sejenak, akan tetapi karena Bang Zarkasih malam itu hendak ke Lhoksumawe , beliau pun menawarkan untuk mencicipi kopi Aceh yang terkenal itu. Kami pun langsung menuju ke Ulee Kareng untuk mencoba Kopi Solong Ulee Kareng yang melegenda. Sebenarnya warung kopi sangatlah menjamur di Aceh, begitu menjamurnya hingga Aceh memiliki julukan Negeri Seribu Warung Kopi. Menjamurnya warung kopi menggambarkan bagaimana mengakar dan membudayanya kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Aceh. Warung kopi adalah representasi ruang pertemuan bagi masyarakat Aceh, berbagai golongan tumpah ruah didalamnya. Di warung kopi anda bisa berbicara apa saja mulai dari bisnis, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga sekedar bicara yang ringan. Bahkan di banyak warung kopi sampai menyediakan kopi pancung, yaitu kopi setengah gelas bagi masyarakat yang merindukan kopi dengan anggaran terbatas. Kopi Solong Ulee Kareng begitu tersohor karena termasuk warung kopi generasi awal di ulee kareng. Konon Gubernur sering meluangkan waktunya di pagi hari untuk ngopi di warung ini. Kopi Solong memiliki rasa yang segar, kopinya yang terlihat encer ketika didalam gelas tapi terasa kental ketika diminum. Dan… sluurrrpp… nikmat nian rasa kopi ini… Selesai minum kopi kami segera kembali ke penginapan dengan tidak lupa membeli tiga bungkus kopi solong untuk kami bawa pulang ke rumah. Sesampainya di penginapan, saya menyempatkan menonton Liverpool FC yang malam itu sedang berjibaku dengan Birmingham. Alhamdulillah Anfield Gank malam itu berhasil menang lima gol tanpa balas. Setelah menyaksikan pasukan merah bertanding, saya pun segera tidur dengan nyenyak.
Minggu pagi sekitar pukul 9 pagi petualangan kami lanjutkan kembali dengan destinasi makam Syiah Kuala. Syiah Kuala adalah seorang ulama besar Aceh di abad 17 yang bernama asli Syech Abdurrauf bin Ali Al Fansuri As-Singkili. Pengaruh beliau dalam menyebarkan agama Islam di Sumatera dan Nusantara sangatlah besar. Beliau juga sempat dipercaya menjadi Kadhi Malikul Adil, suatu jabatan setingkat Mahkamah Agung saat ini, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam yang diperintah empat ratu, yakni Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675), Nakiatuddin Syah (1675-1678), Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Beliau meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Beliau dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Konon sehari sebelum tsunami terjadi Aceh, didekat makam syiah Kuala sedang diadakan pesta yang dilakukan aparat kemanan. Pesta itu dilengkapi juga dengan minuman keras dan organ tunggal. Pada saat pesta, munculah seorang berjubah putih yang mengingatkan agar pesta dihentikan hingga dua kali, akan tetapi peringatan tersebut tidak digubris dan justru pria berjubah tersebut ditodong senapan. Pria berjubah tersebut juga sempat mengingatkan aka nada bencana yang datang. Dan pagi harinya ternyata bencana itu benar-benar datang, gelombang tsunami menghantam dan memporak porandakan Aceh dan menewaskan ratusan ribu manusia, termasuk para aparat yang malam itu berpesta. Setelah bencana tsunami, makam Syiah Kuala kembali dipugar dan kini hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai.
Hari mendekati siang, maka kami segera mencari asupan untuk perut kami. Maka kami segera menuju ke penajaja Bubur Kanji Rumbi, bubur ayam khas Aceh yang memiliki rasa yang khas dan nikmat. Pada saat makan bubur kanji rumba, Om Yu sempat meninggalkan saya sejenak untuk proses pemilihan Kepala Dusun di lingkungan tempat tinggalnya. Berdasarkan cerita Om Yu, kandidat yang hendak maju awalnya mencalonkan diri atau dicalonkan oleh lingkungan sekitar, selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui musyawarah adat apakah kandidat tersebut layak diusung atau tidak, ada banyak kriteria dalam melihat patut tidaknya seseorang untuk maju sebagai kandidat, diantaranya adalah apakah ada akhlak tercela dari kandidat, karena seandainya ada maka pencalonan kandidat tersebut dapat dibatalkan. Setelah muncul beberapa kandidat yang lulus uji kelayakan, maka pemilihan pun siap digelar dan kandidat akan dipilih oleh masyarakat.
Setelah Om Yu kembali dari proses pemilihan, perjalanan kami lanjutkan kembali ke tempat penjualan cinderamata khas Aceh yang terletak tidak jauh dari Masjid Baiturrahman. Mulai dari Peci Aceh, Baju Koko Aceh, Batik Aceh, Meuketop (Topi Khas Aceh), Rencong, Tas Motif Aceh, Pin berbentuk Rencong atau Pintu Aceh, Sarung Aceh, Kaos, Baju Adat, Pajangan, dan banyak lainnya tersedia disini. Saya pun segera memilih beberapa cinderamata untuk saya beli dan saya bawa pulang.
Begitu asyiknya memilih-milah cinderamata membuat waktu tanpa terasa sudah semakin siang. Maka kami pun bergegas ke Bandara Sultan Iskandar Muda, karena harus kembali ke Medan siang itu. Dalam perjalanan saya kembali menjumpai kuburan masal korban, yaitu kuburan masal sirom yang terletak di sebelah kanan jalan. Kuburan ini berbentuk tanah lapang dan tampak tembok yang dibuat menyerupai ombak di bagian belakang pemakaman. Setelah 40 menit perjalanan, akhirnya tibalah saya di Bandara Sultan Iskandar Muda dan perpisahan dengan Nanggroe Aceh Darussalam pun harus dilakukan meskipun hasrat ini sebenarnya belum ingin berpisah, karena waktu tiga hari dirasa masih kurang. Sebelum berpisah saya kembali menyeruput kopi Solong sambil mengunyah Timphan Aceh yang lezat itu di bandara. Siang itu saya pun bertolak ke Medan dengan tekad kalau suatu saat akan kembali ke Bumi Serambi Mekah ini dengan waktu yang lebih panjang untuk menikmati keindahannya, mulai dari menikmati keindahan alam bawah laut hingga menikmati sensasi kopi Aceh.
Minggu, 01 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar