Ketika masih duduk di sekolah dasar yang saya ketahui tentang Ibnu Khaldun hanyalah sebuah Universitas dekat garis batas antara Jakarta Pusat dan Jakarta Timur yang rutin saya lewati ketika akan mengunjungi kakek saya. Baru ketika memasuki sekolah menengah atas pengetahuan saya akan Ibnu Khaldun mengalami perubahan, Ibnu Khaldun bukan hanya sebuah Universitas, namun lebih dari itu. Seorang ilmuwan muslim yang bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang hidup antara 1332-1406 Masehi ini adalah salah seorang negarawan, ahli hukum, sejarawan, dan juga bapak ilmu sosiologi dan ekonomi islam. Karya-karya beliau mampu memberikan pengaruh kepada cendikiawan dunia, baik barat maupun timur, muslim maupun non muslim. Magnum Opusnya yang berjudul Muqaddimah adalah karya pertama yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi serta sejarah budaya.
Tertarik dengan kisah sang cendikiawan, maka ketika saya melihat novel Ibnu Khaldun : Sang Maha Guru karangan Bensalem Himmish di salah satu toko buku di kota Medan, segeralah saya memboyong novel tersebut. Ditambah novel tersebut berhasil memenangi Naguib Mahfouz Award 2002, menjadi best seller di Kairo dan penulisnya yang merupakan sastrawan Maroko yang meraih gelar doktor dari Université de Paris dan kini menjabat Menteri kebudayaan Maroko menambah ketertarikan saya.
Dibuka dengan dikte dan filosofi Ibnu Khaldun kepada Hammu Al-Hihi, penulis setianya yang cukup berat dan membingungkan pada Bagian I. Kemudian dilanjutkan dengan kisah hidup Sang Maha guru selama beliau tinggal di Mesir hingga akhir hayatnya di Bagian II. Dibagian inilah kisah cita, cinta, dan konflik Ibnu Khaldun diceritakan dengan sangat indah oleh Bensalem Himmish, meskipun tidak menampilkan pergolakan batin dan intelektual Ibnu Khaldun ketika menulis karya-karyanya. Bensalem berhasil menampilkan dan memanusiakan Ibnu Khaldun sebagai seorang pencinta. Mulai dari rapuhnya hati Ibnu Khaldun ketika keluarganya tenggelam dilaut hingga kehidupan pernikahannya dengan Ummul Banin, yang menjadi janda setelah Hammu Al-Hihi, suaminya yang merupakan penulis setia sang mahaguru meninggal dunia.
Interaksi dan konflik semasa Ibnu Khaldin tinggal di mesir juga disampaikan dengan memikat. Mulai dari interaksinya dengan dua generasi raja Mamluk, pergolakan hidupnya sebagai hakim yang beberapa kali diangkat dan diturunkan dari jabatannya karena hasutan dari orang yang berhasrat ingin menggantikannya, hingga interaksi dan negosiasinya dengan Timur Lang, penguasa mongol keturunan Genghis Khan yang terkenal kejam, agar Timur tidak mengirimkan pasukannya untuk menyerang Mamluk. Salah satu rahasia Ibnu Khaldun hingga mampu menjadi cendekiawan terkemuka juga dipaparkan, diantaranya adalah Ibnu Khaldun banyak membaca buku-buku dari pemikir sebelumnya.
Melalui novel ini kita juga bisa mendapatkan gambaran kehidupan bernegara di negara-negara jazirah Arab saat itu yang umumnya memiliki 4 hakim dari 4 mazhab (Syafii, Hanafi, Maliki, Hambali) yang bertugas memutuskan suatu perkara agar sesuai syariah atau menerima konsultasi dari masyarakat seputar persoalan kehidupan agar tidak keluar dari jalur agama terutama tidak keluar dari mazhab atau aliran yang mereka anut. Meskipun tidak jarang para penguasa akan berusaha menjadikan para hakim ini sebagai alat politiknya melalui fatwa-fatwa yang dipaksakan, meskipun tidak jarang juga para hakim tersebut berseberangan dengan para penguasa.
Secara umum novel ini cukup menarik dan layak diganjar Naguib Mahfouz Award, Bensalem berhasil menggambarkan dan memanusiakan Ibnu Khaldun dengan segala cita, cinta, dan konflik kehidupan yang dialaminya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar