Berawal dari story instagram
seorang psikolog muda asal semarang yang merekomendasikan film The Social Dilemma
untuk semua orang yang bermain sosial media dan orang tua yang mengizinkan
anaknya menonton youtube for kids. Dimana kata-kata di akhir caption storynya cukup
membuat saya penasaran, karena beliau juga menyertakan kalimat yang cukup provokatif,
“Orang-orang yang bekerja di teknologi tidak mengizinkan anak-anak mereka
bermain media sosial.” Boom!..
Akhirnya saya menonton film semi dokumenter
yang direkomendasikan tersebut yang mengangkat narasi tentang sisi gelap
algoritma media sosial yang memanipulasi penggunanya. Film ini secara umum
menggambarkan utopia dan distopia yang terjadi secara bersamaan akibat adanya
teknologi dan sosial media, mungkin hal tersebutlah yang membuat film ini
diberi judul The Social Dilemma. Karena
selain memberikan pengaruh positif dan banyak membantu manusia, media sosial
juga memberikan pengaruh mengerikan bagi kehidupan manusia, seperti
memanipulasi feed menggunakan artificial intelligence dan machine learning yang
membuat penggunanya ketergantungan dan tidak bisa lepas darinya.
Film yang disutradai oleh Jeff
Orlowski ini juga menyertakan banyak narasumber yang kompeten dibidangnya
seperti Tristan Harris (pimpinan dari Center for Humane Technology yang juga
mantan pakar etika desain Google), Jeff Seibert (Angel investor dan pendiri crashlytics
yang sekarang sudah diakuisisi twitter), Aza Raskin (pendiri Center for Humane
Technology ), Justin Rosenstein (penemu tombol like di Facebook), Tim Kenda (mantan
pimpinan di Pinterest), Cathy O'Niel (mantan Direktur Monetisasi Facebook),
Anna Lembke (pakar kecanduan di Stanford University), Roger McNamee (investor
awal di Facebook), Jaron Lanier (computer scientist dan ahli virtual reality),
Shoshana Zuboff (psikolog sosial Harvard University), Jonathan Haidt (psikolog
sosial New York University Stern School Of Business), Bailey Richardson (tim
awal Instagram), dan beberapa lainnya.
Melalui film ini kita seperti
dibukakan mengenai bagaimana cara bekerja sosial media yang mampu membuat kita
menjadi kecanduan. Artificial Intelligence dan Machine Learning yang dalam film ini digambarkan dengan 3 pria
yang berada didalam ruang kendali, bertugas untuk mengetahui perilaku,
kebiasaan, dan apa yang disukai pengguna sosial media tidak peduli yang disukai
benar atau tidak, baik atau tidak, untuk kemudian memberikan saran dan
rekomendasi sesuai dengan kepribadian digital penggunanya, sehingga penggunanya
tidak bisa lepas dari sosial media dan internet.
Artificial Intelligence dan
Machine Learning juga ‘bertugas’ untuk mempermainkan emosi penggunanya, melalui
feed, jumlah like yang diterima, respon yang diterima ketika posting, dan hal
lainnya. Penggunanya bisa tiba-tiba senang dan bahagia karena mendapatkan
banyak like, tapi juga bisa gelisah dan cemas ketika mendapatkan sedikit like
dan respon.
Begitu masifnya penggunaan media sosial ditunjukkan dengan data kalau milenials sudah menggunakan sosial media semenjak mereka berada disekolah menengah, dan mungkin untuk generasi yang lebih muda sudah menggunakannya semenjak sebelum sekolah.. mungkin..
Akibat negatif
dari digunakannya sosial media oleh pengguna usia labil adalah meningkatnya
kasus kecemasan, depresi, dan bunuh diri selama sedekade terakhir semenjak
tahun 2010.
Ini tentunya menjadi tugas
tersendiri bagi para orang tua yang memiliki anak kelahiran diatas tahun 2000
karena harus berebut perhatian salah satunya dengan kompetitor digital yaitu
sosial media, internet, youtube, games, dan sejenisnya. Orang tua harus
benar-benar bisa memanfaatkan golden moment dan membangun perilaku positif anak dengan tepat agar anak memiliki usia psikologis lebih matang dibanding usia
biologisnya. Sehingga anak tidak ketergantungan gadget, tidak labil dan tidak
melakukan tindakan self-suicide.
Seperti yang dijelaskan
sebelumnya kalau Artificial Intelligence tidak bertugas untuk menunjukkan mana
yang benar dan mana yang salah, mana yang hoax mana yang tidak, tapi lebih
menunjukkan apa yang menjadi kepribadian digital dan preferensi penggunanya,
sehingga jika kita mengetik suatu kata, di mesin pencari seperti google, maka
google akan memberikan saran sesuai dengan preferensi penggunanya bukan
memberikan saran berdasarkan apa yang benar. Misalnya ketika kita mengetik kata
‘demokrasi’, maka google akan memberikan rekomendasi yang bermacam-macam
mengenai demokrasi yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain
berdasarkan rekam jejak digital masing-masing yang mengakibatkan masing-masing
pengguna akan memiliki sudut pandangnya yang berbeda-beda. Rekam jejak kita
benar-benar direkam dan diawasi oleh internet, tidak ada lagi privasi
didalamnya. Beberapa pakar menyarankan agar kita bisa menggunakan mesin pencari
“Qwint” yang lebih menghargai privasi pengguna dibandingkan google.
Di akhir film, selain memberikan
gambaran dampak negatif dari media sosial, para narasumber juga memberikan
gambaran tindakan dan langkah yang mereka ambil untuk memperbaiki kesalahan
yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Mereka juga memberikan beberapa saran agar kita tidak menjadi konsumen
dari sosial media.
The Social Dilemma membuka mata
kita kalau dunia digital selain memberikan banyak manfaat juga bisa memberikan
dampak buruk yang mengakibatkan kecanduan dan destruktif bila kita tidak
menggunakannya dengan bijak. Tipisnya jarak antara utopia dan distopia dalam
dunia digital bisa membuat mood swing seseorang berubah dengan cepat, terutama
untuk anak-anak, remaja, dan pengguna labil. Kesenangan yang sebelumnya dengan
mudah didapatkan bisa tiba-tiba berubah menjadi kecemasan dan kehancuran dalam
waktu cepat yang bisa mengarah ke self-destruction dan self-suicide bagi
penggunanya. Oleh karena itu perlu rasanya untuk memperlakukan sosial media
dengan bijak dan memberikan pengarahan yang tepat mengenai sosial media bagi
generasi muda. Jangan biarkan generasi muda menyelam bebas dalam samudera
digital agar mereka tidak terjebak dalam candu yang destruktif.
… if you tolerate this then your child
will be next…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar