Cara Jitu Memperkuat dan Membesarkan Brand - Market Think 143
Ignatius Untung [Marketeers TV]
Brand sudah jadi terminologi yang menarik dan paling banyak disebut jika kita berbicara tentang marketing dan bisnis. Hal ini memicu banyak orang bikin kelas dan training tentang brand. Dan menariknya ilmunya pun beragam, termasuk ada yang bertentangan, dan akhirnya bikin bingung orang-orang yang sedang memilih mana sih yang benar. Hal ini terjadi diantaranya karena orang punya perspektif dan pemahaman yang berbeda, yang pada akhirnya membuat pesertanya bingung.
Dalam ini secara prinsip ada dua kubu dalam training branding.
Kubu pertama itu adalah orang-orang yang memiliki perspektif bahwa Positioning is King. Secara tidak langsung dia bilang bahwa bisa bikin barang laku dan bebas perang harga. Jadi kalau tidak mau capek perang harga harus menguasai positioning dan lain sebagainya, seolah-olah kalau positioning sudah benar, maka profit pasti datang, bisnis pasti sukses, bebas perang harga, dan seolah-olah tidak ada hal lain yang yang penting dalam membangun brand selain positioning.
Kubu kedua adalah yang percaya bahwa Reach and Frequency. Bagaimana bisa menjangkau banyak orang itulah yang penting dengan intensitas yang juga cukup. Bahkan mereka berani bilang bahwa sudah bukan waktunya lagi positioning game. Seolah-olah positioning itu sudah tidak penting dan penting adalah bagaimana campaign brand bisa punya jangkauan yang luas dan juga frekuensi yang banyak. Dan dari sana brand berkembang.
Sekarang mari kita coba jelaskan dari perspektif lain. Perlu di catat, perspektif ini bukanlah bentuk klaim sebagai versi yang paling benar. Dan kita juga tidak bisa mengatakan kalau perspektif dari kedua kubu tersebut salah, ketika kita tidak tahu konteks seutuhnya.
Kalau ada satu ilmu yang harus dipegang erat soal brand dan marketing, maka itu adalah prinsip bahwa brand itu tidak bisa lepas dari manusia. Brand dibuat untuk manusia, oleh manusia, dan dibeli oleh manusia. Maka dari itu kita tidak akan bisa mengerti bagaimana membangun brand ,tanpa mengerti manusia. Dan sayangnya, manusia itu memiliki konsistensi di satu sisi dan juga tidak konsisten di sisi yang lain. Artinya ilmu brand itu juga seharusnya tidak dikunci di satu rumusan yang super spesifik. Alias tidak ada rumus dewa untuk brand kecuali di level normatif. Karena manusianya bisa berubah-rubah. Artinya konteks berbeda akan butuh ilmu yang berbeda pula.
Sebagai contoh, satu brand yang sama bisa dilihat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Misalnya kita membahas Apple. Apa semua orang suka dengan Apple? Kan tidak juga. Ada yang bilang overprice lah dan memilih tidak membeli. Tapi di sisi lain yang tergila-gila sampai jadi Apple fanboy pun banyak. Kalau rumusnya baku, harusnya kan artinya kena dua-duanya. Lah ini kok tidak. Ya ini karena brand adalah subjective experience. Jadi bisa sangat berbeda. Oleh karena itu paham yang dianut oleh kedua kubu itu sangat mungkin keduanya benar, hanya penerapannya bergantung konteksnya. Jadi dua-duanya bisa benar.
Lalu prinsip selanjutnya yang harus dipegang adalah Dunning Krugger Effect. Orang yang baru tahu sedikit biasanya PD-nya lebih pol. Mountain of Stupidity. Baru tahu sedikit rasanya seperti tahu banyak karena berangkat dari tdak tahu apa-apa. Jadi merasa progresnya luar biasa dan akhirnya lebih fanatik karena belum lihat bahwa ada kemungkinan lain. Dan ilmunya masih banyak yang dia belum tahu.
Oleh sebab itu kita jangan terlalu fanatik terhadap prinsip dalam membangun brand. Dan ini bukan hanya brand, karena untuk yang lainnya juga selalu ada sisi lain yang kita belum tahu. Seperti tentang marketing misalnya. Jadi apapun yang kita pelajari terkait hal ini jangan langsung diyakini sebagai kebenaran yang mutlak. Karena ada yang namanya Hammer Maslow Bias.
Jadi Hammer Maslow Bias ini adalah kecenderungan orang untuk menyelesaikan suatu masalah dari apapun yang dia kuasai. Kalau kita adalah martil maka semua masalah di depan kita kita perlakukan seperti paku. Ketika berbicara brand juga sama.
Kalau kita berangkat dari sisi kreatif, maka dorongan untuk punya brand formula dari sisi message, positioning, dan kreativitas akan makin kuat.
Kalau kita berangkat dari sisi science, maka dorongannya untuk punya brand formula dari sisi kuantitatifnya juga jadi kuat. Seolah-olah segala sesuatu harus bisa dihitung. Sehingga kalau tidak bisa dihitung dianggap tidak benar.
Kalau kita suka behavioral science maka kita cenderung membangun Framework Brand dari perspektif itu. Dan akan lebih kaya persepektif kita kalau kita memiliki banyak sisi. Misalnya kalau kita memiliki sisi behavioral science, sisi kreatif, sisi end to end marketing, sisi digital marketing, dan lainnya.
Sekarang kita mulai dari high level-nya dulu. Intinya kedua kubu benar. Positioning penting dan Reach and Frequency juga penting. Menariknya kalau kita lihat, keduanya lebih saling melengkapi ketimbang saling tidak membutuhkan. Maksudnya, positioning ini penting, tapi bukan berarti positioning adalah satu-satunya. Sementara reach and frequency juga penting, tapi bukan berarti tanpa positioning, reach and frequency bisa jalan. Meskipun kadang-kadang ada brand-brand yang bisa besar walaupun positioningnya gitu-gitu aja gitu ya. Tapi ada konteks dimana reach and frequency bahkan tidak cukup.
Sekarang kita coba bahas tentang kubu positioning. Positioning adalah seni untuk menemukan angle sehingga relevansi antara apa yang kita mau tawarkan dengan apa yang relevan untuk konsumen terbangun. Ini dilakukan tanpa merubah formula produk. Produknya sama, angle-nya saja yang dicari analoginya. Kalau fotografi itu kan ada dua, ada fotografi fashion dan fotografi komersial. Dimana segala sesuatu itu diorkestrasi. Dan ini bukan positioning. Positioning itu sama seperti foto jurnalis. Momennya tidak direkayasa. Tugas fotografer jurnalis itu adalah menemukan angle sehingga fotonya punya cerita yang menarik. Jadi ini tentang mencari angle. Tujuannya adalah membangun relevansi. Karena kalau tidak relevan untuk konsumen tidak akan menarik. Dan kalau tidak menarik maka tidak bisa berkembang brandnya.
Walaupun positioning itu tugasnya membangun relevansi dan keunikan yang otentik. Tapi kita tidak selalu bisa menemukan angle yang pas karena bisa saja produknya highly regulated. Kita tidak bisa klaim macam-macam karena ada aturan. Atau bisa saja ini low involvement product yang membelinya saja orang tidak terlalu mikir-mikir amat. Tidak peduli-peduli amat. Jadi mau klaim apa juga orang acuh tak acuh. Contohnya adalah air mineral. Orang selalu bilang beli Aqua. Dikasihnya merek apapun diterima . Jadi orang mau ngomong ini mata air paling murni ya boleh aja, lalu apa yang lain tidak murni? Kan tidak juga.
Tapi Lalu ada yang bilang kan ada yang klaim PH tinggi ada I-plus dan ada Pristine. Dari situ mereka punya market share dan diingat terhadap sesuatu yang unik, seperti E ph-nya tinggi. Tapi apa lalu orang tidak mau minum air mineral selain dua itu? Kan tidak juga. Maka dari itu positioning ini penting. Tapi apakah paling penting? Tidak bisa dibilang paling penting, tapi pentinglah.
Kenapa bisa begitu? Karena air mineral bagi banyak orang adalah low involvment product. Bukan berarti risikonya tidak besar. Namanya minuman masuk ke tubuh, pasti orang akan hati-hati, tapi permasalahannya ini adalah industri yang dijaga. Ada BPOM. Jadi standarnya pasti sudah terpenuhi, sehingga kita kita meyakini kalau ini aman.
Lalu apapun yang diklaim itu intangible PH tinggi itu bagus secara ilmu. Kita tahu sifatnya basa dan lain sebagainya, tapi apa apakah kita merasakan efeknya secara instan? Berapa liter cairan yang masuk ke dalam tubuh kita setiap hari dan berapa banyak yang kita tidak bisa kontrol? Lalu terus kalau kita minum dari air mineral yang PH-nya tinggi tapi habis itu kita juga minum macam-macam yang PH-nya tidak tinggi, termasuk kopi yang PH-nya rendah. Jadi hal ini tidak bisa diukur tanpa alat dan tidak bisa dirasain secara tangible oleh orang kebanyakan. Sehingga walaupun bisa diklaim tapi akhirnya tidak bisa dibuktikan. Dan dua hal itu yang akhirnya membuat air mineral masuk ke low involvement product.
Ada satu hal yang agak menjanjikan dari kubu positioning.
Pertama, seolah-olah positioning adalah segala-galanya, sehingga kalau positioning kuat lalu kita menang, jualan laku keras, bebas dari perang harga. Padahal yang harus diingat, positioning itu cuma satu komponen untuk penetrasi pasar. Meskipun positioningnya bagus, kalau faktor lainnya tidak bagus, maka tidak bisa menang juga. Sebaliknya, apa lalu kalau positioning tidak bagus lalu tidak bisa menang? Atau setidaknya punya market share yang cukup? Tidak juga. Prima dari Sosro misalnya, kalau berbicara tentang air mineral. Positioningnya mayoritas dari kita tidak tahu. Tapi apakah Prima tidak laku? Kan tidak juga, karena Prima berhasil memanfaatkan jaringan distribusinya Sosro. Dan karena tidak gencar beriklan, akhirnya costnya relatif lebih rendah. Mereka tidak perlu mengeluarkan marketing cost yang besar seperti Aqua atau brand-brand lainnya. Jadi mungkin bisa menawarkan harga yang lebih murah atau memberikan margin lebih besar kepada retailer, sehingga retailer lebih mau menjual Prima dibanding merek lain. Toh ketika orang minta Aqua dan dikasih Prima, mereka baik-baik saja dan tidak menolak. Jadi tanpa positioning bisa saja jalan untuk konteks tertentu.
Yang kedua, positioning membuat kita bebas dari jebakan perang harga. Padahal ini belum tentu, contohnya di kelas air mineral. Yang punya positioning contohnya aqua, I-plus, pristine, amidis, dan lainnya. Tapi apakah brand-brand tadi berani memberikan harga yang jauh lebih tinggi dari yang lain? Kan tidak, rata-rata mirip-mirip Aqua. Kalaupun ada charge mahal, maka ituuntuk varian reflection-nya, karena memang positioningnya untuk melawan Equil dan Le Pellegrino untuk market cafe. Tapi dengan strategi tidak perang harga apakah produk air mineral ini bisa memiliki market share yang besar? Tidak juga. Jadi kesimpulannya, positioning itu penting banget, tapi bukan yang paling penting dan bukan satu-satunya.
Apa yang paling penting? Sepertinya tidak ada yang paling penting di brand. Semua bergantung konteksnya.
Yang kedua adalah kubu yang kedua Reach and Frequency. Seolah-olah mereka mengesampingkan positioning dan bilang bahwa persaingan bukan lagi di area positioning. Kubu ini mungkin tepuk tangan waktu kita menjelaskan tentang Prima. Tuh kan lihat, Prima tidak punya positioning dan hanya dengan kekuatan distribusi yang kuat bisa mendapat sambutan yang luar biasa. Yang bisa diartikan sebagai reach and frequency. Kubu ini seolah-olah ingin mendorong brand untuk langsung masuk ke pasar, kemudian cari cara bagaimana agar bisa kelihatan, lalu akuisisi konsumen sebanyak-banyaknya. Dari situ brandnya bisa membesar. Kubu ini punya valid point dalam hal brand terbangun dari experience. Experience itu bisa terbangun dari cerita, dari iklan, dan dari propaganda yang mana ini butuh positioning. Tapi bisa juga terbangun dari Product Usage dimana akhirnya konsumen yang akan menyimpulkan sendiri brand image-nya ketika dia mencoba. Jadi benar bahwa mendorong orang untuk menggunakan atau mengkonsumsi produk akan membuka pintu untuk brand jadi lebih besar lagi, karena orang akan terbiasa. Mere exposure effect. Kalau sudah familiar akan lebih dipilih.
Tapi apakah ini 100% benar? Tidak juga. Ada konteks dimana reach and frequency tidak cukup. Untuk membesarkan reach and frequency butuh uang. Yang diantaranya digunakan untuk iklan, menjangkau banyak tempat, frekuensi lumayan, jalur distribusi masif, dan lainnya. Kalau uangnya tidak ada, terus bagaimana? Atau kalau pesaing uangnya lebih banyak dari kita, apa artinya lalu tertutup kesempatannya? Kalau begitu marketing adalah game of money dong. Yang punya uang banyak bisa menang karena bisa kejar reach and frequency. Walaupun pada kenyataannya maksudnya brand yang uangnya banyak pasti tentu punya kesempatan untuk bisa penetrasi lebih lebih luas lagi.
Tapi kembali lagi ke pengertian brand yang kuat. Kalau kita melakukan brand helth track, ada yang namanya brand premiumness, yaitu seberapa Anda masih mau beli brand ini bahkan ketika harganya lebih mahal atau ketika diskonnya tidak ada atau ketika ada brand lain yang lebih murah.
Kalau kembali ke contoh air mineral. Brand brand besar seperti Aqua banyak digerohoti oleh brand-brand kecil, karena masalah harga. Coba saja kita buat ekperimen seandainya kafe-kafe premium menawarkan dua opsi air mineral, antara Equil dengan Prima. Kemungkinan besar, mayoritas akan memilih Prima. Karena apa, karena kalau airnya sama, lalu buat apa membayar lebih mahal. Padahal reach and frequency nya Equil lebih tinggi di kafe. Atau bahkan kalau Equil diadu sama brand yang tidak gitu kuat lainnya, seperti misalnya Ron 88 di Jawa Barat. Mungkin orang akan lebih memilih Ron 88 dibandingkan Equil.
Jadi intinya adalah reach and frequency penting ketika kita akan membangun intensitas brand. Intensitas adalah repetisi, semakin Intens semakin cepat diingat. Sama seperti orang-orang belajar yang diulang-ulang. Tapi ada konteks dimana reach and frequency tidak cukup. Karena brand lain juga bisa aja punya uang yang sama besarnya untuk mengejar reach and frequency kita.
Jadi rumusan marketing itu seperti ini:
Pertama, retain frequency adalah amplifikasi. Seberapa keras orang bernyanyi analoginya. Makanya kalau retain frequensi-nya bagus orang cenderung ingat, karena benar-benar terdengar.
Kedua, positioning itu adalah soal brand formula. Seberapa bagus orang bernyanyi. Suaranya mungkin kecil… tapi bagus!. Jadi walaupun awalnya tidak banyak yang mendengarkan, tapi orang jadi ingat karena suaranya bagus, dan lama-lama dia punya kemampuan untuk membesar.
Apakah bisa dipertandingkan dua hal tersebut?
Tidak fair rasanya untu mempertandingakn kedua hal tersebut. Untuk jangka pendek, jika berbicara skala, maka reach and frequency yang lebih penting untuk bisa punya traction. Karena yang penting terdengar dulu atau dikenal dulu. Akan tetapi untuk jangka panjang yang punya suara merdu lah yang akhirnya lebih didengar dan akhirnya bisa lebih disukai. Dan ketika didengar membuat kita tertarik. Akhirnya suara yang keras itu jadi malah dimarahi karena berisik. Sampai akhirnya yang suara merdu itu tadi punya uang untuk beli speaker, supaya suara merdunya terdengar lebih keras, walaupun lebih lama prosesnya.
Jadi intinya keduanya saling saling melengkapi dan tidak bisa dipertentangkan.
Kesimpulan adalah brand dan marketing adalah tentang manusia dan manusia itu tidak konsisten, maka dari itu jangan hanya mau punya satu ruang, jadi serap aja semua ilmu nanti ilmunya dipakai ketika konteksnya cocok. Tidak ada satu ilmu yang cocok untuk semuanya. Brand dan marketing itu kompleks, tidak bisa kita sukses hanya dengan satu rumus spesifik. Marketing itu departemen paling luas di bisnis. Ada sisi logisnya yang number driven, ada sisi kreatifnya yang lebih ke sense dan feeling. Karena memang marketing itu adalah kombinasi antara Sains dan Seni. Maka dari itu masing-masing tidak bisa klaim sebagai pahlawan. Butuh banyak faktor untuk bisa bikin brand jadi besar. Tidak cuma satu aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar