Sekarang kita akan melanjutkan HK Lecture. Lecture sebelumnya adalah mengenai Key Elements of Marketing. Sekarang kita akan melanjutnya tema yang kedua tentang Tech Marketing yang dibawakan oleh Hermawan Kertajaya dan Iwan Setiawan.
Kita mulai dari marketing 3.0, marketing 4.0, marketing 5.0, marketing 6.0, marketing 7.0 dan akhirnya marketing 8.0. Marketing 3.0 bersumber pada human spirit, marketing 4.0 bersumber pada 5A, marketing 5.0 pada gabungan antara human spirit dan teknologi, marketing 6.0 pada imersif, marketing 7.0 pada neuroscience, dan marketing 8.0 pada impact marketing 3.0 terhadap human spirit.
Di marketing 3.0, terinspirasi pada ajaran Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa bisnis itu harus jujur. Marketing itu adalah inti dari bisnis. Jadi kalau kita kembali ke 3.0 maka kita kembali ke ajaran Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa bisnis harus jujur, maka marketing itu ya harus jujur. Nanti kita akan melihat bahwa ada matriks yang menunjukkan bahwa vision dan values daripada suatu bisnis itu memang harus berdasarkan human spirit. Jangan sampai profit yang didapatkan itu tidak berdasarkan human spirit. Pada human spirit ada kejujuran. Jadi human spirit itu menjadi inti dari marketing 3.0. Pada 3.0 kalau kita menjalankan marketing, jangan sampai tidak berdasarkan kejujuran. Apapun yang dilakukan oleh marketing itu harus berdasarkan kejujuran.
Nanti di marketing 4.0 sudah mulai menggunakan teknologi digital, Digital marketing. Di dalam penggunaan marketing, kita harus masuk di dalam 5A, yaitu: pertama adalah aware, di mana brand harus dibikin aware kalau brand itu intinya marketing. Kedua adalah appeal, ketiga ask, keempat act, dan kelima adalah advocate.
Marketing 5.0 itu mengingatkan kembali bahwa ketika AI mulai digunakan untuk marketing. Itu harus benar-benar kombinasi antara manusia dan teknologi, dimana ketika data mulai dikumpulkan, jangan sampai data yang dikumpulkan itu ngawur, jadi harus mulai dari pemilihan data itu sendiri, dimana human harus ikut campur, kemudian data dikumpulkan menjadi information data yang benar, bukan data yang salah. Kalau sudah jadi informasi, informasi itu harus menjadi knowledge. Knowledge harus menjadi insight. dan insight akhirnya menjadi wisdom. Ketika insight menjadi wisdom, peran manusia sangat menentukan. Jadi pada marketing 5.0 sebetulnya kita diingatkan bahwa teknologi sangat diperlukan oleh manusia, tetapi peranan manusia jangan sampai hilang.
Jadi sebenarnya, peran generated AI itu mulai diletakkan di marketing 5.0. Kalau data yang diolah itu sudah salah maka informasinya nanti akan banyak yang hoax dan banyak yang error. Yang pada akhirnya knowledge-nya juga tambah parah. Insight itu adalah kesimpulan dari knowledge. Dan akhirnya wisdom itu adalah jawaban-jawaban yang harus kita temukan dari suatu situasi tertentu. Jadi disini kerja sama antara human dan teknologi harus benar-benar diformulasikan, dimana manusia
itu punya peranan lebih besar dan dimana teknologi punya peranan.
Marketing 6.0 tentang immersion. Yaitu online di dalam offline dan offline di dalam online. Sehingga akhirnya teknologi itu memang bisa dipakai untuk membuat agar customer benar-benar bisa digabungkan online dan offline, bukan cuma terintegrasi, tetapi secara imersif.
Marketing 7.0 ketika teknologi itu sudah berhasil digunakan secara neuro. Masuk didalam psikologinya customer. Kalau teknologi itu dipakai oleh orang yang salah untuk mempengaruhi cara berpikirnya customer, sehingga customer itu behavior-nya bisa menuju ke arah yang salah. Ini berbahaya!
Jadi karena itu 3.0 memiliki peran yang sangat penting. Karena di 3.0 sudah ditanamkan bahwa teknologi itu jangan dipakai untuk sesuatu yang tidak benar.
Di marketing 8.0 itu adalah impact. Teknologi itu kalau dipakai marketing harus menuju yang baik-baik. Jangan bedakan antara people yang laki-laki dan perempuan, disability dan normal, dan macam-macam. Oleh karena itu, marilah kita buat supaya marketing bersama teknologi bisa dipakai untuk menciptakan prosperity. Bukan prosperity untuk sebagian orang yang cuma bikin profit, tapi customer
kalau beli produk kita, dia makin prosper. Jadi yang dia beli harus need, kalau sudah mulai beli want sebetulnya belum tentu bagus. Apalagi kalau barang yang desire. Tapi sudah nature-nya kalau manusia juga ingin membeli yang need dan desire. Pertanyaannya adalah apakah tidak apa-apa bagi kita untuk menjual barang want dan desire? Boleh, asal orang itu punya kemampuan dan memang hidupnya akan lebih bermakna bagi dia ketika membelinya. Sehingga buat dia memang ada untungnya. Tapi tidak semua orang membutuhkan barang yang want dan desire. Jadi konsep prosperity di sini adalah prosper dalam arti dia memang membutuhkan. Saya membutuhkan branded good. Itu barang desire, tapi kalau tidak mampu jangan beli branded good untuk satu kesempatan tertentu, beli saja yang need atau want.
Marketing 8.0 juga tentang planet. Maksudnya produk kita meskipun kualitasnya bagus jangan sampai merusak lingkungan. Jangan juga asal murah tetapi merusak lingkungan. Jangan mengharapkan servis yang berlebih-lebihan tapi kemudian servis itu merusak lingkungan.
Lalu tentang peace. Apakah kita menjalankan marketing itu dengan peace atau kita menjalankan marketing itu dengan sesuatu yang bersifat permusuhan.
Dan yang terakhir adalah partnership, kita tidak malu-malu untuk bekerja sama dengan orang lain. Co-branding atau bekerja sama dengan perusahaan lain sehingga tercapailah sesuatu yang maksimal untuk customer. Brand ini keistimewaannya di sini, brand ini keistimewaan di sana, kemudian bergabunglah mereka berdua untuk lebih memenuhi apa yang diperlukan oleh customer.
Jadi Marketing 8.0 adalah tentang 5P yaitu people, prosperity, planet, peace, dan partneship.
Series diangat mengingatkan, baik sebelum pakai teknologi maupun sesudah pakai teknologi, bahwa dalam marketing, human ditambah teknologi itu harus sama dengan impact.
Jadi ini penjualan apun harus 5P dan itu semua sumbernya dari kebaikan. Teknologinya bisa pakai apapun.
Sudah disampaikan banyak hal dan untuk menyambungkan dengan edisi pertama bahwa marketing definisinya Markplus adalah dealing with ever changing market. Jadi sebenarnya premis dari seri buku tech marketing itu bahwa karena market itu berubah terus, maka marketingnya harus berubah juga.
Kita bahas sedikit tentang runutan cerita dari seri buku ini. Kalau 1.0 itu product centric, fokusnya pada jualan produk dan apapun kebutuhan pelanggan. Atau kita bikin satu produk yang sempurna, kemudian tugasnya marketing adalah menjual produknya tanpa memikirkan customer maunya apa.
Ketika bergeser ke 2.0 baru mulai berpikir dari apa yang dibutuhkan customer, baru ciptakan produknya, kemudian 3.0 masuk ke sustainability. Sebenarnya ini adalah precursor-nya impact di awal dimana nanti akan full circle ketika di 8.0. Gambar diatas yang di dalam kotak warna ungu adalah yang tech centric yang primary driver of change-nya bermain sangat erat dalam menciptakan satu konsep baru di marketing.
Sebetulnya di 3.0, ketika itu terbit 2010, internet sudah ada dan akhir ya tahun 1997 itu sudah mulai mainstream, sosial media sudah ada awal tahun 2000-an. Tapi ketika itu internet dan sosial media belum terlalu dipakai untuk marketing, karena kalau kita ingat premis utamanya sosial media itu connecting people saja. Seperti itu jadi awalnya, memang hanya untuk komunitas, untuk enabling kita build relation dengan orang yang kita kenal sebelumnya. Kita tidak tahu ketika itu bahwa sosal media akhirnya akan menjadi the new mainstream media, dimana kita bisa ter-connect dengan stranger. Dan belum dipakai untuk iklan, advertising, dan lain-lain. Fitur facebook ads baru ada tahun 2006, tapi waktu itu masih belum terlalu laku.
Ketika markplus pertama moving to digital sebenarnya sudah ada visi untuk accountability. Marketing kalau di dunia nontech itu kan accountability, karena ketika kita bikin iklan di TV, kita sulit sekali mengukur impact dari iklan tersebut. Pasang billboard sulit mengukur impact. Kalau di sosial media, di digital channel, semuanya bisa. Akirnya markplus moving ke digital itu karena ingin marketing itu lebih accountable, marketing itu bisa terukur, bisa measurable. Digital Media menjadi mainstream, orang pakai social media, marketing pakai e-commerce, dan lain-lain. Yang juga memberikan jalan buat AI bisa mainstream. Kalau tidak terjadi duluan digitalisasi dari data, maka AI itu tidak akan pernah bisa besar. Kan sebenarnya AI itu sudah ada 60 tahunan. Kalau nonton imitation game, Alan Turing itu adalah Bapak AI dunia, dianggap yang melahirkan AI pertama kali. Sudah 60 tahun tapi AI baru mainstream baru-baru ini saja. Dengan ada chat gpt dan lain-lain, orang jadi sekarang berpikir bahwa AI itu sudah bisa dipakai oleh semua orang, tidak hanya dipakai oleh scientist, tidak hanya dipakai di laboratorium, tapi bisa dipakai secara masal oleh semua orang.
Kenapa begitu? Karena yang selama ini membuat AI itu tidak bisa mainstream adalah tidak ada datanya. Datanya tidak tersedia untuk diolah. Akhirnya komputernya tidak pernah bisa smart, dia tidak akan pernah bisa learning, karena tidak ada informasi yang cocok dengan pembelajaran mesin algoritmanya, sehingga akhirnya harus moving tradisional ke digital. Encourage business untuk mulai mengadopsi digital channels atau digital approach. Ai itu kan tujuannya agar kontekstual, makanya kalau ada orang yang punya kebutuhan yang spesifik maka kita bisa menemukan mereka. Yang dimana sosial media itu sekarang sudah bisa melakukan itu. Bisa mentarget secara mikro, orang perorang dalam timing yang spesifik, dalam time frame yang spesifik. Ada parameter-parameter yang sudah terukur, yang bisa menentukan orang ini sebetulnya profilnya seperti apa secara spesifik. Sehingga produknya bisa spesifik. Bahkan kalau produknya pun tidak customize, experiencenya bisa dibuat custoemize. Ini adalah mimpinya orang marketing. Kalau spamming maka akan banyak di ignore pesan yang kita sampaikan. Battle for attention akan di ignore. tapi kalau personalize masuknya lebih gampang. Karena memang itu informasi yang dicari cari customer. Ketika sudah bisa masuk gara-gara bantuan Ai, makanya next natural progression-nya itu adalah imersif.
Imersif bisa terjadi karena ada Ai, kalau tidak ada maka tidak bisa, immersif itu seakan-akan kita sudah masuk ke dalam pengalaman-nya sehingga dipengaruhi apa aja sudah bisa. Karena kita sudah masuk ke dalam brand experience. Alih-alih kita nembak sebagai brand, sebagai company yang punya
brand itu, kita nembakin terus mereka dengan pesan yang tidak relevan awalnya. Lama-lama dengan Ai, bisa lebih relevan. Ketimbang nembakin-nembakin terus meskipun relevan dan kena, terus lebih baik diperangkap mereka dalam imersive experience. Sehingga setiap pesan yang kita mau berikan, mereka akan selalu menerima, karena memang sudah part of the brand experience. Itu yang disebut imersive marketing.
4.0 adalah digital marketing. Platform utamanya adalah konsep 5A yang sekarang sudah banyak dipakai. 5A ini adalah customer journey atau customer path, yang dimulai dari awareness, kemudian appeal, ask, act, dan advocate. Pertama kenal dulu, tahu, tertarik, mulai cari tahu lebih lanjut, tanya-tanya, kemudian beli, konsumsi dan gunakan, setelah itu kalau senang advocate. Sederhana sebetulnya. Tapi ada yang dua warnanya beda, itu yang warna pink ada yang ask dan advocate. Dua yang beda ini menunjukkan aspek sosialnya dari journey ini, bahwa sekarang di dunia yang digital, ketika kita moving dari keputusan tradisional ke digital, pembelian itu banyak yang drive oleh eksternal.. oleh circle dari friends and family.. ketimbang keputusan internal kita sendiri.
Ketimbang saya memutuskan sendiri, saya suka mobil apa, saya lebih melihat mobil apa yang keren saat ini di pandangannya orang-orang. Saya tanya ke teman dan keluarga, apa yang kira-kira keren di pandangan mereka, sehingga banyak influence ke keputusan pembelian akhir. Di act itu banyak dipengaruhi oleh asking-nya ketimbang dipengaruhi oleh apa yang jadi driver di dalam dirinya sendiri. Ini sangat jauh dari konsep 2.0 yang customer centric, di mana asumsinya ketika itu adalah customer itu tahu maunya apa. Padahal kelihatannya banyak kalau di dunia digital itu no longer relevant, banyak customer tidak tahu maunya apa, karena banyak keputusan di drive oleh dia berteman dengan siapa, dia follow siapa, dan lainnya. Jadi keliru sekali kalau kita profiling-nya itu melihat masih di 2.0 era, bahwa kita tuh penginnya nyari tahu dia maunya apa, padahal itu kan sampai ujung ketika dia sudah memutuskan baru kita bisa capture informasi itu, padahal kan harusnya bisa dari depannya lagi, apa yang meng-influence dia, apa yang dia pakai untuk mengolah keputusan itu, itu yang kita intervensi duluan di depan, ketimbang kita intervensi ketika dia sudah memutuskan, ketika dia sudah terpengaruh, bahwa dari asking saya berbulan-bulan ini saya sudah memutuskan.
Kemudian ada satu lagi, advocate, jadi tidak hanya ada timbal baliknya, tidak hanya bertanya tapi kan masih ada yang jawab, kalau dia ingin cari tahu sentimen terhadap brand, saya lagi mengpertimbangkan tiga brand untuk satu kategori produk. Dia mau cari tahu, mana yang bagus dari tiga brand ini, kan mesti ada yang jawab, yang jawab itu adalah advocate dari masing-masing brand itu. Yang kita berharap lebih besar dibandingkan kompetitor kita, supaya brand kita yang dipilih pada akhirnya. Jadi ujungnya itu tidak hanya men-drive pembelian, tapi mendorong orang-orang yang nantinya akan jadi advocate kita, yang akan menjawab orang-orang yang belum memutuskan. Yang masih ada di ask stage. Jadi ini ada interaksi antara fase yang ketiga dengan fase ini yang terakhir, itu yang disebut sebagai the new Cx (Customer Experience).
Ini fondasi awalnya, dari fondasi awal ini ada yang kita kembangkan. Karena tujuannya adalah mendorong keputusan customer. Mulai dari aware, appeal, ask, act, hingga advocate. Kalau sudah kenal kita berharap langsung suka, kalau sudah suka, harus ter-triger untuk curious cari tahu lebih lanjut. Untuk membuat kenal langsung tertarik itu window-nya pendek, 8 detik. Jadi dalam 8 detik harus sudah tahu brandnya dan langsung tertarik. Berbeda dengan persepsi 30 second add zaman dahulu 2 detik terakhir saja brandnya baru muncul. Kalau sekarang, kalau dia sudah cut off-nya di 8 detik pertama dan brandnya belum muncul, maka awareness-nya tidak dapat, appeal-nya apa lagi, tidak dapat juga kan. Kalau tak kenal maka tak sayang, jadi tidak mungkin appeal kalau tidak aware, makanya brand itu jangan disembunyi-sembunyi dibelakang, taruh depan saja, di window awal. Tapi tidak hanya bisa menyampaikan informasi dalam 8 detik yang pendek, itu kan susah kan, jadi harus pilih satu saja, kang kalau dalam key essentials of marketing itu adalah positioning. PDB-nya itu yang 8 detik langsung keluar, brandnya keluar, positioningnya keluar, dierensiasinya keluar. Keluar semua 8 detik. Tapi gantung, Cliff Hanger, sehingga dia maju ke ask, sehingga dia bisa lebih lanjut, karena kan tidak mungkin kita kasih tahu fitur, informasi belinya di mana dalam 8 detik. Akhirnya terlalu crowded. Makanya harus gantung supaya ada trigger-nya.
Jadi kalau orang zaman sekarang, bilangnya kalau fase awal ini adalah hook kalau sosial media. Supaya dia ter-guide untuk akhirnya masuk ke informasi yang lebih mendalam. Dan penerapan ini banyak, bisa inbound campaign di sosial media, landing di website, website lebih detail. Sosial media pendek-pendek saja pakai short, tapi ada call to action, dia klik pindah ke website, tanya lebih detail. Ada juga yang Call to Action-nya Call Center nyambung ke telepon, tanya lebih detail. Dan seterusnya. Jadi ada banyak pilihan untuk supaya journey itu tidak putus, kemudian setelah dia ask. Kita inginnya dia ask, kita gak ingin dia langsung loncat ke act. Yang paling sengsara itu consumer goods (FMCG), karena dia akan skip, mayoritas consumer goods itu akan skip ask-nya. Sehingga tidak ada kedekatan sama brandnya. Journey itu kalau pendek atau instan semakin tidak kenal sama brandnya. Kalau kita kenal sama orang baru ketemu sekali, tidak pernah ngobrol, tidak mungkin bisa dekat, sehingga kalau semakin pendek, ask-nya tidak ada, maka biasanya advokasinya tidak terjadi. Makanya kalau di consumer good tidak ada brand loyalty. Hari ini makan biskuit ini, besok makan biskuit lain. Karena siapa yang tanya-tanya biskuit? Tidak ada yang tanya-tanya, sehingga tidak ada yang advocate. Ask dan advocate-nya tidak terjadi. Setelah mereka bertanya, kita ingin trigger mereka untuk beli, at least be available, kalau customer sudah setelah tanya-tanya ingin beli, ada channel-nya untuk beli.
Jadi misalnya sudah ter-trigger oleh social media Ads, suka dia, landing di website baca semua dan tertarik, bisa tidak check out di situ langsung supaya tidak tidak putus journey-nya. Nyambung terus. Karena kalau tidak akan putus ketika tidak tahu belinya bagaimana. Makanya kita ingin bisa check out.
Bahkan sosial media itu agresif sekarang, bikin jadi Social Commerce, istilah baru sebenarnya, mempermudah jadi tanpa seamless, katanya daripada kamu setelah tertarik itu pindah platform untuk belajar lebih detail, ya sudah di situ saja belajar lebih detailnya, jadi tidak pindah platform. Tidak usah ke website, klik saja di situ nanti bisa belajar lebih detail di platform itu. Check out di platform itu juga. Jadi tidak usah pindah platform lagi, di situ saja. Jadi mereka menguasai seluruh 5A ini dalam single platform, tanpa perlu pindah platform. Buat customer ini menyenangkan karena tidak capek bolak-balik pindah platform. Buat sosial media platformnya dominan, karena tidak ada brand lain atau platform lain bisa influence journey ini. Ini sampai.
Karena biasanya company itu fokus hanya berhentikan customer sampai di act aja, karena matriks utama dalam perusahaan itu kan sales, jadi sampai sini sebenarnya sudah dapat sales-nya, cuma kalau tidak lanjut, resikonya adalah dia akan selalu capek untuk jualan terus, kalau tidak ada advokasi, jualan itu effortnya terus-menerus sama besar terus. Seperti orang jualan door to door, dia tidak punya brand, tidak punya relationship, dia akan ketok pintu terus. Setiap kali new customer, dia ketok pintu terus, usahanya itu sama terus, setiap kali dia mau melakukan kegiatan sales aktivitasnya sama beratnya. Perkenalan lagi, jelasin lagi, baru closing lagi. Padahal kalau ada advokasi, ada affinity dengan brandnya, dia bisa bypass, seluruh proses awal-awal di depan yang painful itu, karena customer sudah tahu brandnya bagus. Customer suka sama brandnya, repeat buying aja, langsung repeat order, sehingga itulah kenapa kita bilang harus sampai advokasi, jangan sampai hanya action dan jangan hanya mengukur market share dari volume penjualan. Jangan hanya mengukur revenue yang sifatnya top line, tapi juga ukurlah potensi growth yang datang dari orang yang merekomendasikan kepada orang lain. Dan pada akhirnya nanti akan balik lagi, akan build awareness secara masif. Atau lebih penting lagi sebenarnya jalurnya ke ask, untuk menjawab yang tanya-tanya. Ini adalah fondasi awalnya. Ini four building blocks.
Four building blocks itu human centric marketing, untuk menciptakan daya tarik atau appeal. Content Marketing supaya dia ter-triger untuk tanya lebih lanjut, kemudian nanti ada Omni channel marketing supaya dia komit untuk beli, dan terakhir engagement marketing supaya dia loyal. Supaya dia jadi advocate. Jadi kalau ditanya kenapa 4 building block? Karena loncatnya empat kali untuk menggiring dari yang pertama sampai yang kelima itu 4 langkah. Makanya ada four building block. Dan ini kalau orang marketing kan kalau 4.0 jadi empat building block-nya.
Pertama, Human centric marketing kita pakai konsep yang memang sering dipakai juga untuk leadership, konsep yang dimana katanya human enam aspek yaitu physicality, intellectuality, emotionality, personability, sociability, dan morality.
Dimulai dari yang paling dangkal dulu, physicality yang katanya first impression. Good looking atau tidak, cool apa tidak packaging-nya, keren atau tidak.. Itu semua Physicality. Kemasan, design, merek. Jadi seperti orang. Kalau orang itu good looking, kalau produk itu good design, good packaging.
Intelectity, orangnya pintar atau tidak, jangan cuma good looking tapi tidak pintar. Pintar itu kalau di perusahaan atau brand itu inovatif. Berinovasi terus. Terlihat bahwa intelektual brand ini, bukan brand receh.
Emotionality, bisa men-trigger positive emotion. Jadi apakah dia bisa mentrigger orang jadi happy, orang sangat antusias, dan sebagainya.
Personability, bisa punya persona yang disukai,
Sociability, bisa didekati orang, bisa merasa dekat, bisa jadi teman, bisa jadi social friends dan seterusnya.
Morality, punya ethical mindset, ethical consideration.
Ini semua adalah when brand become human. Kalau human yang ideal itu kalau mau cari pasangan hidup, carinya nyari yang ideal. Tapi kan tidak ada orang yang seperti itu, nobody is perfect. Maka brand juga begitu, tidak ada brand yang sempurna. Pada akhirnya ketika brand becomes human, dia pasti harus bisa menampilkan sisi lemahnya sehingga lebih believable. Kalau ada brand yang bilang saya sempurna, saya tidak punya kelemahan, maka tidak believeable. Malah tidak ada yang percaya. Jadinya kalau ngaku-ngaku semuanya itu malah scam. Sebenarnya tidak berarti bahwa kalau komponen human itu ada enam, brand itu harus punya semuanya, tidak harus. Tapi harus fokus pada faktor yang memang kita anggap paling penting buat kita. Misalnya di kategori ini paling penting Socability dan Emotionability-nya.
Kemudian yang kedua adalah content marketing. Ini sering dipakai juga, tapi kadang-kadang suka diubah-ubah urutannya. Kalau di markplus, urutannya yang tidak dapat diubah. Karena kita bilang otak kiri otak kanan, kalau sebelah kanan itu yang lebih emosional, ada menghibur menginspirasi. Kalau mendidik sama convince itu yang lebih rasional di otak kiri. Makanya jangan dipindah kanan kirinya.
Kemudian atas bawah. Atas itu funel atas atau upper funnel sebutannya, jadi cuma build awareness, hanya memberi tahu, memberi informasi. Yang di bawah, bottom funnel atau lower funnel, dimana sudah langsung jualan, sudah hard selling. Jadi ada filosofinya, kanan-kiri atas-bawah itu. Dan kalau dilihat mulanya selalu dari kanan atas, jadi entertain dulu, karena itu yang paling mudah masuk di window 8 detik itu, sesuatu yang entertaining. Kalau langsung masuk edukasi, tidak ada yang mau mendengerkan sama sekali. Jadi langsung masuk ke entertainment dulu, terus jalurnya baru edukasi. Dia udah senang entertainment aspeknya sudah dapat, apakah pakai humor, pakai komedi, pakai element of surprise, sudah dapat entertainmentnya. Lalu masuk eedukasi, sudah mulai serius, tone-nya sudah banyak informasi lebih lanjut disampaikan. Ini sama seperti yang disampaikan sebelumnya, sesuatu yang dangkal dulu, tapi spesifik ke PDB kita, nanti habis itu masuk lebih mendalam. Kemudian memberi contoh, kasih inspirasi. Misalnya seperti top ten recommendation, succes story, dll. Bisa pakai influencer marketing, atau bisa pakai testimoni untuk memberi mereka inspirasi bahwa sudah kenal sekarang produknya.
Pertama ketawa-keta saja melihat produk ini karena entertainment, lama-lama kelihatan ada bobotnya, sudah mulai ada edukasinya, terus geser ke bawah ada contohnya, terus tinggal di-closing-kan, pindah ke convince. Langsung close. Sama dengan Journey Cx urutannya. Ini adalah content marketing. Formatnya banyak. Yang light itu yang bagian-bagian entertainment. Ini paling banyak proporsinya, konten itu biasanya 70% ada di sebelah kanan, karena ini emosional ringan. Nanti 30% ada yang di sebelah kiri. Yang lebih heavyweight itu tidak usah banyak-banyak karena tujuannya nanti untuk lebih meyakinkan rational brain-nya saja. Ini adalah yang content marketing.
Sekarang kit masuk ke Omni Channel. Webrooming dan showrooming ini sudah banyak yang pakai. Ini kita dilengkapi dengan data Indonesia hasil riset MarkPlus untuk salah satu CEO Round Table tahun ini. Kita percaya bahwa Omni channel itu 60% lebih, 63% persisnya. Dari kombinasi Webrooming dan Showrooming (34% + 29%). Omni Channel itu artinya ada kombinasi antara online dan offline terintegrasi. Yang pertama adalah webrooming 34%. Webrooming itu discover-nya terjadi online transaksinya terjadi offline. Yang paling terkenal dan paling besar webroomingnya adalah otomotif. Otomotif onlinenya nonton youtube, kemudian transaksinya di showroom. Bisa tidak closing di YouTube? Habis nonton YouTube langsung ada check out? Tidak bisa, karena perilakunya maunya transaksi di kanal fisik. Terlalu mahal buat checkout di sosial media platform. Jadi akhirnya 34% webrooming, tapi 34% ini adalah rata-rata semua industri. Kalau otomotif lebih tinggi lagi webroomingnya, kalau tidak salah hasil riset Markplus di salah satu klien sekitar 47% webrooming-nya.
Showrooming 29%. Artinya discovernya terjadi offline tapi transaksinya terjadi online. Itu yang lihat-lihat tapi tidak beli. Yang datang ke Toko Nike lalu fitting, tapi habis itu transaksinya di Zalora. Sisanya yang 37% itu ada yang full offline dan ada yang full online.
Jadi kalau ada yang masih full offline semua cuma dapat maksimal 13% dari market. Dan kalau ada yang mikir full online, maka dapatnya maksimal 24%. Yang bisa dua-duanya, baik yang awalnya strong sekali di kanal fisik, seperti dealer mobil misalnya, itu nanti harus menambahkan komponen online discovery-nya, konten marketingnya harus jalan sangat strong di situ. kalau yang sangat kuat di kanal online, dia harus menambahkan komponen fisikalnya, bikin pop-up booth di mana-mana. Banyak brand yang secara tradisional sangat kuat di e-commerce akhirnya buka Popup booth di mall, misalnya brand fashion, sportware, dan lain-lain.
Sekarang yang kelima adalah engagement marketing. Engagement itu ada tiga yaitu mobile app, social crm, dan gamification. Dan tiga-tiganyai ada di handphone, karena handphone itu adalah metode engagement paling gampang. Selalu ada di kantong, tidak pernah ketinggalan, selalu ada bersama kita. Jadi kalau mau engaging ya di sini, dan katanya kan 8.5 jam sehari statistiknya orang Indonesia online di beberapa gadgets atau multiple devices. 8.5 jam itu kan panjang, lebih panjang dari jam kerja pada umumnya. 8.5 jam itu adalah momen di mana kita mau continuosly build relationship sama mereka, yaitu: mobile apps, social crm, dan gamification.
Mobile app itu artinya bisa continuously punya akses ke mereka lewat notifikasi. Selalu bisa kasih informasi apapun. Sudah ada di dalam circle-nya brand itu. Karena dia sudah menyimpan aplikasi itu. Social CRM. Karena main sosial media terus, kalau mau interaksi sama brand, ya via sosial media jalurnya, supaya tidak usah beda dari kebiasaannya mereka.
Di youtube-nya marketeers TV, kalau misalnya ada program back to office ke salah satu brand, customer komplain ke brand itu di kanalnya Marketeers TV. Padahal kan Marketeers TV bukan call centernya brand itu, tapi ternyata komplain itu memang di tempat mereka biasanya berada. Di media di mana mereka paling sering muncul, mereka gak akan pindah platform untuk komplain atau untuk berinteraksi dengan brand. Tanyanya di situ, di kanal tempat di mana mereka spend paling banyak waktu.
Dan tentunya gamification. Karena yang paling adiktif kan game. Gamification itu yang sekarang banyak adalah contohnya yang paling tradisional loyalty program. Loyalty program itu gamification. Customer ketika masih bronze, terus melihat yang gold sudah bisa masuk langsung tanpa antri, jadi ingin gold juga. Akhirnya beli terus sampai akhirnya jadi gold. Itu sebenarnya prinsip gaming. Kita sekarang level 1 ingin masuk level 2, lalu ingin masuk level 3, kita main terus adiktif akhirnya. Karena ingin mengejar goals. Prinsip game itu ada goals-nya ada levels, sehingga akhirnya loyalty program itu
prinsip game. Membuat orang adiktif, membuat orang terpancing untuk selalu naik kelas, untuk selalu maju ke goal berikutnya, ke Milestone berikutnya. Itu adalah gamification.
Itu engagement karena semuanya nonstop, semuanya terus-terusan di trigger. Ini disebut sebagai engagement marketing.
AI Driven Marketing. Sekarang ada hasil antara dari sosial media, gencar e-commerce, transaksinya tercatat, dan jadi data. Lalu buat data analisis data untuk diolah ke dalam AI engine akhirnya muncullah yang 5.0 atau AI Driven Marketing.
Terdiri dari thinking, communicating, sensing, moving, imagining, connecting. Human plus tech. Tech itu sebetulnya equals human. Karena mereka mencoba mimik manusia, jadi kalau kita bilang human plus tech sama dengan impact berarti bisa jadi 2 human sama dengan impact. Jadi ini adalah mirrornya. Katanya manusia itu punya enam capability, jangan rancu dengan enam komponen sebelumnya. Enam capability yang dimiliki manusia yang membuat kita menjadi makhluk mulia, yang membuat kita menjadi makhluk unik. Tidak ada lagi yang mirip seperti manusia. Kita bisa think maka ada artificial intelligence. Thinking-nya manusia itu dibentuk dengan learning ketika kita sekolah, makanya muncul machine learning. Kita sekolah dan mesin disekolahin.
Communicating, kita bisa berbahasa makanya muncul cabang dari AI namanya NLP, tapi bukan yang hipnotis. Bukan Neurolinguistik Programming, tapi Natural Language Processing. Ini adalah alasan utama Kenapa AI itu bisa mainstream. Karena dulu untuk pakai AI harus bisa coding. Coding itu bahasanya komputer, sama seperti kalau guru TK bicaranya sudah seperti anak TK, karena dia harus menyesuaikan dengan apa yang diajarkan. Maka coding awalnya pakai bahasa komputer. Ketika komputer sudah pintar, ada cabang yang ngajarin mereka bahasa manusia supaya kita tinggal perintah saja tanpa perlu coding, supaya kita tinggal ketik saja instruksinya lewat prompt di chat GPT, tinggal ngomong saja pakai Voice Commander nanti dia jawab. Akhirnya jadi natural language-nya manusia. Akhirnya belajarnya lebih cepat, karena kita ngajarinnya pakai bahasa kita, bukan pakai bahasa mereka.
Lalu ada sensing yang mirror-nya adalah sensor tech. Sensor penginderaan teknologi yang ada di komputer. Kalau manusia punya mata, maka teknologi ada computer vision dari CCTV atau CPM. Computer Vision itu menggantikan fungsi matanya manusia. Lima panca indera itu akhirnya dibentuk di dalam robot yang akhirnya punya seakan-akan punya lima panca indera. Autonomous Car sebenarnya ada banyak elemen sensor di dalamnya. Termasuk HP dan lain-lain.
Moving yang mirror-nya adalah robotics.
Imagining yang mirror-nya adalah Extended Reality & Metaverse. Kalau kita percaya bahwa manusia itu senang bermimpi maka mirror ini juga mimpi semua, karena ini semua adalah sesuatu yang imajinatif.
Connecting, suka bersosialisasi, akhirnya mesin juga gaul juga sama mesin lainnya, nyambungnya pakai internet of things dan blockchain.
Semua hal diatas adalah next step. Di dalam menciptakan content marketing dan engagement marketing pakailah teknologi-teknologi yang available buat kita.
Ini adalah yang kelima yang terdiri dari Data Driven Marketing, Predictive Marketing, Agile Marketing, Contextual Marketing, dan Augmented Marketing.
Data Driven Marketing, kumpulkan datanya. Jangan sampai datanya sudah ada, tapi tidak dikumpulkan dalam suatu data platform.
Diatas adalah contoh target case, retailer di Amerika yang mengumpulkan data dari empat transaksi atau empat interaksi dengan customer. Pertama baby registry itu supaya temannya kalau mau ngasih gift ngambil idenya dari situ saja, kalau di Amerika sangat terkenal baby registry ini. Ini basically adalah pregnant women's wish list.
Untuk itu bisa terjadi harus kumpulin dulu datanya, makanya data driven dulu, setelah itu baru bikin predictive model. Predictive model itu bisa banyak. Contohnya adalah apa yang kira-kira akan sukses. Banyak yang bisa diprediksi. Prediktif marketing itu bisa memprediksi customer yang keluar, yang sudah pindah ke brand lain atau kompetitor lain. Itu juga bisa dilakukan pakai predictive modeling. Orang ini kelihatannya sudah tidak transaksi dalam 2 minggu, kelihatannya dia akan keluar dalam 2 minggu berikutnya.
Predictive model ini contohnya adalah memprediksi apa produk launch yang akan sukses. Contoh dari pepsico bahwa mereka menganalisa dots dots atau trend yang terjadi.
Kita harus bisa memanfaatkan prediktif sebelum waktunya launching. Kita memprediksi mana yang most likely akan growing, baru kita keluarkan di saat yang tepat. Karena kan harus produk development dulu, kan tidak tiba-tiba, ini trennya lagi gede kita bikin produknya, kan perlu waktu untuk bikin.
Kontekstual bisa melayani customer secara personalize. Ini adalah contoh bagaimana call center itu bisa mendeteksi voice dan sentimen atau emosi seseorang ketika sedang menelepon call center itu, sehingga call center agennya dapat contekkan untuk bisa deal with the customer secara personalize.
Yang berikutnya augmented. Building block keempat bicara bahwa human and tech itu harus bersatu padu, bekerja sama, berbarengan. Dan kalau di skema sales contohnya bisa upper funnel atau funel atas. Kalau di sales itu di funel atas, pipeline atas atas perannya tech atau machine. Di funel bawah perannya human. Kenapa begitu? Karena di atas ini banyak leads atau banyak prospek yang belum terlalu jelas. Masih cold prospect dan belum hot, dan itu sayang kalau pakai manusia. Tapi kalau sudah hot, baru diteruskan ke human sales force. Jadi ini contoh bagaimana marketing itu bisa augmented, yang high volume low productivity activitie seperti prospecting dan lain-lain itu bisa dilakukan menggunakan teknologi. Tapi nanti closingnya yang benar-benar harus secara personalize. Handle prospeknya itu dilakukan oleh manusia itu sendiri. Augmented.
Kemudian terakhir adalah Agile Marketing. Ini adalah konsep dimana pemasaran dilakukan dengan cepat, dengan berbagai prinsip. Contohnya adalah Zara yang merupakan fast fashion, bagaimana fast fashion itu bekerja dan prinsip-prinsip agile apa yang sebenarnya terjadi di fast fashion.
Pertama, rute Zara membuat satu produk itu dimulai dari command center yang ada di Spanyol. Command center itu basically social listening. Dia lihatin selebriti ini pakai baju apa, trend fashion di Milan Fashion Week apa, segala macam, semuanya. Kemudian data itu ditarik, diekstrak, dilempar ketiga unit. Diantaranya procurement, manufacturing, dan tim design. Jalannya paralel. Ini namanya concurrent process. Jalannya paralel. Ada real time analytics yang dalam semingguan itu diekstrak. Real time analytics ini dikasih secara paralel ke tim supaya kerjanya concurrent. Procurement-nya jalan sendiri tanpa menunggu manufacturing-nya. Manufacturing set up sendiri robotic factory-nya supaya jadi. Kemudian tim desain yang bikin pola dan lain-lain. Begitu sudah selesai kerjaannya masing-masing, dalam 2-3 hari langsung jalan. Kalau serial kan lama prosesnya. Sama seperti proses membuat software. Kalau ada lima fitur, biasanya lima tim kerja paralel. Kemudian mereka akan pakai banyak eksperimentasi, small batch, jadi hanya untuk 2 minggu saja, karena mereka tahu bahwa resiko harus di-manage. Kalau misalnya barang ini tidak keluar, tidak rugi-rugi amat. Dan nanti tahu bahwa 2 minggu lagi akan ada barang lain yang akan keluar. Begitu barang itu selalu laku, stok 2 mingguannya selalu habis, maka akan jadi barang permanen yang jadi timeless peace yang akan muncul terus setiap kali. Inilah yang disebut prinsip agile. Bahwa semua itu dimulai dari eksperimentasi, small batches, secara paralel. Begitu sudah ketemu formulanya baru dia bikin permanen.
Sekarang yang paling terbaru, immersive marketing, marketing 6.0
Kita tadi sudah bicara Omni Channel. Omni channel itu ada di tengah, multi channel itu ada di sebelumnya. Jadi bayangkan kalau kita ambil contoh pembaca kompas.com dan pembaca kompas cetak itu beda orang. Tidak ada yang baca kompas.com, juga baca kompas cetak karena orangnya sama. Sehingga itu disebut multi channel. Nanti kompas.com punya tim editorial sendiri, Kompas cetak punya tim editorial sendiri. Jualan iklannya juga terpisah, tidak ada yang dibundling, semuanya jalan sendiri-sendiri, karena audiensnya beda, journey-nya beda. Itu adalah multi channel. Pilih silahkan. Kalau segmen yang lebih senior, lebih senang baca cetak, maka beli yang cetak. Kalau yang senang online, baca online. Mereka membuat multi channel strategy. Yang disebut online or offline, silahkan pilih. Tidak ada sangkut paut sama sekali dan tidak saling overlap.
Tapi ada yang integrated, terutama yang webrooming dan showrooming category, pasti harus menggunakan Omni channel. Online and offline. Bukan online and offline. Ini customernya satu, maka journeynya satu.
Kemudian immersive, online in offline, bahwa bukan or atau and tapi in. Jadi di dalam physical channel, ada digital experience. Yang pesan McDonald kalau yang tidak ngeboikot, bisa pesan pakai layar. Ada toko yang ada LED interaktif, bisa di pencet-pencet berinteraksi dengan brandnya, tapi di kanal fisik. Tidak hanya satu orang, satu customer, satu journey, tapi satu touch point. Lebih mikro lagi. Di satu touch point tertentu dia both online and offline. Kalau Omni channel kan dia pindah touch point, di upper funel dia online, kalau webrooming, nanti dia pindah touch point ke offline ketika di lower funel. Itu kan pindah touch point. Tapi kalau di single touch point, ketika di physical touch point, dia juga berinteraksi dengan Digital Media, maka itu disebut online in offline. In the same touch point. Ini prinsip yang yang datangnya dari Gen-Z. Di mana anak Gen-Z itu kalau lagi nongkrong tetap main HP masing-masing. Di mana kalau lagi mabar tidak saling ngomong, ngomongnya in game. Itu prinsip di mana tetap kumpul, tidak di rumah masing-masing, ngobrolnya di situ tapi lewat digital Interaction. Itu adalah prinsip orang yang tidak melihat border antara online dan offline. Gen-Z.
Ini adalah Online di Offline. Jadi dalam satu kanal fisik ada digital interaction. Dan ini adalah cara-cara kita masukkan digital Interaction di dalam satu physical channel buat Gen Z.
Tapi kalau gen alpha kan terbalik, gen alpha itu kan senangnya di kanal digital, tapi interaksi yang biasanya dilakukan di kanal fisik. Jadi kalau anak-anak gen alpha itu senangnya main di Roblox, main di fortnite, main di Minecraft.
Kalau anak Gen Z senang konser live, stage semuanya, rame-rame bareng teman-temannya. Semua senang live meskipun ya sepanjang konser tangannya jadi tripod, kan capek sebenarnya, tapi senangnya nonton fisik. Tapi kalau misalnya gen alpha, nontonnya di fortnite. Fortnite itu banyak konser sekarang. Yang format konsernya beda, karena kalau di fortnite itu format konsernya 10 menit, pendek sekali, dan satu Island itu cuma 100 orang saja maksimal. Tapi unlimited number of islands. Jadi ya tetap aja bisa jutaan orang juga nonton, simultaneously at the same time nonton. Misalnya lagi nonton konser Eminem di fortnite, tapi karena konsernya itu bisa imaginatif, metaverse adalah imajinasi, maka Eminem nya bisa terbang ke mana-mana. Tidak perlu ditarik-tarik pakai tali. Avatarnya yang memang tampil. Bukan real person dan bukan real setup. Jadi imajinasinya bisa liar ke mana-mana dan itulah kreativitas ala gen Alpha yang kita sebut sebagai offline in online setup.
Ini building blocks-nya. Di sini tiga layer building blocks. Ini jarang di jarang dibahas di berbagai training karena kompleks. Tapi sebenarnya, teknologi itu layer paling bawah. The Enabler. Ada iot supaya bisa dicapture datanya, ada Ai buat diproses datanya, kemudian ada spatial computing supaya bisa pengalaman pemodelan di kehidupan nyata, nanti bikin digital Twin dan lain-lain, ada AR & VR buat interface-nya, dan kemudian ada blockchain untuk infrastrukturnya. Ini semua spektrum teknologi yang dipakai buat men-deliver immersive experience. Immersive experience itu ada dua, ada yang extended reality (XR), ini adalah sebenarnya online in offline. Ada metaverse, ini yang buat gen Alpha, ini yang offline in online. Kebalikannya. Di atasnya ada experience-nya, baik di kanal fisik maupun di kanal digital, itu bisa multisensori, bisa spatial, bisa ada metaverse marketing. Itu kurang lebih 10 building blocksnya dari marketing 6.0.
*Resume ini diambil dari kuliah umum Pak Hermawan Kartajaya dan Iwan Setiawan dalam #HKLectureSeries2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar