Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari, no. 6514; Muslim, no. 2960)
Sebenarnya keluarga memang kembali, akan tetapi amal baik kepada keluarga dan perbuatan baik keluarga akan menyertai. Dan perbuatan baik kepada keluarga termasuk yang diprioritaskan. Dalam Riyadhus Shalihin dijelaskan kalau sedekah kepada keluarga lebih utama dibandingkan yang lain, karena sedekah kepada keluarga juga terdapat pahala menyambung tali silaturahim.
Dari Salman bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat pahalanya dua; pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. An Nasai, no. 2583; Tirmidzi no. 658; Ibnu Majah, no. 1844. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Zainab istri ‘Abdullah bin Mas’ud yang ingin memberikan zakat pada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya, beliau bersabda,
نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Benar, untuk sedekah kepada kerabat akan mendapatkan dua ganjaran: (1) pahala menjalin hubungan kerabat, (2) pahala sedekah itu sendiri.” (HR. Bukhari, no. 1466; Muslim, no. 1000)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).” (HR. Muslim, no. 995).
Kenapa berbuat baik kepada keluarga termasuk prioritas. Karena sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nisa ayat 36
۞ وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ ٣٦
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
Maka sebagai suami, janganlah melarang istrinya untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Jangan sampai suami memutus tali silaturahim antara istrinya dengan orangtuanya. Hal ini juga berlaku hal yang sama kepada istri, jangan sampai istri menjadi penyebab suami memutuskan tali silaturahim ke orang tua dan keluarganya. Karena sangat bahaya kalau kita menjadi orang yang menurus tali silaturahim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ – يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 2984 dan Muslim, no. 2556]
Menyambung silaturahim ini ada yang dari nasab dan ada yang dari sabab. Nasab adalah sebab keturunan, sabab adalah sebab dari kita menikahi suami / istri kita. Jangan kita jadi orang yang baik ke orang lain tapi kikir dan tidak adil kepada rahim dan keluarga kita.
Teruslah berusaha, karena setan akan terus berusaha agar manusia memutuskan tali silaturahim. Baik itu kepada orang tua, kakak, adik, saudara, dan yang lainnya.
Semenjak turunnya surat Al Lahab, tidak kurang dari 200 kali Rasulullah mendatangi Abu Lahab untuk menyambung tali silaturahim meskipun Abu Lahab berbuat buruk kepada Rasulullah. Karena menyambung tali silaturahim kepada keluarga yang berbuat buruk kepada kita memiliki keutamaan sendiri.
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
”Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)
Terkait dengan harta. Harta memang akan kembali dan tidak mungkin dikubur dengan kita. Tapi apa yang dikerjakan terkait akan harta akan menetap.
Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Amal baik yang kita lakukan kepada orang tua bisa jadi kelak akan menolong kita ketika kita dalam kesulitan, seperti yang dikisahkan dalam kisah 3 pemuda yang terkurung dalam goa yang tertutup batu. Dimana salah satu pemuda bertawasul.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang dari umat sebelum kalian melakukan perjalanan, lalu mereka masuk ke dalam goa untuk berteduh di sana. Tiba-tiba ada batu besar yang runtuh dari atas gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata, “Kalian tidak dapat selamat dari batu ini kecuali kalian berdoa dengan perantara amal-amal salih kalian.”
Lalu salah seorang dari mereka berdoa, “Ya Allah, dahulu saya memiliki kedua orang tua yang sudah renta. Saya tidak memberi minuman di malam hari untuk keluarga saya atau hewan ternak saya, sebelum saya memberi minuman untuk keduanya. Suatu saat saya ada keperluan hingga pulang larut dan belum sempat saya beri minum. Maka saya buatkan minuman untuk mereka, namun ternyata saya dapatkan mereka telah tertidur. Saya tidak ingin memberikan minum kepada keluarga dan hewan ternak saya sebelum saya memberikan minum untuk keduanya, maka saya tunggu mereka bangun dari tidur sambil memegangi wadah minuman tersebut. Saya pun tidak ingin membangunkan keduanya, sementara anak-anak saya menangis-nangis kelaparan dan memegangi kaki saya. Begitu seterusnya hingga terbit fajar. Kemudian terbit fajar, lalu aku membangunkan keduanya dan memberinya minum.
“Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap wajah-Mu, lepaskanlah kami dari batu ini.” Lalu batu itu bergeser sedikit... (HR Bukhari)
Mengenai amal. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalllam menyebutkan tujuh perkara yang akan tetap mengalir pahalanya, meskipun seorang hamba sudah berada di dalam kubur setelah kematian menjemputnya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سبعٌ يجري للعبد أجرهن وهو في قبره بعد موته : من علَّم عِلْماً ، أو أجرى نهراً ، أو حَفَر بئراً ، أو غرس نخلاً أو بنى مسجداً ، أو ورَّث مصحفاً ، أو ترك ولداً يستغفر له بعد موته
“Ada tujuh amalan yang akan mengalir pahalanya bagi seorang hamba, meskipun ia berbaring di lubang kuburan setelah meninggal: (1) mengajarkan ilmu, (2) mengalirkan air sungai, (3) membuat sumur, (4) menanam kurma, (5) membangun masjid, (6) membagikan mushaf Al-Qur’an, atau (7) meninggalkan anak yang akan memintakan ampun baginya setelah ia meninggal. “ (HR. Al-Bazzar. Dinilai hasan oleh Al-Albani)
Jika salah seorang di antara mereka meninggal, maka ilmunya tetap diwariskan kepada umat manusia, dan tulisan serta perkataannya tetap beredar di antara manusia yang hidup sepeninggal mereka. Dari amalnya tersebut, mereka mendapat manfaat dan menuai pahala. Mereka terbaring di dalam kuburnya, namun pahala diturunkan kepadanya, dan pahala itu akan terus mengalir untuknya.
Yang dimaksud adalah mengalirkan air dari mata air atau sungai agar airnya sampai ke tempat-tempat penduduk dan persawahan, sehingga bisa untuk menyiram tanaman, dan memberi minum hewan. Termasuk dalam hal ini adalah menyalurkan air melalui pipa ke tempat-tempat warga, serta menempatkan dispenser di jalan dan tempat umum agar bisa diminum oleh orang yang membutuhkan.
Mengenai membuat sumur, mirip dengan mengalirkan air. Pahalanya akan terus mengalir selama sumur tersebut memberikan manfaat.
Tentang menanam pohon kurma, bagaimana kalau kita belum bisa kurma karena kita tinggal di Indonesia. Maka tanamlah pohon yang lain yang bermanfaat, karena itu akan bernilai sedekah juga. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam:
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552)
Dalam membangun Masjid, meskipun kita hanya menyumbang sedikit, insyaAllah akan tetap bernilai ibadah seperti pahala membangun Masjid asalkan diniatkan karena Allah Ta'ala.
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa membangun masjid dalam rangka mencari keridaan Allah, maka Allah akan membangun untuk dia yang semisal itu di surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagi orang yang mewakafkan Al Qur'an, maka akan diberi pahala yang banyak setiap kali ada yang membaca, mentadaburi (merenungkan), dan mengamalkan isi Al Qur’an tersebut.
Mendidik anak, mendisiplinkan mereka dengan baik, dan semangat membesarkan mereka dalam ketakwaan dan kebenaran, sehingga mereka menjadi anak-anak yang baik dan anak-anak yang salih. Kelak mereka pun akan berdoa untuk orang tua mereka dan memintakan rahmat dan ampunan.
Sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْللُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِككَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga,” Maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”. (Hadits shahih. HR. Ahmad, no. 10232, dan lainnya)
Bagaimana yang tidak memiliki anak? Dalam Islam anak yang dimaksud bukan hanya anak kandung, tapi bisa juga anak didik dan anak tiri. Anak siapa saja selama kita memiliki andil dalam kesholehannya. Kalau kita punya andil maka dia adalah anak kita. Dan ini merupakan kabar gembira bagi mereka yang belum diberikan karunia anak atau bagi mereka yang sudah punya anak tapi mereka belum mendapatkan kesholehan anaknya.
Bersegeralah dan bersemangat dalam mengamalkannya sebelum datangnya ajal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar