Pertama, jangan melihat ke anaknya, tapi periksa diri kita lebih
dahulu, apakah kita sudah siap menemani anak berbuat baik. Jika belum siap
(baik belum siap secara fisik maupun belum siap secara psikis) maka Ayah lebih
baik istirahat sejenak dan jangan terlalu memaksakan. Agar kita tidak kehilangan
golden moment bersama anak, karena
anak membutuhkan kita 100% ketika kita berinteraksi dengan anak. Anak
membutuhkan Ayah yang hadir secara fisik dan juga hadir secara psikis.
Kedua, buat komitmen dengan pasangan atau ibunya anak-anak dalam
menemani anak berbuat baik karena anak melihat model dari dua orang dan
dua-duanya harus selaras.
Ketiga, jangan lupakan doa ketika menemani anak berbuat baik.
Karena salah satu esensi dari Fathering
adalah bagaimana hubungan Ayah dengan Allah Azza Wa Jala. Bahkan beberapa ulama
ada yang berpendapat, sebelum kita berkomunikasi dengan anak, jangan lupa untuk
berwudhu.
Keempat, motivasi dan inspirasi. Ayah memberikan motivasi, motivasi bisa diambil dari eksternal,
misalnya ayah memberi contoh dari lingkungan diluar keluarga kita. Misalnya,
Ayah mengajarkan anak untuk bersyukur karena masih diberikan nikmat makan
sementara ada disekitarnya yang kesulitan secara ekonomi, lalu ayah mengajarkan
anak untuk bersyukur dan menolong yang kesulitan tersebut. Biasanya motivasi
tidak bertahan lama, sedangkan inspirasi bertahan lebih lama. Ayah memberikan inspirasi dengan
menjadi role model atau memberikan
keteladanan. Jadi Ayah harus memberikan contoh nyata berbuat baik kepada anak,
mulai dari dalam keluarga hingga dilingkungan sekitar. Jika anak berusia
dibawah 3 tahun, keteladanannya bisa dilakukan melalui suara, ajarkan anak
untuk berempati. Ayah bisa berkisah cerita sahabat, rasul, dan banyak hal lagi.
Jika anak berusia diatas 3 tahun bisa melalui gerak tubuh Ayah. Ayah harus
bergerak memberikan contoh berbuat baik secara nyata.
Kelima, understanding.
Ayah memberikan pemahaman apa yang akan dia lakukan. Terkadang anak tidak
berbuat baik karena kosa emosi atau kosa ekspresi atau kosa perasaannya belum
banyak dan memadai sehingga kita juga perlu mengecek kosa emosi atau kosa
ekspresi atau kosa perasaan anak kita. Salah satu contohnya dengan menanyakan,
”Nak kata depannya K kita kita ingin marah, itu apa ya namanya?” Dengan
menanyakan hal itu Ayah bisa mengecek apakah anak sudah punya belum kosa emosi
untuk hal yang ditanyakan tersebut. Jika ternyata belum, ayah bisa mengenalkan
kosa emosi berdasarkan abjad, mulai dari A sampai Z. Bisa melalui pantomin,
bisa melalui kisah, bisa melalui kliping koran dengan menampilkan gambar
ekspresi, atau lainnya. Karena tidak sedikit kasus, anak sudah kelas 2 SD akan
tetapi belum mengerti apa itu marah, apa itu kecewa, apa itu sedih, dan
lainnya.. sehingga semuanya diselesaikan dengan tangisan. Understanding merupakan salah satu pijakan utama. Semakin Ayah
mengajarkan understanding kepada anak
akan membuat anak mengerti dengan apa yang dilakukannya. Selain itu, untuk
mengajarkan understanding, Ayah juga
bisa meyakinkan. Misalnya ketika anak berbuat baik, Ayah bisa meyakinkan anak
akan kosa emosi atau empatinya sambal mengajak anak tersebut untuk berbuat baik
secara langsung kepada orang lain. Penting juga untuk dilakukan, selain
mengecek kosa emosi anak, kita perlu untuk mengecek kosa emosi diri kita dan
pasangan kita. Jangan-jangan kita dan/atau pasangan kita juga memiliki banyak
kekurangan dalam hal kosa emosi.
Keenam, menjaga semangat Ayah untuk menemani anak berbuat baik.
Semoga kita mejadi Ayah Hebat yang bisa selalu menemani anak kita untuk berbuat baik dan semoga anak kita memiliki usia psikologis yang lebih matang dari usia psikologisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar