Sepakbola memang magnet yang sangat hebat. Daya tarik ini pulalah yang menggiring para pemilik modal untuk ikut berpartisipasi di dalam aktifitas sihir sepakbola dewasa ini. Suatu hal yang sangat wajar, bila dilihat dari potensi keuntungan yang akan didapat dari olahraga ini. Ya... sepakbola yang awalnya digagas untuk menyalurkan hasrat manusia yang senang kompetisi dan perang memang telah berubah menjadi sebuah industri. Sebuah industri yang sangat menggiurkan. Bahkan saat ini, pada sebuah kompetisi yang sudah bertaraf profesional, campur tangan para pemilik modal kuat tidak bisa dihindarkan. Kita dapat melihat bagaimana pengaruh modal Roman Abramovic dapat merubah prestasi Chelsea 2 tahun belakangan ini dari klub yang 'biasa-biasa saja' menjadi klub yang luar biasa.
Jika di pentas dunia, sepakbola sudah menjadi ideologi dan industri. Bagaimana dengan nasib olahraga ini di Indonesia. Sepakbola Indonesia tampaknya sedang mencoba menuju ke arah profesionalisme. Meskipun belum dapat dikatakan benar-benar pofesional dan masih bersifat 'semi profesional'. Indikasi tersebut dapat kita lihat dari sudah banyak masuknya sponsor-sponsor dari korporasi besar Indonesia. Walaupun belum mampu menarik sponsor internasional, sepakbola domestik kita telah berhasil menggairahkan kembali hasrat masyarakat pada olahraga bola sepak itu. Beberapa supporter klub fanatik tumbuh di tiap-tiap klub, bahkan saking fanatiknya sering menimbulkan perkelahian antar klub.
Meskipun korporasi besar sudah mulai masuk ke Indonesia, akan tetapi hal ini tetaplah memiliki perbedaan dengan yang terjadi di negara yang industri sepakbolanya maju. Karena korporasi ini hanya masuk sebagai sponsor liga saja dan hanya sedikit sekali yang berani mengelola klub. Hal ini ini tentu berimplikasi pada pengelolaan klub tersebut. Klub di Indonesia kebanyakan masih bersifat BUMD yang mengakibatkan pengelolaan klub tersebut tergantung dari arah kebijakan pemerintah daerah setempat. Dan hal ini juga menyebabkan peluang terjadinya korupsi yang bertopeng sepakbola terbuka lebar.
Pengelolaan klub yang masih bersifat semi BUMD mengakibatkan banyak klub yang kurang bisa mengelola suporter fanatik yang mereka miliki yang disebabkan cara pengelolaan klub yang masih ‘semi profesional’ dan bernuansa politis. Sehingga aspirasi, hasrat, dan ‘kegilaan’ suporter seringkali tidak mampu tersalurkan dan tidak dapat diimbangi oleh pemilik klub maupun pengelola pertandingan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa Tambaksari pada perempat final piala indonesia lalu, dimana fanatisme dan 'kegilaan' bonek (suporter fanatik Persebaya) tidak dapat diakomodir dan dikelola oleh pengurus Persebaya yang bersifat semi BUMD.
Apakah gambaran diatas mencerminkan semua klub sepakbola di Indonesia??? Saya kira tidak... Untuk melihat contoh lain dari ‘subkultur’ sepakbola di Indonesia, maka kita dapat menengok ke kota Malang.. Kota yang sudah saya tinggali selama dua tahun. Ya sepakbola, khususnya Arema, tampaknya sudah menjadi identitas, simbol, dan karakter bagi warga Malang. Arema yang merupakan akronim dari Arek Malang konon berasal dari nama Patih Kebo Arema di kala Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama hingga seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama.
Warga Malang memang begitu bangga dengan ke-Arema-annya. Klub yang baru berdiri tahun 1987 ini pada awalnya juga masih jauh dari profesional dalam pengelolaannya. Pengelolaan klub ini pada awalnya selalu terseok-seok dalam masalah dana meskipun prestasi klub ini di tingkat nasional dapat dikatakan cukup baik. Kesulitan keuangan yang dialami Arema tampaknya dilihat oleh PT Bentoel Internasional Tbk. Sehingga pada pertengahan musim kompetisi 2003 kepemilikan Arema diambil alih oleh perusahaan tersebut.
Perubahan pengelolaan tesebut memberi dampak pada prestasi klub dan kedewasaan suporter. Arema yang sebelumnya sempat terkena degradasi ke divisi 1, berhasil menjadi juara Divisi I Liga Indonesia 2004 dan kembali berlaga di Divisi Utama pada musim kompetisi 2005 dengan materi dan dana dari pemilik baru. Hal ini semakin meningkatkan kepercayaan dan kebanggaan warga Malang akan Singo Edan, julukan bagi klub Arema. Simpul-simpul suporter yang berada di korwil-korwil semakin tertata rapih. Sehingga fanatisme pendukung dapat terakomodir dengan baik, sehingga tidaklah mengerankan jika Aremania sempat dinobatkan sebagai kelompok suporter terbaik di Asia Tenggara.
Kebanggaan dan antusiasme suporter ini dapat dilihat jika Arema bertanding, baik itu dikandang maupun bertandang. Aremania akan berusaha untuk dapat melihat secara langsung pertandingan klub kesayangannya. Bahkan mereka rela untuk antri berjam-jam demi menyaksikan klub kesayangan mereka bertanding. Para suporter yang tidak pergi kestadion pun tidak kalah antusias, mereka akan tetap seksama menyimak kesebelasan mereka bertanding melalui televisi maupun radio. Semua golongan masyarakat mulai dari pria, wanita, pelajar, mahasiwa, anak-anak, dewasa, satpam, pedagang, sampai golongan atas menyimak pertandingan kesebelasan kesayangannya. Suasana di stadion pun dapat dikatakan sangat bersahabat untuk ukuran sepakbola Indonesia. Sehingga tidak usah heran apabila para pemain juga akan berusaha menunjukkan kemampuan terbaik mereka di lapangan.
Prestasi klub pun lambat laun mengalami perbaikan. Sehingga Arema kemudian menjelma menjadi salah satu klub papan atas di Indonesia. Gelar juara pun sepertinya tinggal menunggu waktu, dan benar saja, pada tahun 2005 Arema berhasil menjadi juara di Copa Indonesia. Gelar juara ini pun berhasil mereka pertahankan pada bulan September tahun 2006 ini. Keberhasilan Arema dalam mempertahankan Copa pun mendapatkan antusiasme dari warga Malang. Hal ini mengakibatkan kota Malang yang tidak pernah macet , menjadi macet total karena lautan biru Aremania. Meskipun begitu arak-arakan dan perayaan keberhasilan ini dapat berjalan dengan tenang dan ’tidak menakutkan’ seperti yang lazim terjadi di Indonesia. Ya... klub Arema Malang dengan Aremania memang memberikan warna yang berbeda didalam persepakbolaan Indonesia.
Disaat klub lain masih mencari identitas, Arema telah berubah menjadi identitas, simbol, dan karakter bagi warga Malang yang bersahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar