Sabtu, 09 April 2011

Berkunjung Ke Tanah Batak

Seperti yang sudah kami rencanakan 2 hari sebelumnya, hari sabtu awal april itu kami berencana untuk plesir ke Danau Toba. Sekitar jam 10 pagi, perjalanan kami menuju tanah batak dimulai dari Rantau Prapat, untuk kemudian melintasi Asahan, Batubara, Simalungun, Siantar, hingga akhirnya ke Tobasa, yang jika ditempuh tanpa berhenti akan memakan waktu 5-6 jam. Sawit yang membentang dari kebun satu ke kebun lain menghampar di sepanjang perjalanan dari Rantau Prapat hingga Batubara. Baru ketika memasuki Perdagangan, satu-dua hutan karet mulai terlihat di tepi jalan.

Ketika memasuki Siantar, yang berjarak sekitar 128 KM barat daya kota Medan, kami langsung bergegas ke destinasi pertama kami, Patung Dewi Kwan Im yang terdapat di Vihara Avalokiteswara. Patung ini sangat menarik karena dengan tinggi 22.8 meter, membuat patung dewi kasih sayang ini menjadi Patung Dewi Kwan Im tertinggi dan termegah di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara. Begitu tingginya membuat keanggunan patung ini langsung terlihat ketika kami akan memasuki komplek vihara. Nuansa Cina benar-benar terasa di vihara ini, mulai dari patung 12 shio yang terdapat di dekat tempat parkir, kuil, hingga patung Dewi Kwan Im yang dikawal 4 pengawal berbadan kekar dan 2 lonceng disekitar sang dewi.

Selesai dari Kuil tersebut, perjalanan kami lanjutkan ke destinasi utama, Danau Toba!! Dan setelah sekitar 1 jam perjalanan dari Siantar, akhirnya kami sampai di Danau Toba, danau terbesar di Indonesia dengan pemandangan yang menakjubkan membentang di hadapan. Kemudian kami mencoba keliling danau sejenak sebelum menuju hotel untuk bermalam dan beristirahat sejenak memandangi indahnya danau yang konon berasal dari kisah seorang pemuda bernama Toba yang menemukan ikan besar yang indah, dimana kemudian ikan tersebut berubah menjadi wanita cantik dan kemudian ia nikahi dengan syarat Toba harus menjaga asal usul wanita tersebut. Akan tetapi syarat ini dilanggar Toba ketika Samosir, anak perkawinan Toba dengan wanita tadi, memakan sebagian nasi yang hendak diberikan istri Toba kepada Toba, hingga terucaplah kata dari Toba, dasar anak ikan. Mendengar perkataan Toba kepada anaknya ketika Samosir pulang dan mengadu, sedihlah wanita itu. Kemudian sang anak berlari kedataran tinggi atas perintah ibunya, dimana sang ibu lari ke pinggir sungai dan melompat kedalamnya Berselang beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Toba tidak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar yang kemudian hari dinamakan Danau Toba. Dan Pulau kecil ditengah-tengahnya diberi nama pulau Samosir.

Pagi hari, sebelum matahari benar-benar terik. Kami bergegas untuk segera ke tengah danau menggunakan perahu menuju ke Pulau Samosir, tepatnya Tomok. Sebelum ke Tomok, oleh nakhoda kapal kami disempatkan untuk melewati Tuktuk untuk kemudian singgah sebentar di Batu Gantung yang melegenda itu, yang menurut cerita rakyat merupakan bagian tubuh dari wanita cantik bernama Seruni. Dimana ketika itu Seruni sedang gundah gulana karena akan dinikahkan dengan sepupunya sementara ia sudah punya kekasih dan telah berjanji akan membina rumah tangga dengan kekasihnya. Diliputi rasa putus asa karena tidak sanggup berpisah dengan kekasihnya dan tidak ingin mengecewakan orang tuanya, Seruni kemudian berjalan kepinggir danau dan tanpa sengaja terperosok kedalam lubang. Awalnya seruni ketakutan karena gelapnya lubang tersebut, akan tetapi karena putus asa, Seruni kemudian memilih untuk mati dan kemudian berteriak ‘Parapat.. Parapat Batu.. Parapat’. Hingga sesaat kemudian terdengar suara gemuruh. Dan sesaat kemudian setelah gemuruh hilang, muncullah sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang dipercaya penjelmaan dari Seruni. Oleh karena Parapat sering diucapkan oleh orang yang menceritakan kejadian tersebut, maka daerah disekitar danau Toba disebut sebagai daerah Parapat. Ketika berhenti di Batu Gantung kami juga melihat beberapa ‘anak danau’ yang mencoba mengais rezeki dengan cara menyelam mengambil uang receh yang dilempar pengunjung kedalam danau.

Setelah dari Batu Gantung perjalanan kami lanjutkan kembali menuju Tomok. Sesampainya di Tomok, kami disambut oleh tugu yang menggambarkan pasangan batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Karo, dan Batak Mandailing. Kami lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, ditengah perjalanan datanglah pemuda lokal yang menawarkan diri menjadi pemandu wisata dengan upah lima puluh ribu rupiah. Akan tetapi karena rekan saya mengetahui seluk beluk daerah ini, dengan halus kami tolak tawaran pemuda tersebut dan bergegas menuju Patung Sigale Gale. Yang konon Sigale Gale ini adalah anak Raja di Pulau Samosir, yang bernama Manggale. Namun kemudian meninggal dan orang tuanya masih belum dapat melepas kepergian anaknya tersebut. Maka untuk menghibur diri, mereka membuat replika anaknya tersebut. Boneka kayu itu dibuat dengan sedemikian rupa sehingga bisa digerakkan dari belakang oleh seseorang. Gerakan itu terjadi karena bagian lengan dan kepala dihubungkan dengan tali tersembunyi. Konon dahulu kala jumlah tali yang menggerakkan si Gale-gale itu sama dengan jumlah urat yang ada di tangan manusia.

Selepas dari Sigale Gale, kami mengunjungi makam Raja Sidabutar. Raja yang konon merupakan orang pertama yang menginjakkan kaki di Samosir. Dimana makam tertua adalah makam Raja Ompu Naibatu Sidabutar yang meninggal sekitar 460 tahun yang lalu. Semasa hidupnya, raja ini berpesan apabila kelak ia meninggal maka ia dimakamkan di dalam batu. Pada umur 115 tahun, raja ini meninggal kemudian mayatnya dibungkus dengan selendang batak yaitu ulos sibolang dengan warna biru – biru hitam. Dan sesudah tujuh hari maka ditanamlah satu pohon yang bernama pohon Ari Ara yang berarti pohon peringatan, pohon ini merupakan pohon yang sangat besar. Selain makam Raja Ompu Naibatu Sidabutar, makam lain yang terkenal diarea ini adalah makam Raja Ompu Soributu Sidabutar yang merupakan cucu dari Raja pertama tersebut. Sebagian besar dari Raja masih menganut kepercayaan Parmalin, hal ini ditandai dengan adanya kain yang berwarna Hitam, Merah, dan Putih diatas makam Raja yang menganut kepercayaan Parmalin.

Perjalanan selanjutnya adalah menuju ke Museum Batak Tomok. Museum ini berbentuk rumah adat Batak yang cukup indah. Memasuki ke dalam museum, nuansa megalitikum cukup terasa, hal ini ditandai dengan banyak batu maupun peninggalan masa lalu yang bercorak patung megalitukum. Beberapa alat yang tersisa juga menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat zaman dahulu yang sepertinya menggantungkan hidup dari berburu dan bercocok tanam.

Puas berkunjung dari satu tempat ke tempat lain, kami pun bergegas untuk kembali menyeberangi Danau Toba untuk kembali ke hotel. Dimana sebelum kembali kami menyempatkan membeli beberapa cinderamata khas seperti Kalender Batak, Sarung Harum, Ulos, Saur Ikat, dan kerajinan batak lainnya. Setelah istirahat sejenak, perjalanan pulang ke Rantau Prapat kami lanjutkan kembali. Untuk teman kami diperjalanan kami kembali membeli sesuatu yang khas, yaitu Mangga Udang dan Kacang Sihobuk. Sesampainya di Siantar, kami juga menyempatkan untuk membeli Roti Ganda yang sangat legendaris dan tersohor di Siantar. Kami kembali ke rumah dengan perasaan puas, senang, dan berkeinginan untuk kembali berkunjung menikmati indahnya Tanah Batak dan indahnya Danau Terbesar di Indonesia tercinta.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

beli mangganya ditipu gak mas..
banyak tuti lo disana..

Havid Ardiansyah mengatakan...

Alhamdulillah waktu itu tidak kena tipu. Soalnya perginya sama orang yang ngerti juga... Hehehe..
Kata teman, untuk menghindari tipu-tipu sebaiknya belinya sedikit-sedikit dibeberapa pedagang... :)

Anonim mengatakan...

ga papa di tipu skali" juga gak papa kana............