
Kamis, 29 Oktober 2009
Pahlawan Biasa

Senin, 12 Oktober 2009
Romansa Ide dan Kata: Ketika Konsistensi dan Komitmen Terpinggirkan

Seorang sahabat yang memiliki pemikiran dan permainan kata-kata yang cerdas pernah menanyakan perihal blog saya yang hampir tidak pernah terbaharui sekitar 1 tahun yang lalu.
Rasa malu dan tertantang menyelimuti diriku ketika membaca hal tersebut, ketika itu ingin rasanya saya menjawab pertanyaan tersebut dengan permainan kata-kata dan pergumulan ide dan pengalaman. Akan tetapi sayangnya rasa tersebut terpenjarakan oleh rasa malas, sehingga komitmen dan konsistensi terkurung didalam diri.
Tanpa terasa, sudah hampir 1 tahun, semenjak cambuk tersebut mengenai hati dan pikiranku dan ternyata blog ini belum terbaharui secara berkesinambungan. Ide dan pemikiran sering hilir mudik didalam kepala, akan tetapi mereka terkurung dengan rapat didalam pikiran karena belum adanya komitmen untuk menuangkan kedalam kata-kata. Sehingga ide dan pemikiran tersebut menjadi tidak bermakna.
Benarlah apa yang pernah dikatakan para cendekia, ide dan pemikiran menjadi tidak berarti apabila tidak dituangkan dalam kata dan dikerjakan dalam perbuatan. Sungguh bukan saya menginginkan ide dan pemikiran saya menjadi tidak berarti. Dan bukan pula saya ingin menyembunyikan ilmu karena tak pantas rasanya bagi saya yang memiliki pengetahuan tidak seberapa untuk menyembunyikan ilmu saya.
Terabaikannya blog ini sesungguhnya lebih disebabkan terpinggirkannya komitmen dan konsistensi yang saya miliki. Ternyata benar juga seperti yang dikatakan orang, mempertahankan komitmen dan konsistensi sepertinya memang membutuhkan kesungguhan. Dan patut diakui, kesungguhan saya menghadirkan karnaval kata dalam blog ini memang terabaikan dan terasingkan. Sehingga ide dan pemikiran tidak dapat memadu kasih dengan kata.
Dan dalam dalam kesempatan ini saya mencoba mengumpulkan komitmen dan menjaga konsistensi agar ide dan pemikiran saya menjadi bermakna, seperti judul dari blog ini kacamata makna. Saya tidak memiliki target yang membumbung tinggi dan hanya berkeinginan setidaknya parade kata dapat hadir dan terbaharui di blog ini setiap 1 - 2 bulan sekali. Semoga saya dapat menjaga kesungguhan saya untuk mempertahankan komitmen dan konsistensi saya... Semoga...
*Gambar diambil dari sini
Senin, 29 Juni 2009
Sindrom Tourette Yang Menginspirasi

Hari Kamis lalu saya menonton sebuah film di HBO yang berjudul Front Of The Class. Film ini berdasarkan kisah nyata tentang kisah seorang penderita Sindrom Tourette, yang bernama Brad Cohen, dalam memperjuangkan cita-citanya untuk menjadi guru. Terus terang, saya sangat menyukai film ini karena banyaknya pesan yang terkandung didalamnya.
Sindrom Tourette merupakan penyakit akibat kelainan saraf yang membuat pengidapnya melakukan beberapa gerakan spontan diluar kesadaran, seperti mata berkedip terlalu sering, mangeluarkan suara berdehem, menggerakkan bahu secara spontan, mendecak-decakkan lidah, mengeluarkan kata-kata kotor (Coprolalia) dan mengulangi kata yang didengar dari orang lain (Echolali), di masyarakat awam dua hal terakhir ini dikenal dengan latah. Sampai sekarang penyakit ini belum ada obatnya, yang bisa dilakukan penderita sindrom Tourette lebih kepada pengontrolan diri dan emosi.
Dikisahkan Brad kecil adalah seorang anak yang menderita Sindrom Tourette sering diejek, dijadikan bahan olokan, dijauhi, dan bahkan diasingi oleh orang disekitarnya karena gerakan dan suara aneh yang ia buat yang disebabkan penyakit Tourette yang dideritanya. Brad kecil menjadi sosok yang sangat terasing dilingkungannya sendiri meskipun sebenarnya ia tidak menginginkan.
Banyak upaya yang telah dilakukan Brad dan orang tuanya sehubungan dengan penyakit Tourette yang dideritanya, seperti mencoba mengunjungi terapi penderita Tourette disebuah gereja. Akan tetapi setelah melihat terapi yang dilakukan, Ibu Brad dan Brad keluar dari tempat tersebut karena tidak ingin anaknya diperlakukan seperti penderita Tourette lain yang hidup terasing dilingkungannya.
Dalam berbagai upayanya Brad terus hidup terasing, hingga ia menemukan filosofi hidupnya dan merasa diterima ketika dalam sebuah konser musik yang diadakan sekolahnya. Ia dipanggil oleh kepala sekolahnya untuk maju kedepan. Brad yang sebelumnya merasa khawatir akan dihukum dan dipermalukan didepan teman-temannya karena suara-suara aneh yang dibuatnya, ternyata malah diberikan sokongan dari sang kepala sekolah dan memberitahukan ke rekan-rekannya kalau penyakit Tourette yang diderita Brad akan semakin parah ketika Brad merasa tidak diterima sehingga ia secara tidak langsung mengajak pengunjung yang hadir untuk menerima Brad sebagai mana adanya.
Hal tersebut menginspirasikan Brad untuk menjadi seorang guru yang tidak pernah ia miliki. Setelah lulus menjadi sarjana, Brad melamar ke berbagai sekolah untuk menjadi seorang pengajar di berbagai sekolah. Dalam banyak wawancara yang dilakukannya, Brad seringkali ditolak karena penyakit Tourette yang dideritanya meskipun ia memiliki catatan akademik yang baik, Brad seringkali dipandang sebelah mata karena penyakitnya. Tercatat sudah 24 kali wawancara ia lakukan dan gagal. Akan tetapi ia tidak mau menyerah terhadap keadaan, ia tidak akan pernah membiarkan Tourette mengalahkannya, sehingga ia terus berusaha. Hingga pada wawancara ke 25 ia akhirnya diterima menjadi guru kelas 2 di SD Mountain View.
Sebagai guru, Brad mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang berpikiran terbuka, dimulai dengan menceritakan tentang penyakit Tourette yang dideritanya dengan cara yang menghibur dan penuh humor. Brad juga mengajarkan kepada murid-muridnya kalau seberapapun sulitnya mereka dalam hidup, mereka tetap dapat menjadi orang yang lebih baik. Brad mencontohkan tentang sulitnya ia membaca dan berkonsentrasi karena Tourette yang dideritanya, akan tetapi ia tidak mau menyerah dan kalah terhadap Tourette yang dideritanya. Seluruh siswa Brad sangat menyenangi dan menikmati pola pembelajaran yang dilakukan oleh Brad. Sehingga tanpa disadari murid-murid Brad belajar banyak pelajaran berharga dari Brad mulai dari jangan pernah menyerah pada keadaan hingga pelajaran tentang toleransi dan menerima perbedaan.
Brad tidak pernah menyerah terhadap keadaan dan tidak ingin dikalahkan oleh Sindrom Tourette yang dideritanya. Sehingga ia menjadikan Tourette menjadi gurunya dalam mengarungi hidup dan dalam proses belajar mengajar yang ia lakukan. Usaha Brad tidak sia-sia, karena akhirnya ia terpilih menjadi guru teladan di kota tempat ia mengajar.
Banyak pesan yang dapat ditangkap dalam film tersebut. Mulai dari pelajaran tentang jangan pernah menyerah terhadap keadaan, bagaimana memanfaatkan dan mengambil hikmah dari kekurangan yang kita miliki, hingga pelajaran toleransi tehadap sesama manusia meskipun ia memiliki perbedaan. Banyak orang-orang yang merasa tidak diterima dan dikucilkan dalam pergaulan karena perbedaan yang sesungguhnya tidak ia ingini. Sudah menjadi tugas kitalah sebagai manusia untuk bisa menerima mereka...
Langganan:
Postingan (Atom)