Setiap anak yang diamanahkan
ke kita, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya merupakan titipan dari Allah
Azza Wa Jala. Amanah wajib untuk dijalankan dengan sebaik-baiknya. Salah satu
amanah yang wajib dijaga adalah mendidik dan menjaga fitrahnya, menjaga sikap
dasar yang diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Karena seperti
banyak pendapat, bayi itu ibarat kertas putih, tergantung bagaimana orangtua
melukisnya, maka demikianlah nanti kehidupannya.
Perbedaan umum anak laki-laki dengan anak perempuan menurut beberapa
penelitian
Dalam persepsi umum, perilaku anak laki-laki sering digambarkan
sebagai pribadi yang agresif dan super aktif, sedangkan anak perempuan
merupakan pribadi yang peka dan lembut. Menurut Dr. Robin Alter, PhD, CPsych,
psikolog klinis dari Amerika Serikat, anak laki-laki lebih menghargai tindakan
dan bukan kata-kata. Bagi anak laki-laki, actions
simply speak louder and more clearly. Sementara itu, anak perempuan lebih
menghargai kata-kata, karena bagi perempuan, melalui kata-kata, seseorang dapat
mengekspresikan hubungannya dengan orang lain.
Dalam hal perbedaan otak dan cara berpikir, Psikopatolog Inggris,
Simon Baron-Cohen, PhD, penulis The
Essential Difference: The Truth About the Male and Female Brain (Perseus,
2003), menemukan bahwa rata-rata otak perempuan lebih baik dalam berempati
dengan orang lain, sedangkan rata-rata otak laki-laki lebih baik dalam
penyusunan dan memprediksi hasil atau konsekuensi.
Dalam hal komunikasi, psikolog klinis terkenal asal AS, Wendy
Mogel, Ph.D., menjelaskan, bahwa keterampilan bahasa pada anak laki-laki
berkembang lebih lambat daripada anak perempuan. Sebagian besar ucapan
laki-laki dapat dipahami oleh orang lain pada usia 4 ½ tahun. Untuk itu hindari
‘kritik konstruktif’ menggunakan kata-kata abstrak saat berbicara pada anak
laki-laki. Gunakanlah kata-kata yang jelas, konkret, dan dengan tempo bicara
yang lebih lambat. Sedangkan, ucapan anak perempuan pada umumnya dapat dipahami
oleh orang lain di usia 3 tahun. Hal ini karena corpus callosum (jaringan saraf
yang menghubungkan kedua belahan otak) anak perempuan yang memfasilitasi
komunikasi lebih tebal. Rata-rata, anak perempuan mengatakan dua atau tiga kali
lebih banyak kata per hari daripada anak laki-laki, dan berbicara dua kali
lebih cepat. Untuk membantu mempertahankan otoritas di depan anak perempuan,
maka bicaralah dengan cukup cepat untuk menarik minatnya, tetapi tidak secepat
saat ia berbicara.
Dalam hal emosi, anak laki-laki mengalami kecemasan berpisah dengan
orangtua atau pengasuhnya (separation anxiety) lebih besar dari anak perempuan.
Sebelum berusia 3 tahun, mereka juga lebih mudah menangis dibanding anak
perempuan. Seiring bertambahnya usia, sistem saraf otonom anak laki-laki (yang
mengatur detak jantung, tekanan darah, dan pencernaan) menyebabkan mereka
bereaksi terhadap stres atau konfrontasi dengan excitement atau kegembiraan.
Untuk itu, jika ingin membicarakan soal perasaan atau emosi pada anak laki-laki,
cobalah membicarakannya secara tidak langsung. Misalnya, dengan membaca buku
cerita pengantar tidur dan kemudian membahas tentang apa yang terjadi pada
karakter di buku itu, atau dengan bertanya dengan detail tentang mimpinya.
Sedangkan bagi anak perempuan, kemampuannya untuk membaca isyarat sosial
membantu mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sistem
saraf otonom mereka membuat mereka bereaksi terhadap stres dengan menarik diri
dan meninggalkan situasi tersebut, atau merasa pusing, mual, dan takut.
Sehingga apabila anak perempuan pulang membawa kabar buruk dengan ekspresi
sedih dan marah, berikanlah respon penuh empati serta kepedulian, dengan
mendengarkan seluruh ceritanya dengan tenang dan tanpa menunjukkan emosi negatif.
Mengenal Mendidik Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan Dalam Islam
Dalam sebuah workshop, Ustadz Bendri Jaisyurahman dan Ayah Irwan Rinaldi,
menjelaskan secara gamblang tentang bagaimana mendidik anak laki-laki dan anak
perempuan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Seperti dijelaskan diatas kalau setiap bayi yang lahir membawa fitrahnya
masing-masing, seperti yang tercantum dalam hadits riwayat Bukhari,
“Tidaklah seorang bayi yang lahir kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kemudian
kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani
atau Majusi”. Makna fitrah dalam hal ini memang lebih banyak merujuk ke tauhid,
tapi meskipun begitu, selain tauhid, makna fitrah juga merujuk ke apa-apa yang
dibawa manusia sejak lahir, termasuk fitrah seksualitas. Oleh karena itu kita
bisa mengibaratkan fitrah seperti ‘software’
yang ditanam dalam setiap bayi, orang
tuanyalah yang mengaktifkan atau merusaknya.
Karena masing-masing memiliki
fitrah, maka cara mendidiknya pun berbeda. Yang harus kita tekankan adalah hanya
ada dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Tidak ada
tengah-tengah atau waria! Dalilnya terdapat pada Surat Al Hujurat ayat 13 “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan…..”. Tentunya antara anak laki-laki dan anak perempuan memiliki
keunikannya masing-masing seperti yang tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 36, “…..
dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan..”. Maksudnya disini adalah
perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya sebatas semata fisik, akan tetapi
juga fungsi, struktur otak. Oleh karena karakteristiknya berbeda, tentu cara
mendidiknya akan berbeda juga.
Salah satu pendidikan yang perlu
ditanamkan adalah pendidikan seksualitas.
Perlu dicatat kalau seksualitas berbeda
dengan seks. Karena seks hanyalah sebatas alat kelamin, hubungan
kelamin, atau menjadi laki-laki atau perempuan. Sedangkan seksualitas lebih
dari sekedar seks dan mencakup totalitas pribadi; apa yang kau percayai,
rasakan, pikirkan & bagaimana bereaksi; bagaimana kita berbudaya, bersosial
& berseksual; bagaimana tampil ketika berdiri tersenyum, berpakaian,
tertawa & menangis; dan menunjukkan siapa diri kita.
Oleh karena itu seksualitas yang
diharapkan adalah seksualitas yang benar,
lurus, dan sehat. Benar maksudnya sesuai dengan panduan
agama, etika dan nilai sosial. Dalam hal ini berlakulah hukum-hukum syari yang
sesuai dengan jenis kelaminnya. Lurus
maksudnya sesuai dengan fitrah. salah satu contohnya, fitrah laki-laki diluar rumah
dan fitrahnya wanita dirumah. Sedangkan sehat
maksudnya sesuai dengan prinsip kesehatan. Untuk mendidik seksualitas yang
benar, lurus, dan sehat diperlukan persepsi positif dan role model yang baik.
Belajar dari keluarga terbaik. Dalam mendidik anak laki-laki dan
mendidik anak perempuan, kita bisa belajar dari keluarga terbaik yang terdapat
dalam Al Quran Surat Ali Imron ayat 33, “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam,
Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat”.
Apa beda keluarga Ibrahim dan
keluarga ‘Imran? Dalam hal apa kita bisa belajar dari keluarga Ibrahim dan
keluarga ‘Imran? Mari kita jabarkan perbedaan mendasarnya… Keluarga Ibrahim
merupakan Nabi, Nabi Ibrahim menjalankan pernikahan poligami, tinggal
berpindah-pindah dan nomaden, memiliki banyak anak dan kesemuanya laki-laki,
memiliki keluarga yang lengkap (full
parent), dan dari keluarga Ibrahim
kita bisa belajar pengasuhan anak-laki-laki. Sedangkan keluarga ‘Imran
bukan berasal dari Nabi, pernikahannya monogami, tinggal menetap di Palestina,
memiliki anak tunggal yang bernama Maryam, single parent karena ‘Imron
meninggal sebelum Maryam lahir, sehingga Maryam diasuh oleh Hannah binti
Faqudha (istri ‘Imron), dan dari
keluarga ‘Imron kita bisa belajar pengasuhan anak perempuan.
Target pengasuhan. Dari keluarga Nabi Ibrahim kita bisa belajar
pengasuhan anak laki-laki, diantaranya belajar dari pengasuhan Nabi Ishaq
dan Nabi Ismail. Sehingga target pengasuhan anak laki-laki adalah menjadi
‘nabi’. Masalahnya kenabian itu tidak mungkin terjadi semenjak wafatnya
Rasulullah, berarti yang kita pelajari adalah sifat-sifat kenabian yang
diantara modelnya adalah Nabi Ishaq dan Nabi Ismail. Ishaq dalam surat al Hijr
ayat 53 disebut memiliki sifat yang cerdas, sedangkan Ismail dalam surat ash
Shaffat ayat 101 disebut memiliki sifat yang sabar. Artinya dalam mendidik anak
laki-laki, salah satu sasarannya adalah anak laki-laki kita harus menjadi anak
yang cerdas, tidak mudah bilang ‘terserah’, dalam arti mampu menjadi problem solver bagi masyarakat, menjadi
ahli ilmu, dan ahli dalam bidang apapun. Sasaran berikutnya adalah anak
laki-laki itu harus sabar, dalam arti tangguh dalam melewati kesulitan, tidak
mudah stress, tidak pantang menyerah, dan tidak ‘lembek’. Sedangkan dari keluarga
‘Imron kita bisa belajar pengasuhan anak perempuan, diantaranya belajar
dari bagaimana Hanna binti Faqudha mengasuh Maryam, dengan target pengasuhan
menjadi wanita suci dan pendukung 'kenabian'.
Demikian gambaran perbedaan pendidikan anak laki-laki dan anak perempuan secara umum. Semoga kita bisa menjadi ayah hebat dan ibu tangguh yang mampu mendidik anak-anak kita dengan pendidikan terbaik sesuai fitrahnya dan menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang juara dengan akhlak yang baik.