Senin, 16 November 2020

Mengenal Perbedaan Mendidik Anak Laki-Laki dengan Anak Perempuan

Setiap anak yang diamanahkan ke kita, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya merupakan titipan dari Allah Azza Wa Jala. Amanah wajib untuk dijalankan dengan sebaik-baiknya. Salah satu amanah yang wajib dijaga adalah mendidik dan menjaga fitrahnya, menjaga sikap dasar yang diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Karena seperti banyak pendapat, bayi itu ibarat kertas putih, tergantung bagaimana orangtua melukisnya, maka demikianlah nanti kehidupannya.

Perbedaan umum anak laki-laki dengan anak perempuan menurut beberapa penelitian

Dalam persepsi umum, perilaku anak laki-laki sering digambarkan sebagai pribadi yang agresif dan super aktif, sedangkan anak perempuan merupakan pribadi yang peka dan lembut. Menurut Dr. Robin Alter, PhD, CPsych, psikolog klinis dari Amerika Serikat, anak laki-laki lebih menghargai tindakan dan bukan kata-kata. Bagi anak laki-laki, actions simply speak louder and more clearly. Sementara itu, anak perempuan lebih menghargai kata-kata, karena bagi perempuan, melalui kata-kata, seseorang dapat mengekspresikan hubungannya dengan orang lain.

Dalam hal perbedaan otak dan cara berpikir, Psikopatolog Inggris, Simon Baron-Cohen, PhD, penulis The Essential Difference: The Truth About the Male and Female Brain (Perseus, 2003), menemukan bahwa rata-rata otak perempuan lebih baik dalam berempati dengan orang lain, sedangkan rata-rata otak laki-laki lebih baik dalam penyusunan dan memprediksi hasil atau konsekuensi.

Dalam hal komunikasi, psikolog klinis terkenal asal AS, Wendy Mogel, Ph.D., menjelaskan, bahwa keterampilan bahasa pada anak laki-laki berkembang lebih lambat daripada anak perempuan. Sebagian besar ucapan laki-laki dapat dipahami oleh orang lain pada usia 4 ½ tahun. Untuk itu hindari ‘kritik konstruktif’ menggunakan kata-kata abstrak saat berbicara pada anak laki-laki. Gunakanlah kata-kata yang jelas, konkret, dan dengan tempo bicara yang lebih lambat. Sedangkan, ucapan anak perempuan pada umumnya dapat dipahami oleh orang lain di usia 3 tahun. Hal ini karena corpus callosum (jaringan saraf yang menghubungkan kedua belahan otak) anak perempuan yang memfasilitasi komunikasi lebih tebal. Rata-rata, anak perempuan mengatakan dua atau tiga kali lebih banyak kata per hari daripada anak laki-laki, dan berbicara dua kali lebih cepat. Untuk membantu mempertahankan otoritas di depan anak perempuan, maka bicaralah dengan cukup cepat untuk menarik minatnya, tetapi tidak secepat saat ia berbicara.

Dalam hal emosi, anak laki-laki mengalami kecemasan berpisah dengan orangtua atau pengasuhnya (separation anxiety) lebih besar dari anak perempuan. Sebelum berusia 3 tahun, mereka juga lebih mudah menangis dibanding anak perempuan. Seiring bertambahnya usia, sistem saraf otonom anak laki-laki (yang mengatur detak jantung, tekanan darah, dan pencernaan) menyebabkan mereka bereaksi terhadap stres atau konfrontasi dengan excitement atau kegembiraan. Untuk itu, jika ingin membicarakan soal perasaan atau emosi pada anak laki-laki, cobalah membicarakannya secara tidak langsung. Misalnya, dengan membaca buku cerita pengantar tidur dan kemudian membahas tentang apa yang terjadi pada karakter di buku itu, atau dengan bertanya dengan detail tentang mimpinya. Sedangkan bagi anak perempuan, kemampuannya untuk membaca isyarat sosial membantu mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sistem saraf otonom mereka membuat mereka bereaksi terhadap stres dengan menarik diri dan meninggalkan situasi tersebut, atau merasa pusing, mual, dan takut. Sehingga apabila anak perempuan pulang membawa kabar buruk dengan ekspresi sedih dan marah, berikanlah respon penuh empati serta kepedulian, dengan mendengarkan seluruh ceritanya dengan tenang dan tanpa menunjukkan emosi negatif.

Mengenal Mendidik Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan Dalam Islam

Dalam sebuah workshop, Ustadz Bendri Jaisyurahman dan Ayah Irwan Rinaldi, menjelaskan secara gamblang tentang bagaimana mendidik anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Seperti dijelaskan diatas kalau setiap bayi yang lahir membawa fitrahnya masing-masing, seperti yang tercantum dalam hadits riwayat Bukhari, “Tidaklah seorang bayi yang lahir kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi”. Makna fitrah dalam hal ini memang lebih banyak merujuk ke tauhid, tapi meskipun begitu, selain tauhid, makna fitrah juga merujuk ke apa-apa yang dibawa manusia sejak lahir, termasuk fitrah seksualitas. Oleh karena itu kita bisa mengibaratkan fitrah seperti ‘software’ yang ditanam dalam setiap bayi, orang tuanyalah yang mengaktifkan atau merusaknya.

Karena masing-masing memiliki fitrah, maka cara mendidiknya pun berbeda. Yang harus kita tekankan adalah hanya ada dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Tidak ada tengah-tengah atau waria! Dalilnya terdapat pada Surat Al Hujurat ayat 13 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan…..”. Tentunya antara anak laki-laki dan anak perempuan memiliki keunikannya masing-masing seperti yang tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 36, “….. dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan..”. Maksudnya disini adalah perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya sebatas semata fisik, akan tetapi juga fungsi, struktur otak. Oleh karena karakteristiknya berbeda, tentu cara mendidiknya akan berbeda juga.

Salah satu pendidikan yang perlu ditanamkan adalah pendidikan seksualitas. Perlu dicatat kalau seksualitas berbeda dengan seks. Karena seks hanyalah sebatas alat kelamin, hubungan kelamin, atau menjadi laki-laki atau perempuan. Sedangkan seksualitas lebih dari sekedar seks dan mencakup totalitas pribadi; apa yang kau percayai, rasakan, pikirkan & bagaimana bereaksi; bagaimana kita berbudaya, bersosial & berseksual; bagaimana tampil ketika berdiri tersenyum, berpakaian, tertawa & menangis; dan menunjukkan siapa diri kita.

Oleh karena itu seksualitas yang diharapkan adalah seksualitas yang benar, lurus, dan sehat. Benar maksudnya sesuai dengan panduan agama, etika dan nilai sosial. Dalam hal ini berlakulah hukum-hukum syari yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Lurus maksudnya sesuai dengan fitrah. salah satu contohnya, fitrah laki-laki diluar rumah dan fitrahnya wanita dirumah. Sedangkan sehat maksudnya sesuai dengan prinsip kesehatan. Untuk mendidik seksualitas yang benar, lurus, dan sehat diperlukan persepsi positif dan role model yang baik.

Belajar dari keluarga terbaik. Dalam mendidik anak laki-laki dan mendidik anak perempuan, kita bisa belajar dari keluarga terbaik yang terdapat dalam Al Quran Surat Ali Imron ayat 33, “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat”.

Apa beda keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran? Dalam hal apa kita bisa belajar dari keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran? Mari kita jabarkan perbedaan mendasarnya… Keluarga Ibrahim merupakan Nabi, Nabi Ibrahim menjalankan pernikahan poligami, tinggal berpindah-pindah dan nomaden, memiliki banyak anak dan kesemuanya laki-laki, memiliki keluarga yang lengkap (full parent), dan dari keluarga Ibrahim kita bisa belajar pengasuhan anak-laki-laki. Sedangkan keluarga ‘Imran bukan berasal dari Nabi, pernikahannya monogami, tinggal menetap di Palestina, memiliki anak tunggal yang bernama Maryam, single parent karena ‘Imron meninggal sebelum Maryam lahir, sehingga Maryam diasuh oleh Hannah binti Faqudha (istri ‘Imron), dan dari keluarga ‘Imron kita bisa belajar pengasuhan anak perempuan.

Target pengasuhan. Dari keluarga Nabi Ibrahim kita bisa belajar pengasuhan anak laki-laki, diantaranya belajar dari pengasuhan Nabi Ishaq dan Nabi Ismail. Sehingga target pengasuhan anak laki-laki adalah menjadi ‘nabi’. Masalahnya kenabian itu tidak mungkin terjadi semenjak wafatnya Rasulullah, berarti yang kita pelajari adalah sifat-sifat kenabian yang diantara modelnya adalah Nabi Ishaq dan Nabi Ismail. Ishaq dalam surat al Hijr ayat 53 disebut memiliki sifat yang cerdas, sedangkan Ismail dalam surat ash Shaffat ayat 101 disebut memiliki sifat yang sabar. Artinya dalam mendidik anak laki-laki, salah satu sasarannya adalah anak laki-laki kita harus menjadi anak yang cerdas, tidak mudah bilang ‘terserah’, dalam arti mampu menjadi problem solver bagi masyarakat, menjadi ahli ilmu, dan ahli dalam bidang apapun. Sasaran berikutnya adalah anak laki-laki itu harus sabar, dalam arti tangguh dalam melewati kesulitan, tidak mudah stress, tidak pantang menyerah, dan tidak ‘lembek’. Sedangkan dari keluarga ‘Imron kita bisa belajar pengasuhan anak perempuan, diantaranya belajar dari bagaimana Hanna binti Faqudha mengasuh Maryam, dengan target pengasuhan menjadi wanita suci dan pendukung 'kenabian'.

Demikian gambaran perbedaan pendidikan anak laki-laki dan anak perempuan secara umum. Semoga kita bisa menjadi ayah hebat dan ibu tangguh yang mampu mendidik anak-anak kita dengan pendidikan terbaik sesuai fitrahnya dan menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang juara dengan akhlak yang baik.

Tidak ada komentar: