Setelah sebelumnya saya mencoba memaknai Man Jadda Wajada, tak lengkap rasanya apabila tidak mengupas sebuah novel menarik yang tidak sengaja saya temukan ketika mencoba mencari makna Man Jadda Wajada. Sebuah novel karya A. Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara karena novel ini bisa dikatakan sebagai pengejentawahan dari Man Jadda Wajada dalam bentuk kisah dan untaian kata yang memikat hati. Sebenarnya sudah cukup lama saya mengkhatamkan novel ini, sekitar awal tahun 2010, sehingga mungkin ada beberapa detail novel ini yang saya lupa, meskipun begitu saya akan mencoba mengumpulkan kepingan ingatan saya terhadap novel ini dan merajutnya kembali dalam resensi saya.
Novel ini berkisah tentang seorang putra minangkabau yang bernama Alif Fikri yang bermimpi untuk menjadi penerus BJ Habibie dan berhasrat untuk masuk ke bangku SMA guna mewujudkan mimpinya. Akan tetapi hasrat tinggalah hasrat ketika Alif dihadapkan pada pilihan sekolah agama atau mondok di pesantren. Sebuah pilihan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya karena sang ibu menginginkan Alif menjadi sosok intelektual religius seperti Buya Hamka dan keterbatasan ekonomi keluarga. Hati Alif sempat berkecamuk, yang diantaranya karena merasa dijauhkan dari cita-citanya dan rasa gengsinya terhadap Randai, sahabat sekaligus kompetitor abadinya, yang membuatnya berada dipersimpangan. Sekian waktu Alif berada di persimpangan, sampai akhirnya dengan terpaksa ia menerima pilihan untuk mendalami ilmu agama.
Perjalanan pun dimulai... Dengan menggunakan bus selama tiga hari tiga malam akhirnya tiba jugalah ia disebuah pondok, Pondok Madani (PM) namanya. Alangkah terkejutnya Alif ketika mendapati fakta harus melewati serangkaian tes untuk dapat menembus pondok ini. Masuk pesantren melalui tes, hal yang lagi-lagi tidak pernah terbayangkan dalam benak Alif. Nasi sudah menjadi bubur, Alif pun berusaha sebaik mungkin agar dapat mengenyam pendidikan di PM. Dan hasilnya.. Alif lulus dan diterima. Dan lembar demi lembar petualangan di Pondok Madani pun dibuka…
Di kelas hari pertamanya, Alif seakan tersihir oleh mantra sakti mandraguna yang disampaikan oleh Ustad Salman dalam suatu orasi yang menggetarkan jiwa, Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Sebuah kalimat yang begitu membekas dan sangat memotivasi Alif.
Di PM, Alif bertemu dengan sahabat baru, Raja dari Medan, Atang dari Bandung, Dulmajid dari Sumenep, Said dari Surabaya, dan Baso dari Gowa yang dipersatukan oleh hukuman jewer dan menjadi Jasus, siswa intelejen pesantren yang bertugas mencari pelanggar peraturan. Para sahabat ini memiliki kebiasaan duduk dan berdiskusi di Menara PM, yang karenanya menamakan kelompok mereka sebagai Sahibul Menara. Diantara diskusinya adalah tentang keinginan masa depan mereka sambil menatap lembayung awan yang beriringan, Alif melihat sebuah awan seperti Benua Amerika, Atang melihat awan itu seperti Benua Afrika, Raja berpendapat bahwa awan itu adalah Benua Eropa, Baso melihat awan itu seperti Benua Asia, sedangkan Dulmajid dan Said menganggap bentuk awan itu sebagai duplikat Indonesia. Dan sepertinya atas cita-cita ke enam sahabat itulah buku ini diberi judul Negeri 5 Menara, yang mewakili negara/benua yang mereka representasikan. Hari demi hari dilalui para sahibul menara di PM, banyak pengalaman mereka alami, mulai dari yang manis hingga yang paling getir, saat Baso harus meninggalkan PM menjelang ujian terakhir karena neneknya sakit.
Keras dan disiplinnya kehidupan di PM yang seperti di kuil Shaolin, benar-benar menjadikan Alif menjadi pribadi yang tangguh, meskipun terkadang kebimbangan dan hantu masa depan masih suka menghampirinya. Akan tetapi ketika ia ingat Baso dan Man Jadda Wajada kebimbangan itupun sirna menjadi semangat dan kesungguhan.
Banyak kisah yang menarik dan ide-ide nakal nan cerdas ala pesantren yang tertuang di novel ini mulai dari tips & trik bagaimana agar tidak kena antrian panjang saat makan, mandi, dan mencuci, bagaimana lobi cerdas Dulmadjid agar santri dapat izin menonton pertandingan bulutangkis, pengalaman mendebarkan dan mencekam saat meronda, hingga perjuangan Alif untuk mendapatkan foto Princess of Madani yang dielu-elukan santri di PM.
Buku ini adalah buku yang sangat menarik, pesan Man Jadda Wajada yang menjadi jargon buku ini benar-benar dituturkan dalam kisah yang menarik dan indah yang membuat kita enggan untuk meninggalkan buku ini sebelum benar-benar habis. Buku ini juga berhasil mendobrak gambaran pesantren yang banyak melekat di masyarakat. Citra pesantren yang selama ini diasumsikan kaku dan tempat pendidikan anak-anak nakal benar-benar dikikis habis. Karena kita akan menjumpai pesantren yang didalamnya terdiri dari sosok unggul yang masuknya harus melalui tes ketat dan didalamnya terdiri dari kurikulum yang bermutu. Pesantren yang tidak kaku dan penuh romansa. Meskipun begitu buku ini tidak melulu cerita tentang pesantren, karena buku ini juga menonjolkan tentang kesungguhan, perjuangan, dan persahabatan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar