Akhirnya hari yang dinanti-nanti pun tiba. Jumat siang itu saya lepas landas dari Bandara Polonia. Sepanjang perjalanan pikiran saya mulai menari-nari membayangkan apa saja yang akan dijumpai di Propinsi yang baru pertama kali saya kunjungi ini… Laut eksotis, suasana religius, masyarakat pesisir, watak yang keras, kegigihan yang luar biasa, pemandangan nan menawan adalah beberapa yang sempat hinggap di alam pikiran saya.. Setelah hampir 1 jam sampailah saya di Bandara Sultan Iskandar Muda yang indah. Telepon saya langsung berdering, ternyata Om Yu yang dipercayakan Bang Zarkasih untuk menemani saya selama saya di Banda Aceh sudah menunggu saya. Begitu berjumpa, saya pun langsung bertanya kepada Om Yu akan indahnya Bandara dan bagusnya jalan. Om Yu pun menjawab dengan indah bahwasanya hal itu adalah berkah dari tsunami bagi masyarakat Aceh. Mungkin jika tidak ada tsunami, Aceh belum memiliki Bandara sebagus ini. Sebuah jawaban yang sangat menyejukkan hati. Maka benarlah apa yang termaktub dalam kitab suci kalau sesudah kesulitan ada kemudahan.
Puas di Iboih, perjalanan pun kami lanjutkan ke Tugu Kilometer Nol yang berjarak sekitar 8 kilometer. Tugu Kilometer Nol adalah tugu yang dibangun untuk menandakan pengukuhan titik nol kilometer Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diresmikan tahun 1997 dan terletak di ujung pulau weh. Sesampainya di Tugu Kilometer Nol, saya langsung bergegas menuju ke atas tugu untuk melihat-lihat. Dalam perjalanan keatas Iwan sempat bertutur ke saya, jika tiba-tiba menjumpai sepasang babi hutan jangan takut karena babi hutan itu jinak. Babi hutan… Ya… Babi hutan kawan… Di sekitar tugu kilometer nol ini hidup sepasang babi hutan yang diberi nama Bawai dan Bebi, dimana bawai adalah pejantan dan bebi betinanya. Konon babi hutan tersebut menjadi jinak karena pengunjung asing suka memberikan makanan kepada keduanya, sehingga keduanya menjadi jinak dan kemunculannya tidak pernah mengganggu. Terus terang saya tidak terbayang apa yang akan saya lakukan jika sepasang babi hutan dengan bulu hitam seperti sapu ijuk itu tiba-tiba muncul di depan saya. Beruntung ketika saya disana babi hutan tersebut tidak muncul. Setelah puas melihat-lihat diatas, Iwan mengajak saya menuju ke sebuah batu yang terletak di ujung pulau sabang. Sebuah batu yang menjorok dan langsung berbatasan dengan jurang yang dibawahnya pantai penuh batu-batu besar. Ia mengajak saya untuk berdiri diatas batu tersebut. Konon dari batu tersebutlah lokasi paling bagus untuk menikmati indahnya matahari terbenam, karena matahari akan tampak sangat dekat. Sayang ketika saya sampai di lokasi tersebut, masa-masa indah matahari terbenam sudah lewat, beruntung saya masih sempat melihat lembayung yang terlihat di ujung terbenamnya. Tidak lama setelah matahari menghilang berganti gelapnya malam, kami pun bergegas meninggalkan kilometer nol kembali ke Gapang. Ada yang sangat saya sayangkan di kilometer nol ini, karena saya mendapati tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang mencorat-coret di sekitar kilometer nol. Sayang sekali keindahan matahari terbenam di kilometer ini dirusak oleh hal tersebut.
Pagi hari sekitar pukul 7 pagi, saya langsung bergegas ke bibir pantai untuk menikmati keindahan alam bawah laut sabang. Saya memilih untuk melakukan snorkeling karena keterbatasan waktu. Dengan berbekal 40 ribu rupiah untuk snorkel, kaki katak, dan pelampung, saya pun sudah dapat menuju ke tengah pantai untuk menikmati keindahan laut. Keindahan laut memang benar-benar tergambarkan dari beraneka biota laut yang terdapat disini. Mulai dari Ikan Barracuda, Ikan Belut Muray, Ikan Nemo, Bintang Laut, Aneka Terumbu Karang, hingga ikan-ikan kecil lainnya yang hilir mudik membuat alam bawah laut seperti lukisan hidup. Setelah sekitar 2 jam menikmati alam bawah laut saya pun segera kembali ke penginapan untuk mandi, karena Iwan akan segera menjemput pukul 10 untuk membawa saya mengelilingi Sabang. Keindahan alam bawah laut sabang memang tidak diragukan lagi dan menurut saya akan lebih indah lagi apabila kawasan Iboih dan Gapang lebih tertata dengan baik dan sampah serta daun dari pohon yang berguguran bisa lebih dibersihkan lagi.Setelah memberi makan kera, kami melanjutkan perjalanan untuk mengelilingi kota sabang. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepada Iwan mengapa penduduk sabang banyak yang memelihara anjing. Ternyata tujuan mereka memelihara anjing adalah untuk berburu babi hutan. Karena selain bebi dan bawai, babi hutan disekitar sabang suka datang ke ladang penduduk dan merusak tanaman. Dan ketika datang, babi-babi tersebut bergerombol, paling sedikit 5 babi dan bahkan bisa sampai 15 babi. Untuk itulah anjing dibutuhkan. Agar kebun-kebun mereka tidak dirusak oleh kawanan babi tadi.
Dalam perjalanan ini Iwan juga bercerita, bagaimana hutan lindung benar-benar dijaga. Karena mereka tidak menginginkan hutannya rusak. Jadi aktifitas yang mengganggu hutan dilarang disini. Untuk menebang pohon dikawasan hutan lindung hanya dibolehkan untuk pohon yang telah mati, itupun setelah mendapatkan izin. Oleh karena itu apabila mereka mendengar suara mesin ditengah hutan lindung, maka mereka akan segera menghentikan dan menghukum orang tersebut. Itulah rahasia yang membuat hutan lindung di sabang benar-benar terjaga.
Pada kesempatan lain Iwan juga sempat bertutur, kalau dalam konflik yang sempat terjadi antara GAM dengan TNI, Sabang juga termasuk daerah yang bebas dari konflik dan kerusuhan karena penduduknya yang relatif kompak dan tidak menyukai kerusuhan. Dapat dikatakan sabang adalah salah satu wilayah paling aman di Nanggroe Aceh Darussalam saat Daerah Operasi Militer (DOM) dan saat konflik antara TNI dengan GAM terjadi. Bahkan setelah rekonsiliasi, Sabang pun tetap menjadi salah satu daerah yang paling aman dan damai di bumi serambi mekah.
Puas keliling kota sabang, maka kami pun berhenti sejenak di rumah makan yang menurut Iwan salah satu yang terenak di kota itu. Plik U dan Asam Keueng pun menjadi salah satu menu yang kami santap siang itu. Plik U adalah sayuran yang terbuat dari berbagai macam daun segar dengan kuah gulai yang terbuat dari kelapa yang telah dibusukkan dengan rasa yang sangat menggugah selera, sedangkan Asam Keueng adalah masakan ikan yang dimasak dengan asam keueng dan memiliki rasa asam pedas yang segar. Setelah menyantap makanan, kami pun bergegas menuju ke Balohan untuk mengejar kapal lambat menuju ke Ulee Lhuee.Sesampainya di Balohan, saya langsung bergegas menuju ke kapal untuk menuju ke Ulee Lhue. Kesan akan masyarakat Aceh yang keras benar-benar terkikis habis selama saya berada di Sabang. Karena disini saya mendapati masyarakat Aceh yang ramah, jujur, dan murah senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar