Senin minggu yang lalu, setelah melihat kalender kalau akhir pekan ini libur panjang, tiba-tiba saja hasrat ini ingin plesir. Dan entah kenapa Aceh lah yang saat itu terlintas di kepala dan saya pun langsung memesan tiket pesawat dari Medan ke Nanggroe Aceh Darussalam. Keesokan harinya mulailah saya mencari informasi mengenai kondisi, destinasi, dan kuliner khas Aceh dari sahabat saya yang cerdas ini dan dari Bang Zarkasih. Saya pun semakin tidak sabar menunggu akhir pekan tiba, setelah satu persatu tujuan perjalanan didapat.
Akhirnya hari yang dinanti-nanti pun tiba. Jumat siang itu saya lepas landas dari Bandara Polonia. Sepanjang perjalanan pikiran saya mulai menari-nari membayangkan apa saja yang akan dijumpai di Propinsi yang baru pertama kali saya kunjungi ini… Laut eksotis, suasana religius, masyarakat pesisir, watak yang keras, kegigihan yang luar biasa, pemandangan nan menawan adalah beberapa yang sempat hinggap di alam pikiran saya.. Setelah hampir 1 jam sampailah saya di Bandara Sultan Iskandar Muda yang indah. Telepon saya langsung berdering, ternyata Om Yu yang dipercayakan Bang Zarkasih untuk menemani saya selama saya di Banda Aceh sudah menunggu saya. Begitu berjumpa, saya pun langsung bertanya kepada Om Yu akan indahnya Bandara dan bagusnya jalan. Om Yu pun menjawab dengan indah bahwasanya hal itu adalah berkah dari tsunami bagi masyarakat Aceh. Mungkin jika tidak ada tsunami, Aceh belum memiliki Bandara sebagus ini. Sebuah jawaban yang sangat menyejukkan hati. Maka benarlah apa yang termaktub dalam kitab suci kalau sesudah kesulitan ada kemudahan.
Tidak lama kemudian kami segera bergegas agar dapat memanfaatkan waktu yang singkat dengan optimal. Tujuan pertama kami adalah Kapal Terapung yang terletak di daerah Pungee. Setelah setengah jam perjalanan tibalah saya di lokasi yang dituju. Tampak di depan mata saya kapal berukuran besar dengan berat 2600 ton, panjang 63 meter, tinggi 22 meter, dan luas 1900m2 berdiri dengan gagah diatas puing dan bekas pondasi rumah penduduk. Menurut kisah yang beredar, Kapal terapung itu adalah kapal milik PLN yang kesehariannya difungsikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan sebelumnya bersandar di dekat pelabuhan Ulee Lhuee. Namun ketika tsunami menerjang Aceh 26 Desember 2004 yang lalu, kapal itu ikut terbawa arus dan menerjang rumah penduduk hingga sekitar 3-4 kilometer. Setelah tsunami, kapal tersebut tetap terdampar karena dirasa tidak memungkinkan untuk menarik kembali ke pantai, hingga akhirnya menjadi salah satu objek wisata di Banda Aceh.
Setengah jam kemudian perjalanan pun kami lanjutkan kembali ke Pelabuhan Ulee Lhuee untuk menuju Sabang. Sepanjang perjalanan, bekas kerusakan sisa tsunami nyaris tidak terlihat lagi, rumah-rumah sudah berdiri dan jalan sudah mulus kembali . Mendekati pelabuhan, tidak jauh dari bibir pantai terlihat Masjid Baiturrahim. Konon masjid ini adalah satu-satunya bangunan yang kokoh berdiri ketika tsunami memporak-porandakan Aceh. Sepertinya Allah SWT hendak menunjukkan kuasa dan rahasia-Nya melalui Masjid Baiturrahim yang selamat ditengah puing-puing yang hancur. Sekitar 5 menit dari Masjid Baiturrahim, tibalah kami di pelabuhan Ulee Lhuee dan langsung bergegas menuju ke dermaga, karena kapal cepat yang hendak saya naiki akan segera berangkat. Sebenarnya ada 2 jenis kapal yang berangkat dari pelabuhan Ulee Lhuee menuju ke Sabang. Yang pertama adalah kapal cepat yang berangkat 2 kali sehari, pagi dan sore, yang memakan waktu sekitar 45 menit – 1 jam dengan biaya 60-75 ribu rupiah. Kapal ini hanya dapat mengangkut manusia. Yang kedua adalah kapal lambat yang berukuran lebih besar, berangkat 3 kali sehari, memakan waktu 1.5 sampai 2 jam dengan biaya 18-36 ribu rupiah. Selain manusia, kapal ini juga dapat mengangkut mobil dan motor.
Setelah sekitar 1 jam menyeberang akhirnya sampailah saya di pelabuhan Balohan, Sabang. Sesuai petunjuk Om Yu, begitu turun dari kapal saya bergegas menuju ke angkutan umum untuk menuju ke Gapang, Iboih, dan Titik Nol Kilometer. Perjalanan di Sabang pun dimulai, kami melewati Sumur Tiga untuk menuju rute yang kami tempuh. Menurut Iwan, supir angkutan yang membawa saya, Sumur Tiga adalah lokasi populer terbaru untuk menyelam dan snorkeling. Setelah setengah jam perjalanan akhirnya tibalah kami di Gapang, untuk menaruh tas saya di penginapan. Tidak lama kemudian perjalanan dilanjutkan kembali ke Iboih. Iboih dan Gapang adalah lokasi yang terkenal di Sabang karena memiliki pantai dengan pasir putih, terumbu karang dan air yang sangat jernih. Dimana dari kedua lokasi ini kita dapat menuju ke pulau Rubiah menggunakan perahu yang memiliki kaca di tengahnya untuk menikmati keindahan alam bawah laut pulau Sabang, yang konon merupakan salah satu yang terindah di Indonesia, dengan biaya 100-150 ribu rupiah.
Puas di Iboih, perjalanan pun kami lanjutkan ke Tugu Kilometer Nol yang berjarak sekitar 8 kilometer. Tugu Kilometer Nol adalah tugu yang dibangun untuk menandakan pengukuhan titik nol kilometer Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diresmikan tahun 1997 dan terletak di ujung pulau weh. Sesampainya di Tugu Kilometer Nol, saya langsung bergegas menuju ke atas tugu untuk melihat-lihat. Dalam perjalanan keatas Iwan sempat bertutur ke saya, jika tiba-tiba menjumpai sepasang babi hutan jangan takut karena babi hutan itu jinak. Babi hutan… Ya… Babi hutan kawan… Di sekitar tugu kilometer nol ini hidup sepasang babi hutan yang diberi nama Bawai dan Bebi, dimana bawai adalah pejantan dan bebi betinanya. Konon babi hutan tersebut menjadi jinak karena pengunjung asing suka memberikan makanan kepada keduanya, sehingga keduanya menjadi jinak dan kemunculannya tidak pernah mengganggu. Terus terang saya tidak terbayang apa yang akan saya lakukan jika sepasang babi hutan dengan bulu hitam seperti sapu ijuk itu tiba-tiba muncul di depan saya. Beruntung ketika saya disana babi hutan tersebut tidak muncul.
Setelah puas melihat-lihat diatas, Iwan mengajak saya menuju ke sebuah batu yang terletak di ujung pulau sabang. Sebuah batu yang menjorok dan langsung berbatasan dengan jurang yang dibawahnya pantai penuh batu-batu besar. Ia mengajak saya untuk berdiri diatas batu tersebut. Konon dari batu tersebutlah lokasi paling bagus untuk menikmati indahnya matahari terbenam, karena matahari akan tampak sangat dekat. Sayang ketika saya sampai di lokasi tersebut, masa-masa indah matahari terbenam sudah lewat, beruntung saya masih sempat melihat lembayung yang terlihat di ujung terbenamnya. Tidak lama setelah matahari menghilang berganti gelapnya malam, kami pun bergegas meninggalkan kilometer nol kembali ke Gapang. Ada yang sangat saya sayangkan di kilometer nol ini, karena saya mendapati tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang mencorat-coret di sekitar kilometer nol. Sayang sekali keindahan matahari terbenam di kilometer ini dirusak oleh hal tersebut.
Di Gapang, saya mencoba menikmati ketenangan malam di pantai yang relatif masih perawan ini. Ketika sedang makan malam, samar-samar saya mendengar wisatawan asing dari italia dan perancis sedang membicarakan makna kata dari mamamia. Saya sempat berbincang-bincang sejenak dengan salah satu dari mereka dan dengan penjaga warung tempat saya makan. Ternyata umumnya para wisatawan asing menghabiskan waktu mingguan bahkan bulanan untuk menikmati keindahan alam bawah laut sabang yang menurut Guardian Magazine Inggris, merupakan salah satu dari 10 lokasi menyelam terbaik di dunia. Setelah hari semakin larut, saya pun kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Pagi hari sekitar pukul 7 pagi, saya langsung bergegas ke bibir pantai untuk menikmati keindahan alam bawah laut sabang. Saya memilih untuk melakukan snorkeling karena keterbatasan waktu. Dengan berbekal 40 ribu rupiah untuk snorkel, kaki katak, dan pelampung, saya pun sudah dapat menuju ke tengah pantai untuk menikmati keindahan laut. Keindahan laut memang benar-benar tergambarkan dari beraneka biota laut yang terdapat disini. Mulai dari Ikan Barracuda, Ikan Belut Muray, Ikan Nemo, Bintang Laut, Aneka Terumbu Karang, hingga ikan-ikan kecil lainnya yang hilir mudik membuat alam bawah laut seperti lukisan hidup. Setelah sekitar 2 jam menikmati alam bawah laut saya pun segera kembali ke penginapan untuk mandi, karena Iwan akan segera menjemput pukul 10 untuk membawa saya mengelilingi Sabang. Keindahan alam bawah laut sabang memang tidak diragukan lagi dan menurut saya akan lebih indah lagi apabila kawasan Iboih dan Gapang lebih tertata dengan baik dan sampah serta daun dari pohon yang berguguran bisa lebih dibersihkan lagi.
Tepat pukul 10 pagi, Iwan sudah muncul di depan penginapan sesuai janjinya. Dan kami pun segera bergegas meninggalkan penginapan. Yang pertama kali akan dilakukan adalah memberi makan kera-kera hutan. Untuk itu kami membeli dua sisir pisang. Sesampainya di lokasi, mobil kami berhentikan dan kami pun keluar dari mobil dengan membawa pisang. Tidak lama kemudian sekelompok kera berlarian ke arah kami. Pisang pun segera kami bagikan. Satu dua kera mencoba menggertak kami dengan suara dan bahasa tubuhnya dan seperti yang telah diajarkan Iwan, kami pun tetap diam meskipun kera tersebut menggertak. Dan tidak lama kemudian kera tersebut pun berbaur dengan kawan-kawannya. Menurut penilaian saya, gertakan ini terjadi karena kera tersebut tidak ingin ekosistemnya diganggu dan apabila ia merasa aman maka ia akan bersikap biasa kembali. Ada yang unik dalam pembagian pisang ini, karena kera-kera tersebut hanya mengambil masing-masing satu pisang untuk kemudian menyingkir dan memberikan kesempatan kepada kera lain untuk dapat menikmati pisang pemberian kami.
Setelah memberi makan kera, kami melanjutkan perjalanan untuk mengelilingi kota sabang. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepada Iwan mengapa penduduk sabang banyak yang memelihara anjing. Ternyata tujuan mereka memelihara anjing adalah untuk berburu babi hutan. Karena selain bebi dan bawai, babi hutan disekitar sabang suka datang ke ladang penduduk dan merusak tanaman. Dan ketika datang, babi-babi tersebut bergerombol, paling sedikit 5 babi dan bahkan bisa sampai 15 babi. Untuk itulah anjing dibutuhkan. Agar kebun-kebun mereka tidak dirusak oleh kawanan babi tadi.
Dalam perjalanan ini Iwan juga bercerita, bagaimana hutan lindung benar-benar dijaga. Karena mereka tidak menginginkan hutannya rusak. Jadi aktifitas yang mengganggu hutan dilarang disini. Untuk menebang pohon dikawasan hutan lindung hanya dibolehkan untuk pohon yang telah mati, itupun setelah mendapatkan izin. Oleh karena itu apabila mereka mendengar suara mesin ditengah hutan lindung, maka mereka akan segera menghentikan dan menghukum orang tersebut. Itulah rahasia yang membuat hutan lindung di sabang benar-benar terjaga.
Pada kesempatan lain Iwan juga sempat bertutur, kalau dalam konflik yang sempat terjadi antara GAM dengan TNI, Sabang juga termasuk daerah yang bebas dari konflik dan kerusuhan karena penduduknya yang relatif kompak dan tidak menyukai kerusuhan. Dapat dikatakan sabang adalah salah satu wilayah paling aman di Nanggroe Aceh Darussalam saat Daerah Operasi Militer (DOM) dan saat konflik antara TNI dengan GAM terjadi. Bahkan setelah rekonsiliasi, Sabang pun tetap menjadi salah satu daerah yang paling aman dan damai di bumi serambi mekah.
Puas keliling kota sabang, maka kami pun berhenti sejenak di rumah makan yang menurut Iwan salah satu yang terenak di kota itu. Plik U dan Asam Keueng pun menjadi salah satu menu yang kami santap siang itu. Plik U adalah sayuran yang terbuat dari berbagai macam daun segar dengan kuah gulai yang terbuat dari kelapa yang telah dibusukkan dengan rasa yang sangat menggugah selera, sedangkan Asam Keueng adalah masakan ikan yang dimasak dengan asam keueng dan memiliki rasa asam pedas yang segar. Setelah menyantap makanan, kami pun bergegas menuju ke Balohan untuk mengejar kapal lambat menuju ke Ulee Lhuee.
Sesampainya di Balohan, saya langsung bergegas menuju ke kapal untuk menuju ke Ulee Lhue. Kesan akan masyarakat Aceh yang keras benar-benar terkikis habis selama saya berada di Sabang. Karena disini saya mendapati masyarakat Aceh yang ramah, jujur, dan murah senyum.
Minggu, 01 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar