Minggu, 21 Agustus 2011

Muhammad Para Pengeja Hujan

“Diakah Atsvat Ereta? Lelaki yang kelahirannya telah lama diramalkan dalam gulungan-gulungan perkamen kuno? Sosok Maitreya yang memiliki tubuh semurni emas, terang-benderang dan suci?” 

Setelah sebelumnya berhasil mengkisahkan potongan perjalanan hidup Rasulullah SAW dalam Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan, Tasaro GK hadir kembali melalui karyanya yang lain tentang penggalan lain kisah Baginda Rasul dalam Muhammad Para Pengeja Hujan. Masih tentang sosok yang dijanjikan dalam berbagai kiab suci , mulai dari kitab Kuntap Sukt, kitab Injil, kitab Zardhust, ajaran Budha. Masih juga tentang Kashva, sang pemindai Surga yang diburu oleh Khosrou II karena ingin memurnikan ajaran Zhardust.

Kisah dalam novel ini terbagi menjadi tiga kisah berbeda yang terjadi pada saat yang hampir bersamaan di tempat yang berbeda. Kisah yang pertama memuat tentang kisah perjalanan Baginda Rasul SAW hingga Khalifah Abu Bakar RA. Kisah dan alur Baginda Rasulullah disampaikan dengan apik dan cukup mendetail oleh Tasaro. Mulai dari masa sebelum kelahiran Rasulullah, seperti Nazar Abdul Muthalib, pernikahan kedua orang tuanya, kelahiran Baginda Rasul, serbuan pasukan Gajah pimpinan Abrahah, masa kecil Rasul ketika dititipkan kepada keluarga Halimah, hingga wafatnya Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah wafat kisah dilanjutkan ke masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq hingga wafatnya Sang Khalifah.

Kisah kedua memuat kelanjutan kisah Kashva, sang pemindai surga. Setelah dalam kisah sebelumnya kisah pencarian Kashva akan Sang Pembawa Kebenaran berakhir di Tibet. Kini di Tibet, Kashva kehilangan Xerxes dan Mashya karena bencana banjir ketika meninggalkan Gunung Kailash. Ditemani dengan Vakshur, seorang remaja yang menjadi pengawalnya, mereka melakukan perjalan mendaki 13 gunung suci di Tibet untuk menemukan jejak Xerxes dan Mashya. Satu persatu puncak pegunungan suci mereka jelajahi demi mendapatkan jejak, hingga pada puncak ke sepuluh dimana ia bertemu dengan biksu Tashidelek yang membersamai Kashva memasuki Kuil Perdebatan. Kuil yang kian memberikan titik terang bagi Kashva terhadap sosok Astvat Ereta. Yang sempat membuatnya bimbang apakah mencari jejak Astvat Ereta atau mencari Xerxes dan Mashya. Di sisi lain, Kashva mulai bertanya-tanya dalam hati mengenai perubahan sikap Vakhsur setelah mereka bertemu dengan Biksu Tashidelek. Apa sebenarnya yang disembunyikan Vakshur? Tapi Kasha urun menanyakan ke Vakshur perihal tersebut. Di puncak yang sama Vakshur menemukan jejak Xerxes dan Mashya melalui pahatan yang bertuliskan ‘Mashya, Xerxes, ke Persia’. Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Persia. Yang ketika tiba di Persia, bukannya bertemu dengan Xerxes malah membuat Kashva masuk ke dalam jeruji besi.

Kisah terakhir mengambil latar di Persia. Sepeninggal Khosrou II, perebutan kekuasaan dan pertumpahan terjadi dalam waktu yang singkat dan secara terus menerus. Seorang arsitek wanita ternama yang bernama Atusa diminta untuk menemui para putri keturunan Khosrou II, yang bernama Purandokht, Turandokht dan Azarmidokht, untuk menghidupkan atanatoi, pasukan Immortal yang berjumlah 10.000 tentara pelindung raja Persia. Atusa yang awalnya menolak karena merasa tidak kompeten akhirnya menerima permintaan tersebut. Dalam perjalanan mengemban tugas menghidupkan kembali athanatoi, Atusa dibantu oleh Turandokht, kakak Azarmidokht yang memegang teguh ajaran Zarathusta. Dalam perkembangannya, Atusa ternyata sangat berbakat dan mahir dalam mengembangkan atanatoi. Pergolakan pun terjadi dan penguasa Persia silih berganti terjadi hingga akhirnya Ratu Purandokht berhasil naik tahta. Sempat membawa angin segar bagi rakyatnya, akan tetapi ternyata nasib Purandokht juga berakhir dengan terbunuh. Azarmidkokht menemukan kakak perempuannya itu diracuni suatu pagi. Sepupu mereka kemudian naik tahta. Tapi itupun tak berlangsung lama. Konspirasi demi konspirasi terjadi di istana. Hingga menghantarkan Azarmidokht menduduki singgasana Khosrou. Saat itulah cadar biru Jenderal Atusa tersingkap. Siapakah Jenderal Atusa sebenarnya? Dan benarkan Azarmidokht tidak terlibat pembunuhan saudaranya?

Secara umum novel ini sangat bagus dan sangat direkomendasikan untuk anda baca. Bahkan menurut saya novel ini lebih baik dari novel sebelumnya. Meskipun terlihat sangat tebal, tapi novel 688 halaman ini sungguh mampu membius kita untuk terus membacanya karena pilihan kata dari Tasaro yang begitu memikat. Tasaro benar-benar menciptakan candu dalam huruf demi huruf yang tercetak dalam lembar demi lembar novel ini.

Detail dan penggambaran novel ini juga sangat baik sehingga membuat kita larut seakan-akan melihat langsung dan berada dalam kisah yang dituturkan Tasaro secara detail. Tak heran memang, karena sepertinya Tasaro telah melakukan riset terlebih dahulu sebelum menulis novel ini. Mulai dari kisah Rasulullah SAW, Khalifah Abu Bakar, hingga kekaisaran Persia. Khusus untuk kekaisaran Persia, Tasaro bahkan membuat saya kesulitan dalam membedakan antara kisah yang berdasarkan fakta dengan fiksi karena penggambarannya yang sangat mendetail dan adanya tokoh-tokoh yang selama ini memang tercatat dalam sejarah dunia, seperti Khosrou II, Purandokht, Turandokht, dan lainnya.

Peradaban Persia juga disampaikan dengan mendetail dan memikat, mulai dari kuliner khas Persia seperti Reshteh, yaitu makanan sejenis mie khas Persia. Fesenjun, nasi yang disajikan dengan daging bebek berlumur bumbu dan pasta, dengan cara penyajian yang khusus. Ash yang terdiri dari campuran daging kambing, sayuran, dan kacang-kacangan. Lengkap dengan cara penyajian dan proses pembuatan makanan tersebut. Tasaro juga menggunakan beberapa istilah khas Persia seperti Khanum dan Agha yang merupakan penyebutan secara hormat kepada seorang perempuan dan laki-laki. 

Kalaupun ada sedikit koreksi mengenai novel ini, maka koreksi itu terdapat pada sedikit kesalahan pengetikan di Novel ini meskipun itu sangat minor dan tertutup oleh indahnya penuturan Tasaro di Novel ini. Tasaro juga berhasil membuat kita bertanya-tanya tentang akhir dari kisah ini dengan menggantungkan kisah Kashva, Turandokht, dan Atusa. Pertanyaan, akankah novel ini berlanjut…

Minggu, 14 Agustus 2011

Ibnu Khaldun : Sang Mahaguru

Ketika masih duduk di sekolah dasar yang saya ketahui tentang Ibnu Khaldun hanyalah sebuah Universitas dekat garis batas antara Jakarta Pusat dan Jakarta Timur yang rutin saya lewati ketika akan mengunjungi kakek saya. Baru ketika memasuki sekolah menengah atas pengetahuan saya akan Ibnu Khaldun mengalami perubahan, Ibnu Khaldun bukan hanya sebuah Universitas, namun lebih dari itu. Seorang ilmuwan muslim yang bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang hidup antara 1332-1406 Masehi ini adalah salah seorang negarawan, ahli hukum, sejarawan, dan juga bapak ilmu sosiologi dan ekonomi islam. Karya-karya beliau mampu memberikan pengaruh kepada cendikiawan dunia, baik barat maupun timur, muslim maupun non muslim. Magnum Opusnya yang berjudul Muqaddimah adalah karya pertama yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi serta sejarah budaya.

Tertarik dengan kisah sang cendikiawan, maka ketika saya melihat novel Ibnu Khaldun : Sang Maha Guru karangan Bensalem Himmish di salah satu toko buku di kota Medan, segeralah saya memboyong novel tersebut. Ditambah novel tersebut berhasil memenangi Naguib Mahfouz Award 2002, menjadi best seller di Kairo dan penulisnya yang merupakan sastrawan Maroko yang meraih gelar doktor dari Université de Paris dan kini menjabat Menteri kebudayaan Maroko menambah ketertarikan saya.

Dibuka dengan dikte dan filosofi Ibnu Khaldun kepada Hammu Al-Hihi, penulis setianya yang cukup berat dan membingungkan pada Bagian I. Kemudian dilanjutkan dengan kisah hidup Sang Maha guru selama beliau tinggal di Mesir hingga akhir hayatnya di Bagian II. Dibagian inilah kisah cita, cinta, dan konflik Ibnu Khaldun diceritakan dengan sangat indah oleh Bensalem Himmish, meskipun tidak menampilkan pergolakan batin dan intelektual Ibnu Khaldun ketika menulis karya-karyanya. Bensalem berhasil menampilkan dan memanusiakan Ibnu Khaldun sebagai seorang pencinta. Mulai dari rapuhnya hati Ibnu Khaldun ketika keluarganya tenggelam dilaut hingga kehidupan pernikahannya dengan Ummul Banin, yang menjadi janda setelah Hammu Al-Hihi, suaminya yang merupakan penulis setia sang mahaguru meninggal dunia.

Interaksi dan konflik semasa Ibnu Khaldin tinggal di mesir juga disampaikan dengan memikat. Mulai dari interaksinya dengan dua generasi raja Mamluk, pergolakan hidupnya sebagai hakim yang beberapa kali diangkat dan diturunkan dari jabatannya karena hasutan dari orang yang berhasrat ingin menggantikannya, hingga interaksi dan negosiasinya dengan Timur Lang, penguasa mongol keturunan Genghis Khan yang terkenal kejam, agar Timur tidak mengirimkan pasukannya untuk menyerang Mamluk. Salah satu rahasia Ibnu Khaldun hingga mampu menjadi cendekiawan terkemuka juga dipaparkan, diantaranya adalah Ibnu Khaldun banyak membaca buku-buku dari pemikir sebelumnya.

Melalui novel ini kita juga bisa mendapatkan gambaran kehidupan bernegara di negara-negara jazirah Arab saat itu yang umumnya memiliki 4 hakim dari 4 mazhab (Syafii, Hanafi, Maliki, Hambali) yang bertugas memutuskan suatu perkara agar sesuai syariah atau menerima konsultasi dari masyarakat seputar persoalan kehidupan agar tidak keluar dari jalur agama terutama tidak keluar dari mazhab atau aliran yang mereka anut. Meskipun tidak jarang para penguasa akan berusaha menjadikan para hakim ini sebagai alat politiknya melalui fatwa-fatwa yang dipaksakan, meskipun tidak jarang juga para hakim tersebut berseberangan dengan para penguasa.

Secara umum novel ini cukup menarik dan layak diganjar Naguib Mahfouz Award, Bensalem berhasil menggambarkan dan memanusiakan Ibnu Khaldun dengan segala cita, cinta, dan konflik kehidupan yang dialaminya.